Malam ini jiwa raga Dewi seperti tidak pada tempatnya. Berbaring membeku menatap kosong langit-langit kamar. Sulit sekali dia memejamkan matanya. Sesak yang merayapi dadanya, membuatnya bangun menyandarkan tubuhnya ke dinding.
Gak terpikirkan olehnya Kris bicara wanita lain. Gak terpikirkan olehnya, Kris akan membiarkannya pergi bersama pria lain. Apakah dengan ini peluang Rena makin terbuka lebar? Diujung pada akhirnya hubungannya dengan Kris menuai hasil yang sama? Mereka tidak mungkin seperti dulu lagi?
Ditelannya ludahnya yang serasa getir. Bagaimana bisa Kris nggak menimbang, kalau apa yang dikatakannya itu akan jadi masalah besar nantinya bagi mereka berdua?
**********
Ibunya menaruh lauk pauk di kotak makan. Semalam masakannya banyak tersisa. Diserahkannya kotak itu ke tangan anaknya.
“Semalam Ibu nggak kepikiran. Harusnya Ibu bungkusin buat Mas Kris ya. Kan lumayan bisa disimpannya di kulkas. Nanti tinggal diangetin deh sewaktu-waktu dia lapar.”
Kris tinggal sendiri di rumah dinas. Dewi dan Ibunya tahu, selain Kris cerita, tentu dari ayahnya.
“Ya sudah, Bu. Dewi takut telat nih." Dewi menanggapi lain. Memasukkan bekal ke tas, menyalim tangan ibunya kemudian.
“Oh! Iya, iya. Hati-hati di jalan ya, Nak.”
Dewi gak pernah bareng ayahnya. Dia berangkat kerja lebih pagi. Tempat kerjanya menempuh jarak jauh. Tak luput juga dia pamit ke ayahnya, mencium tangan.
“Yah, Dewi pamit.”
“Iya, hati-hati.”
Pagi ini tidak seperti biasanya dia bangun kesiangan. Wanita itu tergesa-gesa keluar dari komplek. Komplek perumahan yang dihuninya untuk kalangan masyarakat menengah. Sebenarnya ayahnya dapat rumah dinas tapi nggak mau diambil. Soalnya kalau sudah pensiun akan dipakai tentara yang masih aktif. Itu bakal merepotkan nantinya jika ayahnya pensiun. Sesudah menikah, ayahnya menutuskan lebih baik mandiri.
Angkutan umum yang membawanya pergi berhenti di halte, dia segera naik. Mobilitas pagi orang berangkat kerja ramai, mobil sesak Dewi gak dapat duduk. Meski berdiri, tapi dia sempat memejam-mejamkan matanya. Hal biasa sering dilakukan orang dalam angkutan umum, bisa tidur dalam kondisi apapun jika malam kurang tidur.
Jakarta macet dimana-mana, Dewi terjaga dari tidurnya yang sesaat. Setelah menempuh perjalanan panjang, akhirnya dia tiba. Wanita itu segera berlari-lari kecil menuju pintu managemen rumah sakit. Karena 5 menit lagi absen akan ditutup.
(Sebelumnya, di ruangan HRD. Ketika Dewi dalam perjalanan ke tempat kerja).
“Ini untuk kapan ya, Ren?” tanya seorang pria paruh baya mengenai kertas pengajuan Rena.
“Lusa, Pak.”
“Jadi ini dipotong sama off kamu?”
“Iya, Pak. Maaf nih mendesak.”
“Gak apa-apa. Kalau penting, saya bisa mengerti.”
“Terima kasih, Pak.”
Sesudah itu, di kantin rumah sakit.
“Dewi kemana ya?” tanya Dokter Ajeng.
“Iya, tumben dia belum nongol,” ujar juga Laras.
“Jangan-jangan nggak masuk.”
“Haish... Masa, habis dijemput Mas Kris, nggak masuk, Dok? Haha...,” kelakar Teguh.
“Oo... Kemarin dia habis dijemput toh!"
“Iya.”
Rena diam saja tidak buka suara.
**********
Usai ganti baju, Dewi buru-buru ke luar berjalan ke lantai 3 tempat dimana meja kerjanya. Sesampainya, teman-temannya pada terkesima, kecuali Rena.
“Loh! Masuk elo, Wi," tegur Laras.
“Masuk kok gue."
“Oo... Kirain nggak masuk.”
“Tumben elo telat," timpal Teguh.
“Iya, kesiangan.”
Dokter Ajeng dari kejauhan memanggil Laras dan Teguh. Dua orang itu berdiri, berjalan pergi. Tinggallah dua orang itu.
Situasi bukan seperti dulu lagi. Sejujurnya, sekarang wanita itu malas banget dekat-dekat dengan Rena. Di tariknya kursi sedikit menjauh. Rena melirik, menyeringaikan bibirnya
“Kantung mata elo hitam banget, Wi. Kayak orang nggak bahagia gitu habis dijemput. Kok kayak orang kurang tidur gitu sih, Wi?”
Haish... Nih anak, adaaa... aja!
“Ren. Kerja.”
“Iya, iya, kerja. Gue kan hanya cemas.”
“Nggak usah basa-basi deh. Fokus saja sama kerjaan kita masing-masing.”
“Yaelah... Ini juga lagi fokus. Memang nggak boleh apa, kerja sambil ngomong? Eh, benar gak sih? Kata orang, kalau salah satu pasangan kekasih kurang tidur, kemungkinannya hanya satu. Habis berantem! Apa jangan-jangan elo begitu ya, Wi?”
Sudah pasti orang bahagia tidurnya lelap. Dewi memejamkan matanya untuk menahan gejolak di bathinnya. Tapi bisa saja kan, karena nyamuk atau karena lagi ada pikiran lain. Memang orang kurang tidur dikarenakan selalu memikirkan pacarnya? Lagi pula, apa urusan Rena?
“Tapi, tapi, ribut apaan ya, Wi?”
“Ya udahlah...”
“Eh, tapi, tapi, sayang juga ya, udah lama gak dijemput malah berantem.”
“Mm... Tapi bagus juga sih! Mungkin karena itu dia jadi kesal nggak ngomong sama elo.”
Rena terus bicara sengaja membuat api membara di hati orang di sebelahnya.
“Duh... Makin enak dong gue he..." lanjut musuh Dewi itu cengengesan.
“Ren. Bisa gak sih elo diem?!” ketus Dewi.
“Maunya sih begitu. Tapi, tapi, tapi, mm, mm... Gimana yaaa...”
Temannya ini memang sudah nggak ada urat malunya. Dewi melengos buang muka. Dia berusaha nggak tertarik dengan ucapan Rena 'nggak ngomong sama elo'. Meski membuahkan tanda tanya, lebih baik dia dengan kesibukannya.
Tiba-tiba Rena menggeser kursinya, mendekati mukanya ke telinga Dewi.
“Mau gue kasih tahu nggak elo, Wi?”
Kaget. “Apaan sih elo, Ren!”
Menjauhkan badan. “He...”
“Bisa gak sih elo diem!”
“Habis gimana dong... Gue serius nih mau kasih tahu elo.”
Sepertinya dia harus mengeluarkan ultimatum supaya Rena berhenti mengganggunya. Ya! Seharusnya dari kemarin dia katakan itu.
“Ren, elo nggak takut ya, gue bilang sama Kris elo suka sama dia?” ucap Dewi.
Tertawa renyah. "Haha... Gue malah bersyukur elo bantuin gue.”
“Kalau dia jadi jauhin elo? Emang ada ya, dalam hal ini pacar gak jaga perasaan pacarnya?”
“Ada tuh, seru loh ini. Makanya mau gue kasih tau gak? Pasti elo bakal naik darah. Dua hari lalu sih sebenarnya gue mau ngetes aja. Jujur, gue kemarin agak kaget sih. Tapi, ya sudahlah... Toh, kekecewaan gue terbayarkan. Karena semalam gue nelpon Bang Kris. Mm... Mungkin gue nelponnya sehabis dia dari rumah elo. Tapi kan seharusnya habis gue nelpon, dia ngasih tahu elo. Ini, nggak. Sampai detik ini saja gue bicara sama elo, nggak ada tuh elo protes sama gue. Duh... Enak dong pedekate gue makin lancar!"
Memicingkan mata. “Apa maksud dari tadi omongan elo sih, Ren?”
Tersenyum tipis. "Tertarik juga kan elo? He... Nih, gue kasih tahu ya. Lusa, gue mau pergi sama Bang Kris ke Medan selama 5 hari."
Dewi membelalakkan kedua matanya.
“Jangan kaget gitu dong Wi, biasa saja kali...“
Rasanya dia ingin menjenggut rambut Rena dan mengacak-ngacaknya. Namun kalau dia melakukan itu berarti dia sudah nggak waras.
Dan, Kris...? Bagaimana bisa bertindak seenaknya? Kebebasan apa yang dimaksudnya? Kalau sampai ada orang yang lihat mereka berdua pergi ke Medan, bagaimana?
“Ren. Kenapa elo bisa begini sama gue?” tanya Dewi.
“Loh, kenapa?”
“Gue kan pacarnya, Ren.”
“Terus?”
“Meski elo menyukai Kris, tapi elo nggak bisa seenaknya begini sama gue.”
“Mana peduli gue. Ngapain juga gue harus mikirin perasan elo. Bang Kris juga nggak masalah tuh dekat-dekat sama gue." Kembali mendekatkan wajah ke samping muka lawan bicaranya. "Hm... Kok gue jadi terus bertanya-tanya ya, apa sebenarnya masalah elo berdua. Jadi semalam ribut apaan, Wi? Kasih tahu gue dong he... Untung kan, gue kasih tahu elo?”
Rasanya air matanya mau runtuh saat ini juga. Semalam sudah menyakitkan, sekarang dia harus mendengarkan ini lagi...???
“Pergi saja elo sama Kris ke Medan. Belum tentu juga elo bisa merebut Kris dari tangan gue," kesal Dewi.
“Idih... Terlalu percaya diri. Hati-hati Wi, Nanti nangis loh kalau kepedean.”
Dewi melengos malas melanjutkan lagi. Percuma! Rena terus mengoloknya. Ancamannya juga percuma! Lebih baik diacuhkannya saja. Karena semakin dia menanggapi, semakin pula Rena terus penasaran dengan mengeluarkan bisanya memancing emosinya. Orang kalau sudah emosi, bisa bicara tanpa sadar. Itu yang diharapkan Rena, dia jadi bicara terbuka. Dan akhirnya Rena tahu apa yang terjadi antara dia dan Kris.
Sesudahnya, Dewi masuk ke ruangan pasien memulai aktivitasnya. Meski hatinya sedang bergejolak nggak karuan. Namun dia harus tetap profesional menjalankan tugasnya. Setelah mengunjungi pasien, dia berjalan kembali ke meja kerja. Dari kejauhan dia melihat teman-temannya bersenda gurau dengan Rena. Dia berhenti melangkah.
Laras dan Teguh tidak tahu apa yang terjadi antara dia dan Rena. Rasa sedih menggerayangi jiwanya. Kalau mereka tahu, apa persahabatan mereka nanti akan tetap seperti ini? Tidakkah Rena memikirkan hal itu?
**********
Di pepohonan rindang Dewi membuka kotak makannya. Ini sudah jam makan siang. Ditatapnya isi makanannya. Ibunya sudah menyiapkan bekal untuknya dengan penuh kasih sayang.
Haruskah dia mengorbankan cinta ibunya demi seorang pria? Sudah sejauh ini dia menjalankan dietnya.
“Tidak apa-apa, tidak apa-apa... Takkan mengganggu.”
Akhirnya dimakannya bekal ibunya yang tentu saja penuh daging, tak luput dengan luapan air mata.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 76 Episodes
Comments
novita setya
rela bgt sih dewi dibully rena,diputusin sepihak ma kris. paket combo lengkap ini mah..mungkin krn dewi lemah jd bulan2an kris rena..yaaa slh km sendiri wiii
2021-08-09
0
erna sutiyana
ini dewi udh tau putus
tinggal bilang sama org tua sma temen temen ny susah amat yak
toh tmn nya yg pasti bakalan ilfiel qo sama rena
2021-05-22
0
Lina Susilo
Dewi terlalu lembek
2021-03-08
0