“Saya sudah baik-baik saja, bisakah saya pulang?”
Itu, dan itu, terus yang diucapkannya tiap kami bertemu. Saat ini aku lagi berada di depan hidungnya. Biasa, melakukan rutinitasku mengurusinya. Aku nggak menghiraukan, bosan! Lagian, kenapa dia minta padaku? Kenapa nggak ke dokter? Dia kan tahu aku nggak punya wewenang tersebut, aneh!
Aku memeriksa denyut nadinya, dan mencatatnya di kertas laporan. Dia bangun dari ranjang menatapku tajam.
“Hei, Anda punya kuping nggak?”
Aku bergerak mengambil obat, dan peralatan yang menunjang kebutuhanku untuk mengobatinya. Di rak obat beroda yang kubawa, yang kuparkir di sebelah ranjangnya. Aku duduk di sampingnya. Mendorong tubuhnya secara perlahan biar dia berbaring. Biar aku mudah mengerjai lukanya. Secara hati-hati aku membuka perban di depanku. Jarak wajah kami sangat dekat. Pandangannya tetap tidak berubah penuh kilatan amarah.
“Hei, Anda tuli ya?!”
".........."
"Hei, Anda dengar tidak?"
Karena aku terus diam saja, akhirnya dia hanya melototinku saja. Setelah selesai dengan apa yang kukerjai. Aku baru buka suara.
“Luka Anda sudah mulai mengering. Tapi biar bagaimanapun kondisi Anda belum pulih. Istirahatlah...,” ucapku tenang.
Segera aku bangkit dari ranjang, membereskan bekas kain kasa yang habis kubongkar di dadanya untuk mengganti yang baru, dan beberapa obat, juga peralatan lain yang telah kupakai. Semua masuk ke rak. Pria itu buang nafas kasar setelah aku merapihkan semua itu dan berlalu.
Kenapa dia keki begitu? Karena telah beberapa kali dia melakukan percobaan kabur, tapi ternyata tak mudah menghadapiku. Karena aku melakukan pelbagai cara untuk menahannya. Apa lagi terakhir, aku mengancamnya akan berhenti kerja dari tempat ini karena aku sudah gagal mengurus pasienku sampai sembuh hehe... Biarin saja dia mikir apa. Pria dengan predikat tentara tentu punya beribu cara. Aku juga harus punya taktik, meski ideku lebay.
Habis, bayangankan saja! Terakhir dia mau kabur dengan membongkar sperai, sarung bantal dan guling. Sperai itu dirobeknya panjang-panjang, diikatnya semua bersamaan bantal dan guling. Alhasil, ujung ikatan kain yang dibuatnya diikatnya ke jendela. Sisanya, di lemparnya menjuntai ke bawah. Kamar inapnya berada di lantai 3. Untunglah pas kejadian itu bertepatan aku datang. Kalau tidak, dia sudah berhasil lolos.
Sepanjang pagi dan siang ini dia tampak baik. Tiap aku periksa dan beri obat, selalu bilang 'terima kasih'. Mungkin otaknya sudah jernih, atau gara-gara memikirkan ancamanku yang lebay itu. Sorenya, dia bilang ingin duduk di taman. Katanya, bosan kelamaan di kamar. Memang, gara-gara keributan yang terjadi diantara kami. Aku hanya datang merawatnya. Selebihnya, aku mengawasinya, tidak pernah sekalipun mengajaknya jalan-jalan keluar kamar.
Sambil mendorong tiang infus, aku menuntutnya. Sesampai di sana, aku membantunya duduk di bangku taman, aku menyusul duduk di sebelahnya. Tiang infus kuparkirkan diantara kami. Dia melihat-lihat pemandangan. Aku curi-curi mata melihatnya. Senang dia seperti ini, seperti kucing penurut.
Saat aku sedang menemaninya, dari kejauhan rekanku memanggilku, mengatakan dokter sedang mencariku. Setelahnya, rekanku pergi. Yang mencariku itu merupakan dokter ortopedi yang menangani sakit pria di sebelahku ini. Aku bingung mau pergi, bagaimana nanti dia balik ke kamar?
“Pergilah...,” katanya. Tentu, dia turut mendengar.
“Anda bisa?”
Dia tersenyum. “Hanya mendorong tiang infus saja, masa saya nggak bisa?”
Ya! Masa nggak bisa?! Ah, aku terlalu khawatir. Akhirnya kuputuskan pergi. Rupanya sikap penurutnya itu hanya akal-akalannya saja, biar dia bisa kembali kabur ketika aku lengah. Aku memang sejak kejadian terakhir itu semakin super ekstra memantaunya. Aku terkesiap, ketika seorang security menggedor pintu datang memberi laporan, dimana aku dan dokter sedang berbicara di dalam.
Tok! Tok! Tok!
“Masuk!” teriak dokter untuk orang berada di luar.
“Lapor Dok! Pasien itu kabur lagi!” Seorang pria berkisar usia 40 tahun, berdiri di pintu dengan raut wajah panik.
Ya... itu, itu... Siapa lagi kalau bukan dia satu-satunya pasien yang selalu bikin susah seisi rumah sakit. Karena bukan hanya aku, dokter, juga security. Semua yang bekerja di rumah sakit ini, jika ada waktu senggang pasti pada sibuk membantu mencarinya.
“Apa?!” kaget dokter berdiri, begitu pula aku.
Kami berdua panik berhambur keluar. Security bilang dia sudah berada di luar area rumah sakit. Dokter menyarankan kami berpencar. Aku segera mengambil langkah sendiri memasuki pemukiman penduduk. Rumah sakit tempat kerjaku berdampingan dengan rumah penduduk.
Aku berlari ke sana-sini disemua gang tapi sosoknya tidak kutemukan. Aku sudah tak perduli lagi hak sepatuku yang patah, hingga luka di telapak kakiku. Akibat lari tak hati-hati, dan tergesa-gesa. Kakiku jadi terkena serpihan beling.
Aku yakin dia masih sekitaran sini. Nggak mungkin dia pergi jauh. Karena dia tidak punya uang sepeserpun. Ya, kecuali, kalau dia mencuri motor ya... Ya! Pasti dia lihai mengutak-atik motor nggak berkunci. Tak perlu diragukan lagi itu jika kita bicara latar belakangnya.
Aku melihatnya, dia sedang menyeberang jalan. Aku berlari cepat, diiringi berteriak sekeras-kerasnya buat menghentikan langkahnya.
Mobil berdecit.
Ciiiiiit...
Dia menoleh, terkejut aku berada di tengah-tengah jalan. Dikelilingi mobil yang salah satu hampir menabrakku. Dia memutar haluan langkahnya menghampiri aku.
“Apa Anda sudah gila?!” kesalnya.
“Ya, saya sudah gila!” rutukku.
Semua mobil memainkan klakson menandakan agar kami segera pergi dari sana. Kami pun pindah lokasi menepi di pinggir jalan. Namun baru saja langkah kami berhenti, dia lanjut mengumpat.
“Apa susahnya Anda melepas saya? Apa untungnya saya dibawah terus perawatan Anda? Kenapa saya harus sembuh total baru bisa pergi?! Lihatlah... Saya sudah sembuh! Dan baik-baik saja! Sembuh total seperti apa yang Anda maksud?! Jadi, tunggu apa lagi...?!”
“Menurut Anda, menurut kami tidak.”
“Apanya yang tidak?”
“Anda hanya orang awam nggak tahu apa-apa tentang medis. Memang tampak didepan baik tapi tidak didalam.”
“Cih! Mau didepan kek, didalam kek, bagi saya sudah sembuh!”
“Itu bagi Anda, bagi kami tidak.”
“Cih! Dasar perawat keras kepala!”
“Terserah Anda mau ngatain saya apa, sekarang kembalilah..."
Dia makin geram. “Dasar perawat gemuk!”
Hah?! Apa? Gemuk?! Kupingku nggak salah dengar, 'kan? Tidak, tidak. Sumpah! Dia ngatain aku begitu. Baru kali ini aku dengar. Ada sih pasien yang mulutnya tajam namun nggak pernah menyerang ke fisik. Memang aku terlalu displin, tapi kan itu sudah kewajibanku. Lagi pula, untuk saat ini, itu semua karena ulahnya.
Lagian juga, kurasa nggak ada satupun pasien di Dunia ini bicara kasar dengan perawatnya. Mau itu perawatnya bawel, gak ada senyum, angkuh, maupun modelan kayak aku. Tapi ini, ckckck... Sulit dipercaya! Apa lagi yang bicara begini seorang tentara...?? Wow... banget, 'kan?
Apa dia sudah diubun-ubun ya, karena tak pernah berhasil kabur dari aku jadi perkataannya lolos begitu saja? Apa lagi dia seorang tentara mungkin harga dirinya serasa diinjak-injak selalu kalah dari aku. Kalau alasan itu, aku dapat memaklumi. Terlihat sih dia berbicara dengan raut muka luar biasa emosi.
“Ya, saya perawat gemuk! Perawat keras kepala! Perawat yang waktunya tidak ada habis-habisnya memantau Anda. Mengamati Anda, menjaga Anda, biar Anda tidak kabur dari rumah sakit! Puas?... Sekarang, baliklah. Jika Anda nggak ingin dengar saya menjerit sekeras-kerasnya mengatakan ke semua orang bahwa Anda pasien gila yang kabur dari rumah sakit! Lalu meminta bantuan orang-orang untuk menggiring Anda ke rumah sakit, maka patuhlah!”
Seketika dia melotot. Siapa yang bakal nggak percaya kalau aku bilang begitu? Aku memakai seragam suster, tentu saja dia memakai seragam pasien. Bola matanya saat ini seperti ingin keluar dari tempatnya. Merah, meraaah sekali... Tanpa bicara dia langsung balik badan berjalan pergi. Aku mengikutinya di belakang. Hehe... Kalah lagi, 'kan?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 76 Episodes
Comments
erna sutiyana
segemuk apa sih mbak perawat ny
2021-05-21
0
Lina Susilo
menarik
2021-03-07
0
Nia Purwakantina
ngikutin cerita descendant of the sun ya
2020-05-11
0