PERTOLONGAN

Aku memberanikan diri menoleh ke belakang untuk memastikan penyebab terhambatnya putaran roda sepedaku.

“Aneh … Tidak ada siapa-siapa di belakangku. Tapi, kenapa sepeda ini tidak bisa digerakkan maju, ya?”

Kembali aku berusaha mendorong sepedaku ke depan. Namun, lagi-lagi aku mengalami kegagalan. Roda sepedaku tak mau beranjak sedikitpun dari tempatnya. Akhirnya aku memutuskan untuk memeriksa bagian belakang sepedaku dengan lebih teliti. Terus terang saat ini hawa di tempat tersebut sangatlah tidak nyaman bagiku. Tengkukku merasakan hawa dingin seketika. Aku menundukkan kepalaku agar dapat memeriksa bagian belakang sepedaku terutama di bagian ruji-ruji dan gir belakang.

“Ya Tuhan! Pantas saja sepeda ontelku tidak bisa berjalan. Ternyata ada gulungan benang cukup banyak tersangkut di gir belakang.”

Langsung saja aku menarik gulungan benang itu dari lilitannya terhadap gir belakang. Karena mengalami kesulitan aku pun memutuskan untuk memutuskan benang itu satu persatu, sehingga lepaslah lilitan benang itu dari gir belakang sepedaku. Setelah itu aku pun buru-buru mendorong sepedaku ke depan dan langsung menaikinya.

“Alhamdulillah ….” Akhirnya aku bisa bernapas lega sambil meninggalkan tikungan tersebut.

Aku langsung mengayuh sepedaku dengan keras agar segera sampai di rumah. Namun, baru sekitar dua puluh meteran aku meninggalkan tikungan tersebut, tiba-tiba aku mendengar suara teriakan minta tolong dari arah tikungan tersebut.

“Toloooooooong!!! … Tolooooooong!!!!” suara teriakan anak kecil itu.

Aku yang sadar betul bahwa tikungan itu letaknya cukup jauh dari pemukiman pun langsung berinisiatif untuk memutar arah sepedaku dan kembali ke arah tikungan itu untuk menolong anak kecil yang teriakannya aku dengar barusan.

“Oooooooiiiiiii?” teriakku begitu aku sampai di tikungan tadi.

Tiba-Tiba aku mendengar suara rumput yang bergesekan dengan sesuatu. Kupusatkan pendengaranku untuk melacak arah suara itu berasal. Ternyata suaranya berasal dari rerumputan yang berada di sebelah timur tikungan. Aku memarkir sepedaku di pinggir jalan itu dan kemudian aku pun berjalan secara perlahan menuju sumber suara ‘kresek-kresek’ itu. Suara itu semakin jelas terdengar di telingaku. Dan pada langkah ke sekian, aku kembali mendengar suara minta tolong.

“Tolooooooooooong!!!!!” Kali ini suaranya semakin keras terdengar.

Kerasnya suara itu membuatku semakin panik. Kali ini tidak hanya berjalan, tapi aku sedikit berlari menuju sumber suara itu. Aku terkejut saat melihat sesosok anak kecil seusia Satria sedang terbaring bersimbah darah di atas rerumputan.

“Ya Allah, Nak! Kamu kenapa?” teriakku panik sambil memeriksa kondisi anak itu yang bersimbah darah.

“To-tolong aku, Pak Bram! Tolong aku!” teriak anak kecil itu sambil menahan rasa sakit.

Tentu saja aku iba melihat kondisi anak laki-laki dengan luka parah di bagian leher itu. Aku pun spontan merobek pakaianku untuk membebat luka menganga di bagian leher anak kecil itu.

“Dari mana kamu tahu namaku, Nak? Kenapa kamu sampai terluka seperti ini?” Aku berusaha mengangkat kepala anak kecil itu agar aku bisa membebat lukanya dengan robekan kain bajuku. Namun, tangan anak itu tiba-tiba mencegahku melakukannya.

“Cukup kamu pegangi lukaku ini, Pak Bram! Tidak perlu dibebat seperti itu.” Anak kecil itu melarangku untuk membebat lukanya.

“Tapi, lukamu harus diperban, Nak! Supaya darahnya tidak semakin banyak yang keluar.” Aku berusaha memberi pengertian pada anak kecil itu.

“Coba kamu pegang dulu lukaku dengan tanganmu, Pak Bram!” Ia kekeuh menyuruhku melakukannya sambil menarik tanganku menuju ke lehernya.

Aku tidak bisa berkomentar saat itu karena waktu berjalan begitu cepat. Terlebih saat bersentuhan dengan tangan anak kecil itu, aku merasakan hawa dingin pada kulitnya. Pertanda ia sudah lama berada di semak-semak itu menunggu pertolongan orang lain. Akhirnya, telapak tanganku pun mendarat di lukanya yang menganga.

“Terima kasih, Pak Bram!” ucap anak kecil itu dengan lirih.

Aku senang akhirnya bisa melihat senyuman manis anak kecil itu. Meskipun masih panjang jalanku untuk bisa memastikan anak itu akan selamat.

“Nak, kira-kira kamu bisa nggak membonceng sepedaku? Aku akan membawamu ke Puskesmas. Kalau kamu nggak kuat, biar aku akan meminta tolong kepada tetanggaku yang punya becak untuk membawamu ke Puskesmas,” ucapku berusaha menenangkan hati anak itu.

Anak kecil itu kembali tersenyum.

“Tidak usah, Pak Bram. Aku sudah sembuh kok!” jawabnya dengan santai.

“Tidak, Nak! Kamu harus tetap dibawa ke Puskesmas agar kamu benar-benar pulih total. Nanti kalau kamu sudah di Puskesmas, aku yang akan menghubungi keluargamu.” Aku mencoba menjelaskan kepada anak itu.

“Tidak, Pak Bram. Aku sudah sembuh. Coba kamu lepas tanganmu dari leherku! Kamu akan melihat kalau lukaku sudah sembuh.” Anak kecil itu berkata dengan sedikit ngotot.

Aku tersenyum kepada anak kecil itu. Aku memaklumi bahwa saat ini ia sedang berhalusinasi. Mungkin lukanya yang parah itu yang menyebabkan ia ngelantur seperti itu. Aku merasa semakin sedih melihat ia mengigau seperti itu. Terlebih ketika kurasakan lehernya semakin dingin saja. Aku memutuskan untuk buru-buru meminta pertolongan Mang Salim yang rumahnya paling deka dari sini dan memiliki kendaraan becak di rumahnya untuk digunakan mengangkut anak kecil ini ke Puskesmas terdekat.

“Nak, bapak mau panggil teman bapak dulu ya? Teman bapak punya becak di rumahnya. Jadi, nanti kami akan membawa kamu ke Puskesmas dengan menggunakan becak teman bapak itu.” Aku berkata sambil menarik tanganku dari leher anak kecil itu.

Anak itu tersenyum simpul sedangkan aku terkejut luar biasa.

“Astagfirullah!!!!” Aku terkejut karena menyaksikan luka menganga di leher anak kecil itu sudah tertutup dengan sempurna.

“Ke-ke-kenapa?” Aku berkata dengan terbata-bata.

“Pak Bram tidak usah kaget seperti itu. Aku memang sudah sembuh karena sudah ditolong oleh Bapak.”

Anak kecil itu kemudian bangun. Aku yang masih syok dengan pemandangan yang baru saja aku lihat di depan mataku pun mundur secara perlahan menjauhi anak kecil itu.

“Ka-kamu siapa?” tanyaku dengan terbata-bata.

“Pak Bram tidak usah takut kepada aku! Aku mau berterima kasih kepada Bapak. Kalau tidak ditolong oleh Bapak, mungkin aku akan tetap di sini selama berpuluh-puluh tahun.”

“Berpuluh-puluh tahun?” Aku semakin kebingungan saja mendengar perkataan anak kecil itu.

“Iya, Pak! Selama ini aku sudah sering minta tolong kepada orang-orang yang lewat di sini, tapi mereka malah lari. Sekalinya ada yang mau menolongku, mereka tidak bisa melihatku. Hanya Pak Bram yang bisa melihatku.” Anak kecil itu kembali berkata sambil berjalan ke arahku.

Aku mulai merasa ada yang aneh dengan anak kecil itu. Mulai dari suhu tubuhnya yang dingin, lukanya yang sembuh secara ajaib, dan juga teror-teror yang terjadi di tikungan ini selama belasan tahun ini.

“Ja-ja-jadi ka-kamu ini adalah…” Aku berkata dengan terbata-bata sambil memundurkan tubuhku menjauhi anak kecil itu. Akhirnya tubuhku membentur sepedaku yang aku parkir tadi.

“Iya, Pak Bram. Aku ini bukan manusia biasa seperti Pak Bram,” jawab anak kecil itu dengan entengnya.

“Hantuuuuuuuuuuuuuuuuuuu …”  teriakku sambil mendorong dengan cepat sepeda ontelku dan kemudian aku naik ke atas sepedaku dan kukayuh sepedaku sekuat-kuatnya.

Aku sudah tidak memperdulikan lagi suara apapun yang aku dengar. Fokusku kali ini adalah lari dari hantu anak kecil itudan buru-buru sampai di rumah. Entah kenapa, kayuhan sepedaku tidak seringan biasanya. Seolah-olah ada yang sedang membonceng di belakang. Tapi, kali ini aku tidak berani menoleh ke belakang lagi.

BERSAMBUNG

Kira-Kira novel ini ada yang baca nggak, ya?

Terpopuler

Comments

biji bernapas

biji bernapas

i'm gayyy

2024-01-13

0

🥰

🥰

Hadirr..

2023-12-09

0

Prio Ajik

Prio Ajik

banyak yha Thor...

2023-10-23

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!