Bab 12 Perseteruan Dua Pelindung

Begitu keesokan harinya, Bhirendra dan reina meninggalkan desa Cayapata dengan perut yang terisi penuh. Setelah selesai sarapan, mereka pun melanjutkan perjalanan tanpa saling bertukar kata. Ada sedikit pertanyaan yang menggelitik rasa penasaran di hati Reina. Entah karena perasaannya yang terlampau sensitif ataukah memang pandangan orang-orang desa terhadap mereka sedikit lain.

Reina tidak ingin berprasangka buruk namun semenjak mereka keluar kamar dan membaur dengan orang-orang sekitar di ruang makan penginapan, tatapan aneh selalu Reina dapatkan. Bahkan tidak sekali gadis itu memergoki beberapa perempuan dan pria paruh baya yang melirik mereka dengan tatapan rumit.

Seolah tahu dengan perasaan ganjil perempuan di depannya, Bhinendra pun membuka mulut, "mereka hanya tidak terbiasa. Di alam kami, jumlah manusia yang memiliki rambut berwarna hitam bisa di hitung dengan jari dan para pemilik rambut itu hanya pria keturunan pelindung berdarah murni."

"Berarti di kerajaan Swastamita hanya akulah satu-satunya perempuan bersurai hitam?" tanya Reina yang kemudian di benarkan Bhinendra dengan anggukan pelan. "Kalau begitu bagaimana denganmu?"

Bhinendra diam sesaat dan menjawab, "aku pun sama denganmu. Satu-satunya Bhayangkara berdarah murni yang tersisa di sini." Reina tidak mengerti alterasi dari wajah pria kaku tersebut. Netra kehijauan pemuda itu mendadak dalam dan sedikit menggelap. Ada sekelumit kesedihan yang tampak namun Reina tak berani untuk mempertanyakannya.

Menanggapi kebisuan dari sosok perempuan keras kepala itu, Bhirendra pun kembali bertanya, "kita ke mana?" pertanyaan yang Bhinendra ajukan hanya di timpali dengan tatapan bingung sang terpilih.

Sambil memelankan derap kaki kuda, pria dengan bobot lebih besar dan mendominasi itu menghela napas dalam-dalam. Rambutnya yang sedikit basah oleh keringat tampak memukau terpantul cahaya matahari yang menyilaukan hingga tanpa sadar membius rasa kagum perempuan kecil di depannya. Keindahan wajah pria itu berbanding terbalik dengan suaranya yang rendah namun terdengar setajam bilah pedang yang terasah. Begitu menghanyutkan sekaligus memberikan efek buruk layaknya sebuah candu. Pandangan Reina begitu intens bak seekor kucing yang sedang fokus menangkap mangsa, membuat Bhinendra harus berpura-pura tidak menyadarinya secara kasat mata.

"Kemana sekarang?" ulang Bhinendra dengan ekspresi datar. Reina hampir terperanjat dari lamunannya beberapa saat yang lalu. Ia berusaha kembali menyadarkan diri dengan memusatkan perhatian ke depan sambil mengatur ritme pikirannya yang mulai tak terkendali. "Mencari tiga pusaka pelopor kemunculan batu Somo."

"Aku tahu itu. Maksudku ke tempat mana yang pertama kali harus kita datangi?" Reina menelan saliva dan hanya melirik dari balik rambutnya. Ia tetap membungkam diri. Berpura-pura tidak mendengar pertanyaan yang di ajukan pemuda arogan itu padanya.

"Reina!" untuk pertama kalinya Bhinendra menyebut nama perempuan itu dengan suara tenornya. Pria itu menggertakkan gerahamnya dengan sorot mata yang curiga, "apa kau tidak tahu? Jangan-jangan semenjak tadi kita berjalan tanpa arah tujuan?"

Meski pria itu menganggap nada suara yang dikeluarkannya telah berada di level paling lembut, nyatanya tidaklah demikian. Pertanyaan Bhinendra barusan setara dengan metode interogasi seorang prajurit kemiliteran terhadap seorang tahanan perang. Reina merengut dan tampak malas untuk menanggapi perkataan pemuda itu, "aku memang tidak tahu. Datok tidak pernah mengatakannya."

Bhinendra terhenyak dan kehilangan kata-kata mendengar jawaban lugas yang Reina berikan. Kepalanya mendadak berdenyut dan membuatnya harus menarik napas dalam-dalam untuk sekadar menenangkan saraf-saraf tegangnya. "Tapi, mungkin jika dia sudah bergabung dengan kita, mungkin dia tahu ke mana kita harus memulai pencarian." Ucap Reina seolah sedang memberi harapan pada dirinya sendiri.

"Dia?" tanya Bhinendra di sertai perasaan tidak enak, "Apa ada orang lain yang akan bergabung dengan kita?" Reina menelan saliva dan tampak ragu untuk menjawab, "iya. Datok mengatakan kalau perjalananku akan di temani dua orang ahli. Nanti kau pun pasti tahu siapa dia."

Bhinendra terdiam. Ia kembali menghentak tali kekang kemudian memacu sang kuda dengan cepat. Firasatnya mengatakan jika seorang ahli yang di katakan Reina merupakan orang yang dia kenal. Bhinendra tak berani berasumsi. Jika sampai dugaannya itu benar, entah seperti apa perjalanan misi ini selanjutnya. Dan benar saja. Semua tebakan Bhinendra itu benar adanya. Sosok pria berambut merah panjang terikat yang sangat ia kenal telah duduk di atas kuda putih di ujung jalan.

"Diakah yang kau maksudkan?" Reina mengangguk tak nyaman ketika Bhinendra bertanya dengan suara penuh penekanan. Dengan sekali tebakan, Reina pun tahu bahwa napas Bhinendra saja memiliki kebencian yang begitu hebat terhadap pemuda di depannya.

Radeeva Kara Kanitra Swastamita, pangeran kedua kerajaan Swastamita yang juga merupakan musuh bebuyutan Bhinendra tampak memasang muka angkuh. Pria dengan tinggi sekitar seratus delapan puluh lima centimeter itu memiliki bentuk wajah yang memanjang tegas dengan surai merah panjang yang terikat. berhidung lurus dan memiliki bulu mata lentik yang membingkai mata safirnya yang cantik. Selain itu, di sudut mata kirinya terdapat tahi lalat kecil yang tertutup anak rambut. Bentuk tubuh yang proporsional dengan otot-otot bisep yang terlatih itu semakin menambah nilai kesempurnaan yang tidak akan pernah di miliki para pria di dunia nyata.

Namun semua nilai tambah itu berbanding terbalik dengan sikapnya yang cenderung kasar. Radeeva yang terbiasa dengan status sosial yang tinggi itu suka memandang rendah orang lain. Selain itu, sang pangeran pun terkenal dengan berbagai julukan yang kurang sopan, salah satunya yaitu pria dengan seribu wanita.

Radeeva menatap Bhinendra dan Reina dengan dagu yang terangkat serta sikap meremehkan seolah sengaja untuk menjatuhkan mental kedua orang di depannya. Ia tampak tidak bisa menyembunyikan rasa bencinya terhadap Bhirendra. Seakan memiliki perasaan yang sama, Bhirendra pun tidak mau kalah. Ia membalas dengan tatapan sedingin es kepada Radeeva. Pemuda dengan surai merah itu menggertakkan gigi dengan kuat hingga menciptakan tekanan di sekitar rongga mulutnya dan membuang muka.

"Dari sekian para ahli di Swastamita ini, tidak bisakah kamu meminta orang lain selain dia?" desis Bhinendra.

"Apakah selama ini aku memiliki kesempatan untuk menyuarakan pendapat?" singgung Reina. Ia memang tidak mempunyai pilihan untuk menolak. Jika memang bisa menentukan keputusan, bukan hanya perkara pendamping ahli seperti Radeeva ataupun Bhinendra, bahkan sudah sejak awal Reina akan memilih untuk tidak terlibat dalam hal gila di dunia aneh itu. Bhinendra dan Reina kembali diam. Mereka tidak melanjutkan obrolan itu karena tahu akhir dari pembicaraan mereka. Baik Reina mau pun Bhinendra, mereka hanya menjalankan perintah.

"Karena Datok menitahkan aku untuk bergabung bersama kalian maka mau tidak mau aku harus berbesar hati menjalankan instruksi beliau." Tutur Radeeva saat Reina dan Bhinendra sudah berada di sampingnya. "Jangan kau kira aku sudi berjalan bersama denganmu! Manusia penuh dosa, pembunuh banyak nyawa!"

Tubuh Bhinendra menegang beberapa detik kemudian kembali lagi membeku seperti sedia kala. Radeeva kembali menyeringai dengan celaan hina, "Aku tidak menyangka hidupmu masih panjang. Ku kira di peperangan kali ini kau pun akan menjadi salah satu dari sekian orang yang terbakar oleh mortar-mortar itu. Ternyata tidak! Kau memang mahluk abadi yang terkutuk! Bahkan malaikat pencabut nyawa pun enggan menjadikanmu bara api neraka!"

"Seorang Bhayangkara, eh? Kesatria pelindung yang sebenarnya adalah seorang iblis pemusnah! Wow! Entah sihir apa yang telah kau pelajari sehingga semua tetua aula perbintangan begitu mempercayaimu melaksanakan tugas ini! Padahal mereka sangat tau betapa berbahayanya kesatria pelindung pilihan mereka itu." Geram Radeeva.

"Apakah dengan menghujat ku bisa melegakan hatimu? Jika memang demikian maka lakukanlah!" balas Bhinendra acuh tak acuh.

Radeeva tergelak nyaring, "melegakan hatiku katamu? Wah....Kau sungguh berlagak, Bhinendra! Seakan-akan kaulah yang teraniaya. Seolah-olah kaulah yang berhati besar di sini. Faktanya semua orang pun tahu bahwa akulah yang di rugikan! Kaulah penyebab semua bencana ini terjadi! Bedebah keparat!"

Reina menaikkan alisnya yang berkerut. Telinganya mendadak panas mendengar ucapan Radeeva yang benar-benar sangat tidak sopan. Ia ingin sekali menyumpal mulut licin pria itu tetapi keinginannya itu kembali ia simpan mengingat kedua orang di depannya hampir memiliki temperamen yang sama. Bhinendra menghela napas dan mendelik tajam kearah Radeeva, "bisakah kau lebih berkepala dingin? Bukankah ada makhluk asing ini di sini. Apakah kau tidak malu?"

"Makhluk asing?" potong Reina keberatan, "tunggu dulu! Apa kau sekarang sedang mengataiku?" Bhinendra bergeming, menepuk-nepuk puncak kepala Reina tanpa sadar dan kemudian menarik tangannya dengan pandangan heran. Pria itu mendadak kebingungan dengan refleksnya barusan. Entah kenapa tangannya seakan-akan bergerak tanpa bisa ia kendalikan. Tapi ia mengesampingkannya dan kembali berbicara dengan Radeeva. "Lebih baik lupakan dulu urusan pribadi. Semakin cepat kita menemukan benda pusaka itu maka semakin cepat pula urusan ini terselesaikan."

"Kau tidak perlu mengajariku! Tanpa kau peringatkan pun aku bisa membatasi diriku! Ingatlah dengan baik, dendam kita belum pupus! Aku akan melakukan perhitungan denganmu setelah menyelesaikan misi ini!" cerca Radeeva dengan penuh ancaman.

"Dengan senang hati aku akan menunggu." Bhinendra membalas dingin. Pemuda itu memandang netra biru Radeeva dengan tatapan kompleks, yang malah semakin membuat pria bersurai merah itu meradang tak terkendali. Kedua pria itu saling menarik pakaian satu sama lain. Menghimpit Reina dengan tubuh besar mereka bersamaan. Seolah tak menyadari keberadaan perempuan itu di sana, Radeeva melayangkan pukulan ke wajah Bhinendra hingga si surai hitam tourmaline itu tertunduk dengan sudut bibir yang berdarah.

Bhinendra membalas dengan perlakuan yang sama. Tubuhnya yang lebih terlatih dengan mudah melompat dan menendang Radeeva hingga tersungkur dari atas kudanya. Namun tidak seperti pangeran kedua, Bhinendra nampak lebih menahan diri. Ia tidak begitu melampiaskan amarahnya. Pengaturan dirinya begitu sistematis hingga membentuk kendali atas dirinya sendiri.

"Hei-hei! Sudah! Hentikan!" kedua pria itu saling meludahkan darah dan membuang wajah bersamaan ketika Reina berseru lantang. Perkelahian itu terhenti. Radeeva dan Bhinendra kembali menaiki kuda mereka. Tentu saja masih dengan adu mulut yang belum memiliki titik akhir.

"Kalian berdua ini benar-benar seperti ibu-ibu komplek yang lagi bermusuhan. Ketemu sebentar langsung ricuh tak terkendali." Keluh Reina yang hampir memuntahkan emosinya kepada dua pria tampan rupawan di depannya.

Meski tak mengerti dengan ucapan gadis itu, Bhinendra dan Radeeva masih memahami bahwa Reina sedang menyindir mereka. Berbeda dengan Bhinendra yang patuh, Radeeva justru menanggapi perkataan Reina dengan kasar. "Entitas rendahan sepertimu tidak perlu ikut campur masalah kami! Pendapatmu sama sekali tidak berharga di sini! Bersyukurlah karena aku masih berbaik hati mengampuni nyawamu! Jika aku mau, aku bisa membuatmu meregang nyawa detik ini juga!"

"Astaga, tutup mulutmu tomat busuk! Kau benar-benar ketagihan sekali mengatai orang lain, ya. Aku terlalu berekspektasi tinggi, ku kira seorang bangsawan memiliki sopan santun dan tata krama yang baik, ternyata malah lebih parah dari pada rakyat jelata sepertiku. Telingaku sampai sakit mendengar kicauanmu itu! Kau keterlaluan sekali!" seru Reina panjang lebar dan terlihat sangat jengah. Bibir Radeeva berkedut, membentuk huruf M dengan jakunnya yang turun naik. Wajahnya memerah, menahan amarah yang hampir menguasai dirinya.

"Apa yang kau lakukan?" bisik Bhinendra kebingungan.

"Hanya menyampaikan sebuah aspirasi." Timpal Reina yang masih kesal.

Aspirasi? Apa dia bercanda? Perempuan ini memang sedikit gila. Apa dia tidak takut nyawanya melayang karena perkataannya barusan?

Bhirendra menggelengkan kepala dan kembali berbisik, "apa kau tak tau siapa dia?"

"Aku tahu. Namanya Radeeva. Seorang bangsawan yang memiliki masalah dalam sistem saraf pengendalian emosinya, sama seperti dirimu. Tapi aku tidak heran, kalian para bangsawan, sejauh ini memang selalu bertindak arogan dan menyebalkan." Jawab Reina memberangsang.

Bhinendra menaikkan satu alisnya dan lagi-lagi berbisik, "dia bukan bangsawan biasa. Dia seorang pangeran."

"Seorang pangeran? Hah? Seorang pangeran katamu?" Seru Reina kaget di sertai mata yang terbelalak.

"Seorang pangeran." Ulang Bhinendra dengan senyum terkulum.

Astaga! Aku nggak tau si rambut merah itu ternyata seorang pangeran! Aku kira dia hanya seorang bangsawan biasa!

"Kau begitu berani. Aku akan menandaimu. Tunggu saja momentum yang tepat untuk menarik lidahmu keluar dari tempatnya! Dan kau, aku bersumpah akan membuatmu membayar apa yang telah kau perbuat! Hukum alam itu pasti. Siapapun yang menyakiti, suatu saat pasti akan tersakiti!" Radeeva menunjuk wajah Reina dan Bhinendra dengan ujung pedangnya. Alih-alih membalas, Bhinendra justru memasang wajah dingin tanpa berbicara satu katapun.

Pria bermanik emerald itu benar-benar berbeda. Tidak tampak cerewet sama sekali seperti beberapa saat yang lalu, seakan-akan ia sedang menarik diri dan membuat batas tinggi terhadap Radeeva. Reina masih terlihat kebingungan namun ia beralih kearah Radeeva dan memberanikan diri untuk bertanya, "apakah kau tahu di mana kita harus melakukan pencarian pertama?"

Radeeva melirik Reina dengan pandangan benci, jijik dan kesal sekaligus. Ia kemudian menarik segulung kecil perkamen dan melemparkannya pada gadis itu. Reina menangkap dengan tepat. Ia membuka dan mendapati sebuah peta tercantum di sana. Akan tetapi Reina kembali menelan saliva. Ia sama sekali tidak mengerti cara membaca peta yang Radeeva berikan. Reina kebingungan. Ia mendongakkan wajah dan menatap mata Bhinendra seolah-olah sedang meminta pencerahan.

"Teteskan satu tetes darahmu di situ maka kau akan tahu jawabannya! Dasar bodoh!" ucap Radeeva yang mulai tidak sabar dengan kelambanan Reina. Meski tangan perempuan itu terkepal seolah siap melayang manis ke wajah Radeeva yang putih pucat, Reina tetap memilih untuk diam. Ia kembali menatap pria yang duduk di belakangnya dengan penuh pertanyaan.

Bhinendra, pria berambut sehitam tinta dengan belah menyamping itu tidak bergeming. Alih-alih membenarkan, Bhinendra justru menarik paksa perkamen di tangan Reina kemudian menggores ujung jari tengahnya dengan mata pedangnya. Darah menetes beberapa kali di atas peta tersebut. Tanpa mempedulikan tatapan Reina, pria itu menyimpan kembali peta tersebut setelah melihat destinasi pertama mereka.

"Pegangan yang kuat!" Bhinendra memacu kudanya dengan cepat dan melewati sang pangeran ke dua tanpa rasa hormat. Mata keduanya bertemu dalam beberapa detik dan membuat mereka saling menyumpah dalam hati. Dasar iblis pembantai! Semoga kau mati secepatnya! Maki Radeeva dalam diam dan kemudian mengikuti jejak Bhinendra dan Reina dari belakang.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!