“Tidaaaak!”
Teriakan seorang pria begitu keras ketika melihat sosok perempuan di depannya terkapar bersimbah darah. Pria itu terhuyung meraih tubuh perempuan yang di cintainya. Perempuan dengan senyum yang getir itu telah terbaring lemah tak berdaya.
“Bertahanlah! Aku akan menolongmu!” ucap suara rendah yang terdengar bergetar sambil terus memberikan sihir penyembuh kepada gadis fana itu. Namun perempuan yang penuh luka dalam pelukannya tak bergeming. Bahkan netra merahnya semakin redup dan hampir tertutup.
“Jangan tidur! Ku mohon, bukalah matamu!” perintah pria bersurai hitam itu dengan guncangan lembut. Nahas, perempuan yang berada dalam dekapannya malah mengeluarkan darah segar. Bibir sang gadis semakin membiru dan hampir tidak terlihat jejak napas yang naik turun di dada yang penuh cairan merah itu.
“Ti-tidak, jiwana ku!” pemuda itu gelagapan. Tangannya gemetaran menggapai seluruh wajah sang kekasih yang semakin memucat.
“Ya Tuhan! Siapapun! Tolonglah jiwanaku!” pemuda itu mengiba dengan netra hijaunya yang telah basah. Meski pemandangan menyedihkan sekaligus mengerikan itu begitu menyayat hati, nyatanya tak ada seorangpun yang bisa membantu pria itu untuk mempertahankan hidup sang kekasih. Mereka semua hanya bisa memandang pilu teriakan menyayat hati dari sang pelindung.
Bhirendra membuka mata dengan napas yang terengah-engah. Netra emeraldnya terlihat mengeluarkan butiran bening yang tidak ia sangka. Mimpi yang baru saja ia alami tampak begitu nyata dan berhasil mengaduk emosinya yang selalu penuh ketenangan. Rasa sakit akan kepergian gadis yang tak ia kenal dalam mimpinya benar-benar berimbas hingga dirinya terjaga. Seolah-olah sosok perempuan itu sungguh ada bersamanya.
“Jiwana? aku bahkan memanggilnya dengan panggilan intim seperti itu? Konyol!” Bhirendra berdecih kegelian mengingat arti dari panggilan tersebut. Bisa-bisanya ia menyematkan kata jiwana yang berarti kehidupan pada perempuan yang sama sekali tidak nyata itu.
Dengan perasaan kesal, pemuda itu bangkit dari tempat tidur dan menyibak tirai jendela. Matahari telah muncul di ufuk timur bersama keindahan awan Cirrocumulus , memberikan kehangatan pada suasana pagi yang sedikit dingin kala itu. Pintu terketuk ketika Bhirendra telah selesai bersiap. Dua orang abdi setianya berdiri tepat di sisi pintu yang telah terbuka dan mengikuti langkah tuan mereka tanpa banyak bicara.
“Danar, apakah persiapan telah rampung?” Bhirendra bertanya dengan suara rendah kepada salah satu abdinya yang bernama Danar Diratama. Sang abdi yang bersurai abu kecoklatan dengan netra yang berwarna sama itu menjawab, “sudah tuan. Seluruh pasukan telah berkumpul di barak kemiliteran dan siap menerima instruksi selanjutnya.”
“Bagaimana dengan persenjataan dan lokasi peperangan?” susul Bhirendra pada abdi lainnya yang bernama Arga Caraka. Pemuda dengan surai panjang coklat bergelombang itu menjawab tegas, “persenjataan aman dan lengkap, tuan. Akses jalan pun masih dalam kendali. Lokasi puncak peperangan bisa dipastikan terjadi di perbatasan kerajaan. Pasukan kita telah bersiaga menyambut serangan tiba-tiba dari pasukan musuh.”
“Bagus! Untuk sementara keadaan di sana kuserahkan pada kalian berdua. Aku akan segera menyusul begitu prosesi pemanggilan sang terpilih telah selesai.” Ucap Bhirendra yang di iringi anggukan patuh kedua bawahannya. Pemuda berperawakan tinggi dengan tubuh atletis itu dengan luwes menaiki kuda hitamnya. Ia menderu cepat meninggalkan kediaman dan menuju aula perbintangan di istana suci kerajaan.
Suara tapak kaki yang berat terdengar dari kejauhan diiringi suara gaduh dari beberapa orang anggota LSM Pemerhati Satwa dan Lingkungan hidup di kota Tenggarong. Reina Dharma Nirmala atau yang akrab di sapa Reina, terpaksa membuka mata dengan malas ketika Rico, sang ketua, menggebrak meja dan mengumumkan informasi penting untuk mereka. Perempuan berambut hitam lurus, panjang, terikat ekor kuda itu hanya mengangguk-anggukkan kepala, menyimak penjelasan dari pria jangkung berjambang tipis di depan ruang rapat. Alisnya yang tipis membingkai netra coklatnya yang seperti kacang almond, terlihat naik di sertai senyum tipis dari bibir kecilnya yang berwarna peach.
“Jadi misi kita kali ini adalah menyelesaikan permasalah pencemaran lingkungan yang terjadi di pedalaman Kutai Barat Desa Penyinggahan.” Tutur Rico sambil membagikan fotocopy surat aduan dari lembaga adat masyarakat yang ada di desa tersebut.
Reina mengambil lembaran kertas itu dan membacanya dengan teliti. “Air sungai berubah menjadi hitam pekat? Banyak ikan yang mati mendadak? Bukanlah ini yang di sebut dengan bangar?” eja Reina acuh tak acuh. Air sungai Mahakam yang bangar memang kerap terjadi dan itu bukanlah hal yang aneh di daerah Reina. Fenomena alam itu biasanya berlangsung paling lama satu minggu dan akan kembali seperti kondisi awalnya. Tapi kali ini sedikit berbeda, air sungai di sekitar desa Penyinggahan tak kunjung membaik selama berbulan-bulan akibat limbah dari pertambangan.
“Padahal setahuku desa itu terkenal karena hasil perikanannya. Mayoritas masyarakat mengandalkan akses sungai Mahakam sebagai mata pencaharian utama.” Celetuk Adit yang sudah berada disamping Reina.
“Oh ya?” timpal gadis yang tidak menyukai makanan bertekstur kenyal tersebut.
“Iyalah! Apa kamu nggak baca materi yang dibagikan Rico barusan?” balas Adit dengan alis yang naik. Pemuda berlesung pipi itu menatap Reina dengan sedikit pelik. Bisa-bisanya perempuan berwajah melayu yang duduk di sebelahnya itu tidak tahu informasi penting tersebut. Reina hanya menanggapi jawaban Adit dengan 'oh' ringan kemudian kembali menyimak penjelasan sang ketua.
“Karena ini urusan yang cukup mendesak, maka kita akan berangkat besok pagi. Pastikan semua alat dan keperluan yang kita butuhkan dengan lengkap karena di desa yang akan kita datangi sangat jauh dari kata modern!” jelas Rico.
“Asik! Bisa sekalian liburan. Siapa tau bisa liat pesut Mahakam yang terkenal langka!” seru Shasi dengan sumringah. Perempuan berperawakan cantik bak model itu membuat Ria berdecih pelan. Gadis berkacamata tebal di samping kiri Reina memang sangat tidak menyukai tingkah Shasi yang begitu manja.
Wajar saja, Shasi si cantik idola satu kampus swasta di kota mereka itu merupakan anak putri semata wayang pimpinan daerah mereka. Juga, pendonor dana terbesar untuk setiap kegiatan kampus dan LSM masyarakat di sana. Meski sering membuat jengah semua anggota LSM dengan sifat kekanak-kanakannya, namun semua anggota organisasi itu tidak bisa berbuat apa-apa. Mereka hanya bisa menelan ludah dan bersikap seolah-olah semua itu hal yang lumrah.
“Dari pada kegiatan kita nggak ada yang memberi sokongan, mending kita pura-pura nggak lihat aja.” Bisik Ria yang terlihat semakin mual melihat aksi Shasi di depannya. Reina tak ikut-ikutan. Ia memang tidak begitu mengenal Shasi secara personal. Meski ia sudah menjadi anggota LSM selama satu tahun terakhir, nyatanya ia memang tidak begitu bisa bergaul dengan karakter ceria perempuan cantik itu.
Reina tidak membenci Shasi. Ia bukan tipe orang yang suka memberikan penilaian sebelum benar-benar mengenal karakter orang lebih dalam. Baginya wajar saja sikap Shasi seperti itu. Bukankah karakter manja Shasi memang di bentuk oleh keadaan. Keluarga yang harmonis dengan keuangan yang mendukung. Jika Reina berada diposisi Shasi, mungkin saja dia akan memiliki temperamen seperti perempuan berambut blonde itu.
Reina menghela napas, mengambil ranselnya dan menarik diri keluar ruangan begitu rapat dibubarkan. Menjauhi beberapa anggota lain yang masih berhimpun di tengah ruangan sembari membahas persiapan esok hari. Sudut matanya menangkap siluet Adit yang berjalan cepat mengikuti jejak kakinya. Ia menarik napas dalam-dalam dan membalikkan badan, “Kau mengikutiku?”
Adit menyunggingkan senyum ramahnya, “kita satu arah, nggak pa-pa kan kalau skalian barengan?” Reina tak menggubris. Ia tetap berjalan kearah tempat parkir dengan wajah yang acuh tak acuh.
“Re, apa kau perlu bantuanku untuk persiapan perjalanan kali ini?” kata Adit tatkala Reina sudah duduk di atas sepeda motornya yang cukup jadul. Reina mengernyitkan alis dan sedikit kebingungan dengan sikap friendly Adit kepadanya.
“Thanks. Aku bisa sendiri.”
Seolah tidak perduli akan tanggapan Reina yang dingin, Adit kembali berucap, “Besok aku jemput di panti, ya. Tunggu aku!” pria itu kemudian berlalu dengan tarikan gas di motor besarnya tanpa mendengarkan jawaban Reina sedikitpun. Reina kembali menghela napas. Mengatur emosinya yang hampir meledak gara-gara sikap Adit yang seenaknya. Gadis cuek itu menderu tanpa hambatan, menuju panti asuhan, tempat yang bisa dianggap sebagai rumah satu-satunya untuk Reina.
Ya, Reina yatim piatu. Sejak lahir hingga saat ini, ia tidak tau siapa orang tuanya dan dari mana asal usulnya. Ibu pemilik panti hanya menyebutkan bahwa gadis berwajah oval dengan hidung kecil itu telah diletakkan di depan pintu panti ketika hujan badai. Tak ada informasi tentang perempuan itu. Bahkan pihak kepolisian pun tak pernah menerima laporan kehilangan atau pencarian anak yang hilang. Mengingat kemalangan itu, Reina kecil di tempatkan di pantai asuhan tersebut dan mendapatkan perawatan hingga saat ini.
Reina tidak perduli. Ia bukan tipe perempuan yang suka mendramatisir keadaan. Ia cukup bersyukur dengan keadaannya. Tumbuh sehat dengan pendidikan cukup sudah membuat Reina bahagia. Apalagi Bunda Dhea, ibu pemilik panti begitu menyayangi semua anak asuhnya tanpa sedikitpun memberikan pembedaan. Kasih sayang seorang ibu yang tidak pernah ia dapatkan dari orang tua kandungnya sudah dipenuhi oleh ibu angkatnya tersebut dan Reina sangat mencintai wanita paruh baya itu.
“Bun, besok Reina akan berangkat ke pedalaman Kutai Barat.” Ijin Reina pada bunda Dhea saat mereka berada di dapur setelah selesai makan malam.
“Tugas LSM lagi ya, Re?” tanya bunda Dhea dengan kelembutannya.
“Iya, Bun. Paling lama satu minggu. Kata Rico perjalanan kesana hampir dua belas jam jika menggunakan kapal motor. Kalau lewat jalur darat sekitar tiga jam perjalanan. Itupun harus menggunakan Ketinting selama satu jam melawati Danau Jempang .” Jelas Reina sambil mengingat.
Bunda Dhea mengelus surai panjang Reina, “perjalanannya cukup panjang ya, Re. Berhati-hatilah! Jaga sikap. Di mana bumi di pijak di situ langit dijunjung. Ingat selalu pesan Bunda.”
Reina mencium lembut pipi dan punggung tangan wanita tua itu, “Reina paham, Bun. Jangan khawatir, ya.”
Sang bunda hanya mengulas senyum tersirat. Meski memiliki sedikit keraguan namun wanita tua itu tetap memberikan dukungan pada putri angkatnya tersebut. Ia tahu bahwa Reina tidak akan membuat masalah. Anak itu selalu berperilaku baik. Selama ini, Reina selalu menjadi panutan para adik angkatnya di panti. Sejak kecil, Reina selalu membuatnya bangga. Gadis itu berprestasi dan membuatnya selalu mendapatkan beasiswa. Bunda Dhea hampir tidak pernah mengeluarkan uang untuk memenuhi kebutuhan hidup dan pendidikan Reina. Reina memang mandiri sedari kecil.
“Sudah malam, sebaiknya kamu cepat beristirahat. Besok pagi kan sudah mau berangkat.” Saran bunda. Reina menguap dan menggeliat, “iya Bun. Reina duluan, ya. Capek banget hari ini.”
Reina kembali ke kamarnya. Menutup pintu dan berbaring nyaman di atas tempat tidur kapuknya. Matanya terpejam. Perlahan-lahan kesadarannya melayang dalam sebuah kegelapan yang tidak memiliki ujung.
“Kapan kau akan kembali?” tanya sebuah suara yang berasal dari satu titik cahaya di ujung penglihatannya. Sosok itu mengenakan jubah serba hitam dengan tudung yang hampir menutupi keseluruhan wajahnya. Dari suara rendah itu, Reina meyakini bahwa yang ada di depannya adalah seorang laki-laki. Reina bergerak mendekat. Mencoba meraih sosok yang membelakanginya, “kau siapa? Kenapa kau terus menanyakan hal itu?”
Sosok itu berbalik dan mengunci Reina dalam kesunyiannya. Meski tidak terlihat jelas, ujung bibir tipis yang merah itu menyunggingkan senyum yang Reina asumsikan sebagai seringai. Dia tidak menjawab namun aura gelap yang keluar dari balik tubuhnya itu seakan menyatu dengan hitamnya atmosfer di sekitar. Napas Reina tercekat. Diamnya pria itu membuat bulu kuduk Reina meremang. Ia gelisah dan jujur, ketakutan. Ada perasaan intimidasi yang kuat dari sosok asing tersebut.
“Kenapa? Kau ketakutan?” tangan besar dan pucat itu meraih pipi Reina. Perempuan itu terkesiap karena sentuhan yang begitu dingin di kulitnya. Reina semakin gemetar. Wajahnya kini tidak ada bedanya dengan warna kulit pria misterius itu. Ia ingin menghindar, pergi menjauhkan diri dari pandangan menusuk di depannya. Namun ia tidak bisa. Seluruh tubuhnya membeku dan ia kehilangan kata-kata.
“Kembalilah secepatnya! Aku tidak memiliki kesabaran untuk selalu menunggumu dalam kegelapan ini.” Sosok itu berbisik dengan napasnya yang hangat. Sangat kontras dengan situasi dingin nan mencekam yang keluar dari aura hitamnya.
“Siapa kau?” desis Reina dengan suara bergetar, “Kenapa kau membuatku seperti ini? Aku tidak mengerti apa yang kau maksud! Kau selalu mengatakan hal yang ambigu!”
Reina merasa ia telah berteriak sekencang mungkin, akan tetapi intonasi yang terputus-putus itu justru terdengar seperti alunan lembut sebuah lagu romantis yang keluar dari laring tenggorokannya. Mendayu dan erotis. Tak ada bedanya dengan ******* menggoda dari seorang perempuan cabul yang tidak mempunyai harga diri. Sungguh menjijikkan.
Reina mengatupkan bibir dan memalingkan wajah. Ia benar-benar dibuat bingung oleh pria misterius itu sejak lama. Mimpi yang berulang selalu ia alami bersama sosok di depannya. Mulai Reina berusia sepuluh tahun hingga diusianya dua puluh lima tahun ini, suara khas pria dengan wajah yang tidak jelas itu selalu membuatnya penasaran. Pada awalnya ia mengira bahwa mimpi itu hanya bunga tidur belaka namun spekulasi nya berubah setelah mimpi itu datang seolah membuat narasi sendiri dalam kegelapan alam bawah sadarnya.
“Kita adalah takdir yang tidak bisa terelakkan. Bagaimanapun kau berusaha untuk menghindar, aku akan tetap bisa menemukan dan membuatmu terikat selamanya bersamaku. Jadi, kembalilah secepatnya kekasihku.” Sosok itu pun menghilang dengan menyisakan kecupan hikmat dipuncak kepala Reina. Seketika Reina tersentak dan terduduk di atas tempat tidurnya. Dengan pikiran rancu, ia menata dirinya yang masih gemetaran dan menghapus sisa air mata ketakutan yang tertinggal di pipinya.
Cakrawala sudah menampakkan fajar di ufuk timurnya. Menandakan hari baru telah tiba seolah menyambut Reina dengan penuh semangat. Dengan langkah gontai serta pikiran yang belum normal, Reina pun bergegas mandi dan bersiap-siap.
“Kau nggak apa-apa, Nak?” tanya bunda Dhea yang sudah menyiapkan bekal untuknya, “Apa kau bermimpi buruk lagi?”
Reina menggelengkan kepala, “nggak, Bun. Ini bawaan capek kemarin aja.” Sang bunda menatap curiga namun Reina berpura-pura tidak melihat. Ia duduk di meja makan lebih awal tanpa menunggu para adik-adiknya bergabung bersamanya. Gadis itu menyantap sarapannya tanpa bertukar cerita dengan sang bunda dan itu membuat kecurigaan tersendiri pada orang tua angkatnya itu.
Di depan pintu gerbang panti, mobil MPV hitam telah terparkir rapi. Adit segera membuka pintu mobilnya begitu melihat sosok Reina dan bunda Dhea keluar dari balik pintu. “Ijin pamit ya, Bun. Mohon doanya.” Ucap Adit seraya mencium punggung tangan wanita paruh baya itu.
“Ya Nak, Adit. Saya titip Reina, ya. Tolong jaga dia.” Balas bunda Dhea sambil menepuk pundak pria berkemeja abu di samping Reina. Adit menganggukkan kepala. Ia mengangkat koper milik Reina dan memasukkannya kedalam bagasi mobil.
“Reina berangkat ya, Bun. Jaga diri bunda. Jangan kecapean! Jangan overthinking! Doain Reina supaya selamat, ya.” Pesan Reina.
Sang bunda tersenyum lembut menanggapi amanat putri angkatnya. Ia melambaikan tangan, mengiringi kepergian Reina. “Semoga ini Cuma perasaan bunda yang berlebihan saja. Semoga Reina senantiasa selamat. Aamiin.”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 18 Episodes
Comments