Setelah dua hari berlalu, perjalanan ketiga pengemban misi itu kembali dilanjutkan. Kali ini mereka melewati rute memutar, menuju ke barat. Jika tidak ada halangan, kemungkinan mereka bisa dengan cepat tiba di kota Abyudaya. Sebuah kota yang terkenal dengan penghasil batu mulia, juga merupakan salah satu kota dengan tingkat kemakmuran tinggi di kerajaan Swastamita.
Reina telah memiliki kemampuan. Ia tak lagi mengandalkan si wajah datar untuk membawanya berpetualang. Dengan keahlian yang ia dapatkan dari transaksi pusaka pertama, ia bisa menunggangi kuda. Menderu mengimbangi gerak tempuh kedua pelindungnya yang cepat. Tanpa harus takut akan tergelincir dan terpental dari kuda.
"Hei, apa yang sudah terjadi?" Radeeva bertanya dengan sedikit berbisik pada Reina. Pria dengan mata sayu itu menaruh curiga terhadap perlakuan yang tidak biasa dari kedua rekannya. Baik Reina maupun Bhinendra tampak membuat jarak. Ada sesuatu yang tak bisa ia uraikan dengan kecanggungan yang ada.
"Apanya? Bukankah aku sudah menceritakan semuanya kemarin malam. Apa lagi yang ingin kau ketahui?" Reina menjawab dengan sedikit kesal. Intonasi yang keluar dari bibir penuh gadis itu telah membuat Radeeva menyesali pertanyaannya. Pria dengan keingintahuan yang tinggi itu tersenyum kelu sambil menggaruk kepala. Seolah-olah kulit yang disebulungi helaian merah panjang itu menggelitik dan gatal. Memang benar, Reina sudah menceritakan semua sepak terjang mereka. Mulai dari perkelahian melawan makhluk besar dari wujud penjaga pusaka, hingga mereka kehabisan tenaga. Terkapar beberapa waktu dalam dimensi pusaka pertama.
Hanya saja, anomali dari kembalinya Reina dan Bhinendra cukup menarik perhatian Radeeva. "Bhinendra tidak seperti biasanya. Ada yang aneh pada dirinya," cetus pangeran kedua yang flamboyan itu dengan pengamatan yang jeli.
Reina menghela napas, tampak jengah dengan obrolan yang -menurutnya- tidak penting. "Dia memang selalu seperti itu, seperti seseorang yang sedang menelan batu," pungkas Reina tanpa memerdulikan rasa sebal di hatinya. Tanpa di duga, Radeeva tergelak nyaring. Respons yang diberikan pemuda itu sangat sebanding dengan raut wajahnya yang memerah. Reina tahu, pria itu merasa senang. Secara, kali ini mereka memiliki kesamaan pendapat.
Melihat Radeeva dan Reina yang cukup dekat, hingga sang pangeran tertawa lepas, membuat Bhinendra tidak bisa untuk acuh tak acuh. Dengan ujung matanya yang meruncing, tajam layaknya seekor elang yang sedang mencari mangsa, Bhinendra pun memperhatikan keduanya. Radeeva kembali tergelak. Entah perihal apa yang membuatnya merasa lucu. Namun Bhirendra paham, Reina-lah yang menjadi sumber rasa gelinya itu. "Kau membuatku tak bisa berhenti tertawa. Hei, gadis! Sejujurnya aku mulai sedikit menyukaimu. Rasanya bukan hal yang buruk jika menjadi rekan seperjalananmu kali ini."
"Tidak perlu! Terima kasih banyak! Aku tidak membutuhkan sekutu yang banyak membuat masalah seperti kalian berdua." Tolak Reina, menarik tali kekang kuda dan melaju tanpa memperdulikan dua pria di belakangnya.
Mereka kembali menderu. Menerobos angin yang bertiup lembut. Seolah membelai setiap celah pori-pori kulit yang telah basah oleh keringat. Mereka harus berkejaran dengan waktu. Destinasi pusaka kedua diperkirakan berada di hutan Apoorwa . Hutan yang memiliki berbagai tumbuhan dan hewan langka di dalamnya. Begitulah penjelasan singkat yang Reina dengar dari Bhinendra dan Radeeva. Namun, sebelum sampai ke tempat yang jauh itu, mereka harus melewati kota Abyudaya. Yang berjarak ribuan mil dari rawa Swamp.
Setelah hampir setengah hari berlalu, Reina melambatkan laju kudanya. Diikuti kedua pria yang melindunginya. Mereka berisirahat sejenak di sebuah mata air, di lereng perbukitan yang penuh dengan bebatuan. Menyantap perbekalan, sebuah roti untuk masing-masing orang, tanpa bertukar kata. Iris safir Radeeva mendelik ke arah Bhinendra yang tenggelam dalam pemikirannya. Rasa penasaran menyeruak di antara ego dan gengsi pria bersurai merah itu. Ia menilik, ada sesuatu yang di rahasiakan musuh bebuyutannya tersebut. Radeeva, meski menaruh dendam kesumat pada Bhinendra, tetap saja memahami gelagat pria yang ia benci melebihi siapapun. "Kenapa wajahmu berlipat-lipat tidak jelas begitu?" celetuk Radeeva dengan sinis.
Bhinendra menghela napas. Melanjutkan penalarannya tanpa menoleh ke arah suara yang bertanya. Keheningan kembali meliputi mereka. Radeeva yang tak dipedulikan, tampak kesal, mengambil sebuah batu pualam di dekatnya kemudian melempar tepat ke arah Bhinendra. Sang pria bersurai hitam pekat itu refleks menangkap lemparan Radeeva, tanpa mengalihkan perhatiannya pada bebatuan di seberang penglihatannya.
"Aku hanya merasa sedikit aneh," akhirnya Bhinendra membuka suara. Mengeluarkan poin penting dari hal-hal yang ia pikirkan sepanjang perjalanan tadi.
"Aneh kenapa?" Reina menyela. Meletakkan tempat minum yang terbuat dari kulit hewan di tangannya.
Netra hijau terang itu kini memandang Reina. Dengan ekspresi serius, Bhinendra menjawab, "Makhluk mitologi bermunculan dengan cepat. Jika Ular Lembu memang memiliki hubungan dengan pusaka yang kita cari, lantas bagaimana dengan Ahool? Bukankah makhluk astral besar itu tidak memiliki ikatan apapun dengan sluding magis di rawa swamp. Kenapa bisa mereka tiba-tiba muncul?"
"Seolah ada yang sengaja memancing mereka keluar!" tukas Radeeva, sependapat. Bhinendra menatap Radeeva dengan anggukan, "Kau benar. Entitas mitologi tak mungkin timbul dengan sendirinya tanpa ada rangsangan kekuatan yang besar dan kuat."
"Apakah ada seseorang yang sengaja menarik mereka untuk melawan kita?" tanya Reina semakin mencondongkan dirinya ke depan. Ia semakin tertarik dengan obrolan penuh konspirasi seperti saat ini.
Bhinendra menelan saliva dan mengerutkan alisnya, "Bisa jadi."
"Tapi siapa? Apakah ada yang memiliki kekuatan besar untuk menggerakkan makhluk-makhluk raksasa itu?" Reina menaikkan alis. Kembali duduk tegak dengan perasaan skeptis.
Radeeva mengusap dagunya dan berpikir sejenak, "Ada. Dan satu-satunya yang masih hidup di Swastamita, beliau adalah Datok. Pimpinan aula perbintangan. Tapi...."
"Tidak mungkin beliau yang sengaja melakukan semua penyerangan itu! Tidak ada alasan yang kuat untuk melancarkan aksi berlawanan dengan keinginan dan kepentingan aula perbintangan."
"Ada satu orang yang setara dengan Datok," gumam Bhinendra dengan sorot mata tajam. "Dia adalah Prana Madhya."
"Mendiang, sekaligus mantan tetua tertinggi aula perbintangan yang di hukum mati dalam penjara sihir terdalam. Dia mempelajari sihir terlarang dan mengakibatkan banyak bencana di Swastamita beberapa puluh abad yang lalu," tambah Radeeva, mengimbangi informasi yang Bhinendra berikan. "Tapi beliau sudah tewas dalam praktek sihir hitamnya sendiri, bersama dengan seluruh menara sihir yang memenjarakan dirinya dalam lautan api. Jadi, sangat mustahil jika dialah yang mendalangi kemunculan makhluk mitologi ini."
"Atau jangan-jangan ... Kamulah yang menggerakkan mereka, Reina?" tuduh Radeeva dengan seringai yang mengejek.
"Wah ... Gila sekali jika aku yang mengendalikan mereka. Kekuatan dari mana itu? Menghadapi satu ekor siluman Ular Lembu saja sudah membuat setengah jiwaku hampir musnah. Tapi, terima kasihlah ya ... Berarti kau mengakui bahwa aku memang lebih superior dibanding kalian berdua," jawab Reina asal.
"Dasar perempuan narsis! Itu bukan pujian tau!" Radeeva terkekeh, merasa semakin masuk pada karakter Reina yang baru.
"Huh, kau kira aku tidak tau kalau kau meledekku?" bantah Reina dengan alis yang meninggi. "Aku bukan Bhinendra yang hanya diam jika kau singgung. Aku akan melawan, kalau perlu mematahkan tulang-tulangmu, agar kau tidak lagi berlidah tajam seperti seorang perempuan."
Radeeva seketika berdiri, geram, dan melempar ranting yang ia pegang ke tanah. "Kau berani mengata-ngatai seorang pangeran seperti perempuan, hah? Besar juga nyalimu. Baiklah, jangan sebut aku sebagai pangeran seribu wanita jika aku tidak bisa membuatmu berakhir di atas ranjang bersamaku!"
Sebelum Reina kembali membalas, ujung pedang Bhinendra yang diselubungi oleh sarung berbahan baja, dengan ukiran naga berwarna emas itu telah melayang tepat di depan wajah Radeeva. "Tahan dirimu!" ucap Bhinendra dengan suara dalamnya. Netra hijaunya tampak siap menelan Radeeva ke dalam lava emosinya yang mendadak mendidih tanpa di undang.
"Perhatikan dengan baik, perempuan seperti apa yang pantas kau beri harapan palsu. Jangan menambah runyam masalah hanya gejolak libidomu yang tidak terkontrol itu!" Sentilan pedas yang di kemukakan Bhinendra benar-benar di luar perkiraan Radeeva dan Reina. Kedua rekan yang tidak Bhinendra sukai itu tampak kebingungan dan merasa aneh dengan pembelaan yang diberikan pria bernetra hijau itu.
Jangankan mereka, Bhinendra pun sebagai empunya badan, sempat tertegun dengan tindakan di luar nalar yang ia berikan. Ia merasa semakin tidak bisa mengontrol dirinya. Semenjak Reina ada, Bhinendra merasa otak dan tubuhnya semakin tidak sejalan. Perasaannya menjadi tidak jelas.
Semakin Bhinendra meradang, semakin tersulut rasa permusuhan Radeeva kepadanya. Pria bersurai merah itu tampak senang sekaligus puas bila melihat Bhinendra, sang musuh bebuyutannya itu, menampakkan sisi buruknya di hadapan gadis fana itu. Radeeva sengaja. Biar Reina tahu bahwa dinding es Swastamita tidak sedingin tampilan luarnya. Ada lava yang di simpan Bhinendra dalam dirinya, yang sewaktu-waktu bisa meledak, menyemburkan gelombang panas yang dahsyat.
"Kau tau dari mana jika dia menolakku? Bukankah dia sendiri tidak memberi respon apapun. Mengapa justru kau yang terlihat keberatan?" Radeeva mendekat, memprovokasi. Sudut bibirnya langsung meninggi begitu melihat wajah Bhinendra yang berubah masam. Komponen indah itu menjadi tegang dengan kedua alis yang saling bertekuk membentuk benang yang kusut dan panjang. Bhinendra terpaksa menelan argumennya. Perkataan Radeeva tidaklah salah. Jangankan kedua rekannya, dirinya sendiri pun heran dengan umpan balik yang ia berikan.
Gayung bersambut. Radeeva menyeringai, mengusap bibirnya dengan wajah yang mendongak arogan. Ia berbisik, "Kau tidak di takdirkan untuk merasakan kebahagiaan! Lagi pula, kau harusnya ingat, bahwa ada seorang wanita yang telah terkait denganmu! Kau harus menemukannya dan mempertanggungjawabkan semua petaka yang menimpa dirinya!"
Senyum Radeeva terukir, memamerkan rasa puas atas diamnya sang panglima perang Swastamita. Bhinendra mematung dalam tarikan napasnya. Radeeva tahu, ada rasa bersalah di netra hijau Bhinendra yang menggelap. Situasi menjadi tidak nyaman. Udara menjadi sesak dan penuuh penekanan. Reina tahu, jika dibiarkan, kedua pria itu akan kembali beradu kekuatan. Mau tidak mau ia harus mengambil jalan tengah. Berpura-pura tidak peduli dan kembali melanjutkan perjalanan.
Keduanya memiliki harga diri yang tinggi. Jika aku membela salah satu dari mereka, pasti yang lainnya akan emosi. Entah apa yang sudah mereka bisikkan. Sebaiknya aku tidak ikut campur. Reina menghela napas dan melompati kuda miliknya. Fokus Bhinendra dan Radeeva teralih begitu mendengar ringkikkan kuda sang terpilih. Mereka dibuat kaget dengan tindakan Reina yang meninggalkan mereka tanpa aba-aba.
"Dasar perempuan berotak miring!" Radeeva berucap dengan penuh penekanan. Ia benar-benar tidak menyangka akan di tinggal begitu saja bersama Bhinendra. Gadis fana itu sungguh membuat emosinya turun naik seperti roller coaster. Radeeva dengan cepat menaiki kuda, hampir terhuyung, dan kembali mengumpat. Tarikan kuat di tali kekang, membuat kuda berbulu putih itu meringkik dengan keras. Melaju dengan derap langkah yang hampir tidak bisa ia kendalikan. "Gadis gila, tunggu aku!" Raung Radeeva yang telah melesat jauh di ujung mata.
Jika Radeeva langsung meluncur mengejar Reina. Lain halnya dengan Bhinendra. Pemuda itu tertegun sejenak, menatap punggung kedua rekannya yang semakin jauh di depan. Dengan beberapa kali menghela napas, ia pun melaju dalam deruan angin. Menyusul Reina dan Radeeva secepat mungkin.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 18 Episodes
Comments