Bisikan Setan
"Dia ada di sekitarmu."
"Jangan, lihat ... ke belakang!"
Sayup-sayup terdengar suara begitu pelan di telingaku. Sangat asing, entah dari mana sumbernya. Suara itu berhasil membuat degup jantungku berdetak sangat cepat dan tiba-tiba membuat bulu kudukku berdiri meremang. Saat ini aku masih berusaha berprasangka positif. Aku berpikir ini hanya halusinasi saja, karena yang aku lihat dari tadi keadaan lorong sangat sepi dan tak ada satu pun orang. Pikirku, mungkin suara itu berasal dari keluarga pasien yang belum tidur.
Aku terus berjalan dan tak bergeming, terus mendorong troli empat tingkat yang berisi plato kosong itu dengan cepat. Mendorong troli seorang diri di tengah malam buta begini, bukan perkara mudah bagiku yang seorang pekerja baru di rumah sakit ini. Aku harus bisa menguatkan mental agar selalu berpikiran tenang. Terlebih saat melewati bekas kamar jenazah yang akan kulalui.
"Da-ra ...."
Siapa yang memanggilku? Suara itu kembali terdengar. Walaupun penasaran, aku yang merasa takut masih tak berani menoleh ke belakang.
"Kuatkan dirimu, Dara!"
Suara itu berhasil membuat pikiran Aku kacau. Hingga membuat troli yang kudorong tak bisa dikendalikan. Troli yang aku dorong tak sengaja menyenggol kursi penunggu, membuat salah satu roda di troli itu tersangkut dan membuatnya oleng ke samping.
Tak sengaja, satu plato kosong berbahan dasar stainless steel yang kubawa terjatuh ke lantai. Suaranya sangat nyaring dan memekakkan telinga, bahkan terdengar menggema hingga sudut lorong rumah sakit.
"Sial!"
Tanpa menoleh ke belakang, Aku langsung meraih Plato yang telungkup itu dengan cepat dan menaruhnya lagi di atas troli. Aku berusaha tenang dan tetap berpikiran positif. Aku paksakan kaki ini agar terus berjalan sampai di ruang pantry tempatku bekerja. Ruangan tersebut letaknya paling ujung rumah sakit. Aku harus melewati bekas kamar jenazah sebelum sampai ke tempat itu.
Terdengar suara petir di luar begitu menggelegar. Malam ini hujan begitu deras turun menghujam bumi. Aku melihat jam yang menempel di pergelangan tangan kiri, melihat jam yang rupanya sudah menunjukkan pukul sebelas malam. "Seharusnya sudah saatnya aku pulang.”
Akan tetapi, karena barusan mendengar kabar ada pasien baru, aku terpaksa menundanya. Seorang perawat menugaskanku memberikan satu termos dan satu set cangkir sebagai fasilitas kamar, ke dalam ruangan pasien baru tersebut.
Aku berjalan seorang diri di deretan lorong rumah sakit. Suasana begitu sepi dan sunyi, karena hari sudah hampir larut malam ditambah dengan hujan deras, membuat suasana rumah sakit semakin mencekam. Apalagi, di lantai dua banyak kamar pasien yang kosong. Hanya ada beberapa yang terisi, itu pun semua pintu tertutup, tak ada satu keluarga pasien pun yang ada di luar ruangan.
Beberapa langkah lagi, aku akan melewati bekas kamar jenazah. Tanganku tiba-tiba mendadak gemetar hebat, tiba-tiba saja bulu kudukku ikut berdiri meremang. Ya, memang suasana sedang hujan dan dingin. Namun, sepertinya bukan karena itu tanganku gemetar. Seakan ada sesuatu yang lembut sedang menyentuh leher.
"Dara ...."
Terdengar bisikan pelan seseorang yang sangat dekat dengan telingaku, sepertinya pemilik suara itu adalah wanita. Yah, karena nada suaranya yang begitu lembut. Masih berusaha tenang, aku menarik napas panjang, membiarkan oksigen masuk ke dalam paru-paru dengan cepat, lalu mengembuskan pelan.
"Lepaskan cincin itu ...."
"Lepaskan! Lepaskan, Dara!"
Suara memilukan saling bersahutan di telinga. Tentu saja tidak akan aku melepaskan cincin di tanganku. Cincin ini adalah wasiat terakhir ayah dan aku harus selalu memakainya, dalam keadaan apa pun. Aku sudah berjanji dulu.
“Ah, mungkin hanya halusinasiku saja."
Aku memegang tengkuk leher karena merasa seakan ada sesuatu yang lembut menerpanya. Karena rasa penasaranku yang tinggi, aku memberanikan diri menengok ke belakang. Namun pada akhirnya, tidak ada siapa pun di belakang.
"Tidak ada orang satu pun, lalu siapa yang berbicara padaku?" gumamku.
Aku kembali mendorong troli. Anehnya, kali ini trolinya begitu berat di dorong, seperti ada sesuatu yang mengganjal di depannya. Saat itu juga aku menghentikan aktivitasku, lalu berjalan ke depan, memastikan kalau roda trolinya tidak tersangkut lagi. Namun, sekali lagi aku kembali dibuat bingung karena saat menengok, ternyata tidak ada benda apa pun yang mengganjalnya.
"Aneh!" Bulu kudukku kembali meremang.
Aku melihat ke sekeliling. Mengedarkan pandangan mata, melihat setiap sudut ruangan yang barusan kulalui. Tak ada satu pun orang, bahkan perawat yang biasanya terlihat lalu lalang tak terlihat batang hidungnya.
Kali ini terdengar suara sapu lidi yang sedang disapukan ke tanah, suaranya sangat jelas di telinga. Aku mulai mempertajam indra pendengaran. Dalam hati, mana mungkin ada orang yang menyapu halaman di saat malam begini, apalagi di tengah hujan.
Seketika hujan mulai mereda perlahan, menyisakan gemercik air yang tidak terlalu deras. Aku pikir suara itu berasal dari benda yang tertiup angin. Namun, ketika hujan telah mereda, suara sapuan lidi itu kembali terdengar, bahkan bertambah keras seperti sedang menyeret daun-daun yang kering.
Rasa takut yang ada dalam diriku dikalahkan oleh rasa penasaranku yang tinggi. Di menit itu juga, karena penasaran aku putuskan berjalan ke arah balkon, menengok ke lantai satu. Bukan lantai satu, tetapi halaman luar yang ada di bawah.
"Tidak ada apa pun."
Halaman yang becek bekas guyuran air hujan itu sangat berserakan oleh daun-daun yang berguguran. Pandanganku menelisik ke bawah, tak ada satu pun orang di sana.
"Hi, hi, hi ...."
Tiba-tiba aku mendengar suara cekikikan wanita yang begitu menyeramkan. Aku mendengar suara itu terdengar dari pohon besar tepat di sebelah kamar jenazah. Sontak, aku pun menengok ke samping kanan.
"Astaghfirullahal ‘adziim."
Seorang wanita berambut panjang, mengenakan pakaian putih kotor menjuntai ke bawah melambai padaku. Wanita itu duduk di salah satu dahan pohon sambil mengayunkan kaki. Tatapannya begitu menyeringai, dengan wajah yang sangat merah, semerah darah, dia tersenyum kepadaku.
Tak bisa berkata apa pun, tiba-tiba saja tubuh aku seakan terpaku di tempat. Rasanya ingin segera berlari, namun tak bisa. Aku juga melihat ke lantai bawah ada nenek tua sedang menyapu halaman. Senyumnya begitu menyeramkan melihat ke arahku.
"Setan. Ku-kun-kuntilanak!" Suaraku tiba-tiba tercekat di tenggorokan, ingin berteriak pun seakan tak bisa. Sementara kuntilanak itu masih tertawa cekikikan melihat keadaanku yang sedang ketakutan. Suaranya bersahutan dengan hantu nenek yang sedang menyapu halaman.
Saat itu aku berusaha menyeret kakiku agar menjauh. Namun, sangat sulit. Seperti ada sesuatu yang menahan pergelangan kaki kanan. Masih dengan tubuh gemetar, aku kembali menengok ke bawah kaki, melihat ada hal apa yang mengganggu langkahku.
"Argh!!"
Sebuah tangan berlumuran darah sangat kencang mencengkeram kakiku. Terasa sangat sakit, pemilik tangan itu adalah lelaki berpakaian penuh dengan darah melotot tajam, mendongak dengan tatapan nanar. Di detik itu juga aku langsung menangkupkan mukaku dengan telapak tangan. Rasa takut menjalar ke seluruh tubuh dengan cepat sampai membuatku seakan tidak bisa bernapas.
Aku benar-benar sangat lemas. Seketika, tubuhku langsung ambruk dan tak sadarkan diri.
Beberapa menit kemudian.
"Bangun, Neng."
"Kasih minyak angin lagi di hidungnya."
"Di keningnya juga."
Terdengar obrolan orang saling bersahutan, bersamaan ketika aku mengendus aroma terapi berbahan kayu putih menempel di hidung. Terasa sangat hangat dan membuat kesadaranku berangsur pulih.
Perlahan aku membuka mata. Pemandangan pertama yang aku lihat adalah cahaya lampu yang sangat terang tepat jauh di atas kepala.
"Syukurlah, Dara sudah bangun."
Aku menengok ke samping, ada tiga orang di sekelilingku. Dua diantarnya adalah suster yang kebagian tugas malam ini. Satunya lagi, aku tak mengenalnya. Wajahnya sangat tampan. Dia tersenyum padaku begitu sangat manis.
Siapa dia?
Rupanya barusan aku pingsan. Dengan dibantu lelaki tampan itu, suster membawaku ke ruang perawatan. Setelah aku siuman dan kondisiku baik-baik saja, dua suster itu kembali berjaga di tempat masing-masing.
"Aku mendengar teriakanmu dari dalam ruangan. Ketika aku sudah di tempat, aku malah melihat kamu sudah tak sadarkan diri," ucap lelaki itu setelah aku sudah sadar penuh.
"Terima kasih."
"Perkenalkan namaku Damar. Aku keluarga pasien dari bangsal tujuh." Lelaki itu mengulurkan tangannya.
"Namaku Dara Maheswari."
Tangannya sangat dingin, tetapi tidak dengan tatapan matanya. Baru bertemu saja, dia terlihat hangat.
"Tanganmu berdarah," ucap Damar sambil menunjuk jari tanganku yang tersemat cincin. Aku menoleh melihat ke jari manisku. Ternyata benar apa yang dikatakan Damar kalau tanganku berdarah.
"Biar aku obati," kata Damar lagi sambil meraih tanganku, "sepertinya cincinmu kesempitan. Kalau kamu mau dibuka saja dulu. Setelah sembuh nanti, kamu bisa memakainya lagi."
Aku segera menarik tanganku. Aku sangat gugup dan langsung menunduk. Bukan tak mau disembuhkan. Hanya saja aku tak terbiasa dipegang langsung oleh lelaki.
"Maaf, aku refleks sudah lancang memegang tanganmu. Oleskan saja lukanya dengan kapas ini, aku sudah menambahkan obat antiseptik agar lukamu tak infeksi," kata Damar sambil menyodorkan sebuah kapas kepadaku.
"Terima kasih, Damar."
Pertemuan pertama yang mengagumkan. Damar sangat tampan, pria yang perhatian dan langsung menghipnotis hatiku. Mungkin inikah yang dinamakan cinta pada pandangan pertama?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 30 Episodes
Comments
IG: @author_ryby
cinta bersemi setelah ketemu kuntilanak 😂😂
2023-03-29
1
irva 😍
hadir 😍
2023-03-22
5
Wina Yuliani
akhirnya kakak, kisah dara ada lg ya, maafkan diriku yg sdh jarang update ka afshen, sok atuh plisss d gaskeun jgn d gantung 😅
2023-03-03
2