Pagi ini seperti biasanya rumah sakit sudah kedatangan pasien, dan seperti biasa para dokter dan para perawat yang masih belum lepas dari shift malam pada melayani. Baik itu pasien yang baru datang, maupun yang sudah berada di ruang rawat inap.
Di kantin, teman-teman Dewi sarapan tak seperti biasanya. Laras dan Teguh tahu hari ini Rena ambil cuti, tapi tidak untuk Dewi. Namun, Dokter Ajeng tahu.
“Dewi kemana ya?” gumam Teguh melihat sekeliling.
“Dia ambil cuti,” terang Dokter Ajeng.
Mendelik. "Dewi ambil cuti, Dok? Kok Dokter tahu?”
“Sebelum saya ke sini, saya ke ruang administrasi. Terus ketemu Kepala Ruangan kalian. Beliau cerita ke saya."
“Kok kita nggak dikasih tahu ya.”
“Mungkin nanti pas kalian masuk kerja.”
“Kok bisa bersamaan sama Rena ya,” heran Laras.
“Mungkin urusan mereka kebetulan harinya sama.”
“Berapa hari ya Dewi ambil cuti, Dokter tahu?”
“5 hari.”
“Wah, mereka wajib bawa oleh-oleh nih untuk kita!” oceh Teguh.
Sudah pasti dia dan Laras jadi merangkap kerjaan Dewi dan Rena.
“Kok bisa mereka semua samaan gitu ya,” heran lagi Laras, kali ini disertai menggeleng-gelengkan kepala.
**********
Dewi duduk di teras bersama ibunya menunggu yang menjemputnya datang. Kopernya diletakkan di samping tubuhnya.
“Jangan lupa pesan Ayahmu ya, Nak. Mas Kris itu ke sana tugas jangan diganggu." Ibunya mengingatkan.
“Iya, Bu.”
“Nanti juga jangan buat susah keluarga Mas Kris ya.”
“Iya.”
“Oh ya, Mas Kris itu anak ke berapa?”
Yang ditanya terdiam, dia benar-benar nggak tahu. Untungnya, ibunya melanjutkan bicaranya.
“Kalau dia punya adik, kamu main saja dengan adiknya. Dan kamu baik-baik juga dengan keluarganya ya.”
“Iya.”
Tak lama yang ditunggu mereka datang. Dewi dan ibunya berdiri. Setelah memarkirkan mobil, Kris turun menghampiri, bertegur sapa dengan ibu Dewi. Sesudahnya, dia mengangkat koper Dewi masuk ke bagasi. Selanjutnya dua orang itu pamit.
Dalam perjalanan, Kris menyerahkan tiket pesawat diletakkan di atas dashboard.
“Itu, tiketmu. Itu, tiket pulang-pergi.”
“Makasih." Mengambil malu-malu, lalu lanjut bicara. "Oh ya. Kata Ayah, aku tidur di rumahmu."
“Ya, aku tahu.”
“Apa tidak apa-apa?”
“Tidak apa-apa.”
“Tapi, aku tidak kenal keluargamu.”
“Apa kamu lupa?”
Dewi mengernyitkan alis. Lupa? Apa dia lupa lagi? Ya, Tuhan... Apa ada hal terlewatkannya ketika bersama Kris? Itu tidak mungkin!
“Ingat baik-baik ya, Dewi... Bapakku orang Jawa, Ibuku orang Medan, karena itulah namaku campur Jawa. Ayahku punya usaha onderdil, Ibuku buka usaha rumah makan di rumah. Tepatnya di lantai 1, rumahku 3 lantai berbentuk rukan. Aku anak pertama punya dua adik perempuan. Adikku pertama bernama Dena semester 2 kuliah di USU. Yang bontot Ria SMU kelas 2.”
Alis Dewi menjulang tinggi. Mengapa nada bicara Kris rada mengeluh begitu? Kan memang dia belum ketemu keluarga Kris. Dikenalin lewat telepon juga belum. Dia menatap Kris dengan raut wajah heran.
Sesaat kemudian, mobil tiba di bandara Soekarno Hatta. Usai memarkirkan mobil, mereka turun. Lalu berjalan bersama-sama ke pintu masuk keberangkatan penumpang.
(Gambar hanya ilustrasi)
Pria itu sengaja meninggalkan mobilnya di bandara. Supaya nanti pulang bisa langsung dipakainya.
Dari kejauhan bola mata Rena membesar bukan kepalang. Mengapa Dewi bisa ikut? Bagaimana bisa ambil cuti? Juga, masa diperbolehkan? Bukankah jadi makin kekurangan orang di bagian tempat kerja mereka?
Musuh Dewi itu telah datang duluan menunggu di depan pintu. Selepas bicara dengan orang tuanya, besoknya Dewi diam-diam mengajukan cuti. Makanya teman-temannya tidak tahu. Kalau Dokter Ajeng itu tadi tahu itu karena kebetulan. Sebelumnya kan nggak.
“Oo... Dewi ikut,” sapa Rena, berusaha santai setiba mereka.
Kris heran. “Kamu nggak tahu?”
Tanpa dia kemarin bicara saat ketemu Rena. Seharusnya besoknya Rena tahu dari Dewi. Bukankah juga Dewi tahu dia pergi ke Medan dari Rena?
Dewi mengamati musuhnya yang nggak cepat menjawab. Biar dia puas bikin shock, namun dia harus membantu. Kris nggak tahu apa yang terjadi antaranya dengan Rena.
“Kemarin kami sibuk. Aku jadi lupa beri tahu,” tuturnya.
“Iya. Kamu sih Wi,” timpal Rena.
“Oo... Gitu. Ayo. Kita masuk,” ajak Kris.
Di dalam, Rena berinisiatif mengambil seluruh tiket di tangan untuk pengurusan di counter check in. Sedangkan Kris dan Dewi menanti di luar antrian.
(Gambar hanya ilustrasi)
Dewi ingin mengajak Kris mengobrol karena dari tadi mereka berdiam diri saja. Memang ada juga yang mau ditanyain.
“Boleh aku tanya?”
Menoleh. “Mm?”
“Maaf, aku tidak ada maksud apa-apa. Aku hanya mau tahu, apa nanti keluargamu tahu siapa aku?”
Kris mendelik.
Buru-buru. “Bukan, bukan. Aku bicara begini, bukan seperti yang kamu pikirkan. Tolong jangan salah sangka. Maksudku, biar nanti aku tahu menghadapi keluargamu.”
“Maksudmu, apa keluargaku tahu dulu kamu pacarku?”
Mengangguk. "Iya."
“Tahu, dan sudah kukatakan kita sudah putus.”
“Oo... Begitu."
Ya, Tuhan... Bagaimana ini...? Belum pernah ketemu, malah sudah jadi mantan tidur di sana. Ah, apa sebaiknya dia tidur di hotel saja?
Disaat Dewi sedang berkutat dipikiran, Kris bicara membuat dia jadi tersadar dari lamunannya.
“Dulu sewaktu kita pacaran, aku juga pernah bilang padamu, keluargaku sudah tahu tentangmu."
Hah? Masa? Apa Kris bercanda? Nggak mungkin dia melewatkan momen bersama Kris. Baginya tiap waktu sangat berarti. Dia ingin membantah, dari kemarin Kris seperti mengejek semua ingatannya saat dulu mereka bersama. Namun mulutnya terkatup karena Rena tiba.
“Lama ya.”
“Nggak apa-apa. Antriannya juga kan panjang." Kris yang merespon.
“Iya, Bang.”
Rena memalingkan wajahnya ke Dewi. Rupanya inisiatifnya itu ada udang dibalik batu.
“Wi, kan bangkunya yang satu ditengah. Nah! Yang dua, satunya di jendela. Gue kalau naik pesawat suka mabuk gak bisa duduk di tengah. Kalau di jendela, nggak. Bisa tuker nggak, Wi?”
Yang diminta begitu sedikit terpana. Tipu muslihat apa lagi temannya yang satu ini. Ish, nyebelin!
Pria tambatan hatinya bukan membantunya bilang, ya sudah aku saja yang pindah. Malah...
“Nggak apa-apa kamu duduk sendiri?”
“Mm, nggak apa-apa." Dewi menjawab garing.
Kemudian mereka berjalan menarik koper masing-masing. Sepanjang melangkah muka Dewi kecut. Rena mengamati, lalu berseru memanggil pria yang diperebutkan mereka.
“Bang, berhenti dulu.”
Menoleh. “Ya?”
“Apa ya makanan yang dulu Abang kasih ke aku?”
“Makanan?”
“Itu... Kue berbungkus plastik warna hijau. Yang dulu Abang pernah kasih ke aku, waktu aku kasih Abang bika Ambon. Beberapa hari kemudian Abang ada kasih kue itu.”
“Oo... Apa ya lupa. Kenapa memangnya?”
“Keluargaku kayaknya suka deh Bang. Aku mau beli. Abang bisa nggak temenin aku cari? Itu, ada toko kue di sana.”
Rena mengarahkan tangannya ke toko makanan yang tidak jauh dari mereka berdiri.
“Boleh."
Rena beralih ke Dewi. "Wi, gue pinjam Bang Kris dulu ya. Oh ya, titip koper kita dulu ya bentar."
Bukannya diajak, dia malah dijadikan penjaga. Kan bisa nitip koper dengan penjaga toko di sana. Dewi memandangi laju langkah mereka dengan muka makin masam.
Rubah gak ada matinya!
Rupanya kekesalan Dewi terus berlanjut. Di sana, Rena bersikap manja, memukul pelan pundak Kris, dan gelendotan mesra di lengan. Melihat itu dicencengkramnya gagang koper kuat-kuat.
Ishhh...!
Di pesawat, wajah Dewi terus diselimuti suntuk melihat keakraban mereka berdua. Dia tahu mereka memang akrab, tapi saat ini berbeda. Apa lagi melihat Kris tertawa lepas begitu. Saat bersamanya Kris tidak seperti itu, tapi dengan Rena? Ya, memang keadaan mereka tidak seperti dulu. Tapi, masa Kris tidak bisa tertawa seperti itu padanya?
Nggak lama pesawat lepas landas. Terus terbang tinggi melayang di angkasa...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 76 Episodes
Comments
novita setya
iiiihhh maksa bgt sih dewi..hmmm
2021-08-09
0
erna sutiyana
nyesek jadi dewi
dewi katanya gak peka sama keadaan maka ny kris minta putus
2021-05-22
0
Nasya Lau
nyeseg jadi Dewi, dewinya yang ga ngerti 2 atau gimana sih kamu itu Wi, Kris itu bukan pacarmu lagi,
2021-05-10
0