Sejak kejadian tempo hari itu Kris jadi sering melamun. Dia gak habis pikir wanita itu punya beribu cara menahannya. Memang tugasnya, merawat pasien sampai sembuh. Tapi kan masalahnya, sisa penyembuhan bisa dilakukan rawat jalan.
Seharusnya wanita itu peka, kenapa dia terus meminta pulang. Dia begitu, agar wanita itu membantunya bicara ke dokter. Kalau dia yang bicara, mana dokter mau dengar. Posisinya kan pasien.
Memang juga salahnya, diawal bilang ingin balik ke markas. Mungkin yang dipikirkan wanita itu gara-gara omongannya yang itu. Dan, yah... Dari situ hubungan mereka jadi tidak baik. Dari situ juga jadi sering ribut. Jadi, bagaimana wanita itu bisa berpikir apa yang diharapkannya?
Padahal apa yang diucapkannya. Tak mungkin dia menelantarkan tubuhnya. Tentu, dia nggak sebodoh Itu. Usai memastikan urusannya di markas selesai, dia langsung balik pulang istirahat.
Sebenarnya bukan itu yang teramat dipikirkannya. Dia melihat wanita itu kemarin terseok-seok mengikutinya di belakang. Dia tidak buta, saat wanita itu berdiri ditengah jalan, mereka menepi kemudian. Telapak kaki wanita itu sepertinya terluka karena dilihatnya kesusahan berjalan.
Apa wanita itu mencarinya tanpa memikirkan luka yang dideritanya? Sebegitu keraskah wanita itu mencarinya? Sebegitu tanggung jawabnyakah wanita itu ke dirinya hingga tak memikirkan rasa sakit di kakinya? Astaga... Wanita itu bikin dia tak enak saja!
Disaat Kris sedang melamun, sosok yang dilamunkannya masuk ke kamar. Kris yang lagi rebahan curi-curi mata mengamati di bawah tubuh orang yang sedang berjalan menghampirinya. Wanita itu masih kesusahan berjalan.
Dewi meletakkan bawaannya di atas nakas. Kris mengamati tag nama yang menempel di depan matanya. Dewi Abarwati.
Kemudian Dewi duduk di samping ranjang, membuka pelan-pelan kancing kemeja di depannya.
“Saya tidak mengganti perban Anda lagi, luka Anda sudah kering. Saya hanya membersihkan saja. Kata dokter, besok Anda sudah pulang."
Mendengar kata pulang tentu Kris senang.
“Baguslah!”
Dewi tersenyum. “Ya, bagus. Perang diantara kita kan jadi usai.”
Ini maksudnya menyindir? Atau apa? Tapi Kris tidak menghiraukan, dia lebih tertarik hal lain.
Wajah wanita ini lumayan, tidak jelek. Dan hebatnya, tidak ada satu pun jerawat yang bertengger di mukanya. Bening... Bersih... Pipinya pun chubby dan keranum-ranuman. Menggemaskan!
Saat Dewi melepaskan perban di dada lelaki itu. Kris tersentak kecil akibat tersenyum kecil sendiri.
Jika situasi normal, andai Dewi bukan perawat, mungkin bakal berdebar dihadapi dada semenarik itu. Dada pria itu bidang dengan otot-otot keras yang menawan terukir indah.
“Ini terakhir saya merawat Anda. Saya nggak ke sini lagi karena Anda nggak perlu lagi perawatan dari saya. Anda hanya istirahat menunggu esok. Usai ini, saya akan melepas selang infus Anda.“
Nggak lama Dewi berdiri. Kris kembali curi-curi pandang. Namun dalam pandangannya, dadanya diselimuti debaran. Akibat dengar saya nggak ke sini lagi. Dan deguban itu makin terasa kencang, ketika wanita itu telah selesai apa yang dikerjainya, menundukkan kepala sebelum melangkah keluar.
“Maaf, kalau selama masa perawatan saya, saya bersikap berlebihan. Itu semata-mata saya lakukan demi kebaikan Anda. Sekali lagi, saya minta maaf.”
Tidak ada yang salah dengan wanita ini. Wanita ini hanya menunaikan tugasnya. Kenapa harus minta maaf? Justru! Dialah yang salah.
Malamnya, Kris sulit memejamkan mata. Ucapan itu entah mengapa membuatnya kini jadi enggan pergi.
Dewi Abarwati... Dewi Abarwati...
Ya! Wanita itu sudah membuatnya gelisah bolak-balik memiringkan tubuhnya ke kiri dan ke kanan. Sulit sekali tidur! Resah membayangkan esok. Adakah wanita itu nanti pagi? Apa dia masih bisa lihat wajah itu lagi? Kalau tidak, kakinya pasti bakal berat melangkah. Ada yang ingin dikatakannya sebelum pergi dari sini.
Keesokan hari, dokter menemui Kris didampingi perawat. Bukanlah perawat yang biasa merawatnya. Dokter berbicara tentang kondisi fisik terakhirnya. Kris mendengar, tapi bola matanya mencari-cari. Padahal disitu jelas-jelas yang berdiri di samping ranjangnya hanya 1 dokter dan 1 perawat lain. Ya! Mungkin Kris masih tidak percaya dengan apa yang dilihatnya.
Wanita itu tidak ada? Kemana? Apa wanita itu telah berganti tugas tepat di hari kepulangannya? Sebab itulah kemarin wanita itu berbicara begitu? Ya, memang itu yang dipikirkannya. Makanya, semalam dia resah. Salahnya, harusnya kemarin dia menahan wanita itu dulu sebelum melangkah keluar dari kamar.
Setelah dokter dan perawat pergi, Kris menukar pakaian pasien ke seragam tentaranya. Seragam tentara yang sudah lusuh akibat perang kemarin, juga akibat terkona noda darah di dadanya. Yang telah dicuci oleh pihak rumah sakit untuk di pakainya pulang. Ya! Tentu Kris hanya bawa baju di badan.
Sesudahnya, Kris keluar dari kamar. Di luar, dia melambat-lambatkan langkahnya. Kalau bisa, dia berharap lusa baru sampai di depan pintu gerbang rumah sakit. Namun itu kan nggak mungkin, selambat-lambatnya dia berjalan tetap saja tinggal berapa langkah lagi mencapai tujuan. Dia mulai gelisah dari tadi sudah mengamati sepanjang jalan dia melangkah. Sosok yang dicarinya tidak ada.
Dia harus ketemu wanita itu, pokoknya harus! Kalau gak, dia akan kesulitan nanti ke depannya. Tapi sepertinya asanya kandas! Tinggal beberapa langkah lagi dia tiba diujung pintu keluar...
“Selamat jalan... Selalu jaga kesehatan ya.”
Karena sangat mengenali suara itu, secepat kilat Kris menoleh. Wanita itu berdiri di belakangnya dengan mengembangkan senyuman lebar.
Gila! Setelah apa yang diperbuatnya, masih bisa tersenyum? Ya! wanita ini pun kemarin tampak sopan. Wanita ini sepertinya wanita baik-baik.
“Boleh saya bicara denganmu?”
Dewi mendelik. Hmm...? Mu? Mendengar itu tentu aku bingung. Kenapa pria ini jadi bicara nggak formal? Apa dia merasa terharu atas sikapku? Ah, padahal aku hanya berusaha bersikap sopan saja sejatinya sih masih keki. Tapi apapun itu semua telah berakhir, gak guna juga diperpanjang, toh dia sudah sembuh, dan sudah mau pulang.
Aku mendekat. “Ya?”
“Maaf, atas kekurangan ajaran mulutku tempo hari. Kata itu meluncur begitu saja. Demi Tuhan! Aku nggak ada maksud menyakiti hatimu. Aku tahu, kamu hanya menjalani tugasmu. Tapi karena aku terdesak, dan kamu selalu menahanku, jadi tanpa sadar aku berbicara kasar. Ucapanku sungguh tercela. Sangat tidak pantas. Sekali lagi, aku minta maaf.”
Aku? Kenapa pria ini jadi semakin tidak formal? Ok! Aku tidak ke inti itu. Apa tadi? Dia bilang minta maaf? Ya! Kumaafkan. Orang jika telah mengakui dan berani berkata maaf tentu kumaafkan. Berarti dugaanku, benar.
“Tidak apa-apa. Saya mengerti,” jawabku dengan nada tetap formal.
“Terima kasih.”
Mata pria ini menyusuri bawah badanku, mengamati telapak kakiku yang di bungkus perban, setelah itu kembali menatapku.
“Apa telapak kakimu masih sakit?”
“Ah, sudah mendingan.”
“Aku juga minta maaf untuk luka yang kamu derita. Kuharap telapak kakimu cepat sembuh.”
“Ya, baiklah. Terima kasih.”
Pria ini tersenyum lalu pamit. Tapi sepanjang dia belum lepas dari pandanganku, sikapnya aneh! Selalu bolik-balik menoleh ke arahku dengan rona pipi merah jambu. Lah! Kenapa tuh dia?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 76 Episodes
Comments
Lina Susilo
semangat thor
2021-03-07
0
Andina Sofia
terlalu banyak repetisi..pengulangan....cerita nya menarik...bahasa tulisan saja yg mesti diperbaiki...semangat author 💪
2020-02-12
1
Rere
di ajakin mampir dimari. dari novel di sebelah 😊😊
dan... aku terpikat. 😁
2020-01-26
0