"Dia ada di sekitarmu."
"Jangan, lihat ... ke belakang!"
Sayup-sayup terdengar suara begitu pelan di telingaku. Sangat asing, entah dari mana sumbernya. Suara itu berhasil membuat degup jantungku berdetak sangat cepat dan tiba-tiba membuat bulu kudukku berdiri meremang. Saat ini aku masih berusaha berprasangka positif. Aku berpikir ini hanya halusinasi saja, karena yang aku lihat dari tadi keadaan lorong sangat sepi dan tak ada satu pun orang. Pikirku, mungkin suara itu berasal dari keluarga pasien yang belum tidur.
Aku terus berjalan dan tak bergeming, terus mendorong troli empat tingkat yang berisi plato kosong itu dengan cepat. Mendorong troli seorang diri di tengah malam buta begini, bukan perkara mudah bagiku yang seorang pekerja baru di rumah sakit ini. Aku harus bisa menguatkan mental agar selalu berpikiran tenang. Terlebih saat melewati bekas kamar jenazah yang akan kulalui.
"Da-ra ...."
Siapa yang memanggilku? Suara itu kembali terdengar. Walaupun penasaran, aku yang merasa takut masih tak berani menoleh ke belakang.
"Kuatkan dirimu, Dara!"
Suara itu berhasil membuat pikiran Aku kacau. Hingga membuat troli yang kudorong tak bisa dikendalikan. Troli yang aku dorong tak sengaja menyenggol kursi penunggu, membuat salah satu roda di troli itu tersangkut dan membuatnya oleng ke samping.
Tak sengaja, satu plato kosong berbahan dasar stainless steel yang kubawa terjatuh ke lantai. Suaranya sangat nyaring dan memekakkan telinga, bahkan terdengar menggema hingga sudut lorong rumah sakit.
"Sial!"
Tanpa menoleh ke belakang, Aku langsung meraih Plato yang telungkup itu dengan cepat dan menaruhnya lagi di atas troli. Aku berusaha tenang dan tetap berpikiran positif. Aku paksakan kaki ini agar terus berjalan sampai di ruang pantry tempatku bekerja. Ruangan tersebut letaknya paling ujung rumah sakit. Aku harus melewati bekas kamar jenazah sebelum sampai ke tempat itu.
Terdengar suara petir di luar begitu menggelegar. Malam ini hujan begitu deras turun menghujam bumi. Aku melihat jam yang menempel di pergelangan tangan kiri, melihat jam yang rupanya sudah menunjukkan pukul sebelas malam. "Seharusnya sudah saatnya aku pulang.”
Akan tetapi, karena barusan mendengar kabar ada pasien baru, aku terpaksa menundanya. Seorang perawat menugaskanku memberikan satu termos dan satu set cangkir sebagai fasilitas kamar, ke dalam ruangan pasien baru tersebut.
Aku berjalan seorang diri di deretan lorong rumah sakit. Suasana begitu sepi dan sunyi, karena hari sudah hampir larut malam ditambah dengan hujan deras, membuat suasana rumah sakit semakin mencekam. Apalagi, di lantai dua banyak kamar pasien yang kosong. Hanya ada beberapa yang terisi, itu pun semua pintu tertutup, tak ada satu keluarga pasien pun yang ada di luar ruangan.
Beberapa langkah lagi, aku akan melewati bekas kamar jenazah. Tanganku tiba-tiba mendadak gemetar hebat, tiba-tiba saja bulu kudukku ikut berdiri meremang. Ya, memang suasana sedang hujan dan dingin. Namun, sepertinya bukan karena itu tanganku gemetar. Seakan ada sesuatu yang lembut sedang menyentuh leher.
"Dara ...."
Terdengar bisikan pelan seseorang yang sangat dekat dengan telingaku, sepertinya pemilik suara itu adalah wanita. Yah, karena nada suaranya yang begitu lembut. Masih berusaha tenang, aku menarik napas panjang, membiarkan oksigen masuk ke dalam paru-paru dengan cepat, lalu mengembuskan pelan.
"Lepaskan cincin itu ...."
"Lepaskan! Lepaskan, Dara!"
Suara memilukan saling bersahutan di telinga. Tentu saja tidak akan aku melepaskan cincin di tanganku. Cincin ini adalah wasiat terakhir ayah dan aku harus selalu memakainya, dalam keadaan apa pun. Aku sudah berjanji dulu.
“Ah, mungkin hanya halusinasiku saja."
Aku memegang tengkuk leher karena merasa seakan ada sesuatu yang lembut menerpanya. Karena rasa penasaranku yang tinggi, aku memberanikan diri menengok ke belakang. Namun pada akhirnya, tidak ada siapa pun di belakang.
"Tidak ada orang satu pun, lalu siapa yang berbicara padaku?" gumamku.
Aku kembali mendorong troli. Anehnya, kali ini trolinya begitu berat di dorong, seperti ada sesuatu yang mengganjal di depannya. Saat itu juga aku menghentikan aktivitasku, lalu berjalan ke depan, memastikan kalau roda trolinya tidak tersangkut lagi. Namun, sekali lagi aku kembali dibuat bingung karena saat menengok, ternyata tidak ada benda apa pun yang mengganjalnya.
"Aneh!" Bulu kudukku kembali meremang.
Aku melihat ke sekeliling. Mengedarkan pandangan mata, melihat setiap sudut ruangan yang barusan kulalui. Tak ada satu pun orang, bahkan perawat yang biasanya terlihat lalu lalang tak terlihat batang hidungnya.
Kali ini terdengar suara sapu lidi yang sedang disapukan ke tanah, suaranya sangat jelas di telinga. Aku mulai mempertajam indra pendengaran. Dalam hati, mana mungkin ada orang yang menyapu halaman di saat malam begini, apalagi di tengah hujan.
Seketika hujan mulai mereda perlahan, menyisakan gemercik air yang tidak terlalu deras. Aku pikir suara itu berasal dari benda yang tertiup angin. Namun, ketika hujan telah mereda, suara sapuan lidi itu kembali terdengar, bahkan bertambah keras seperti sedang menyeret daun-daun yang kering.
Rasa takut yang ada dalam diriku dikalahkan oleh rasa penasaranku yang tinggi. Di menit itu juga, karena penasaran aku putuskan berjalan ke arah balkon, menengok ke lantai satu. Bukan lantai satu, tetapi halaman luar yang ada di bawah.
"Tidak ada apa pun."
Halaman yang becek bekas guyuran air hujan itu sangat berserakan oleh daun-daun yang berguguran. Pandanganku menelisik ke bawah, tak ada satu pun orang di sana.
"Hi, hi, hi ...."
Tiba-tiba aku mendengar suara cekikikan wanita yang begitu menyeramkan. Aku mendengar suara itu terdengar dari pohon besar tepat di sebelah kamar jenazah. Sontak, aku pun menengok ke samping kanan.
"Astaghfirullahal ‘adziim."
Seorang wanita berambut panjang, mengenakan pakaian putih kotor menjuntai ke bawah melambai padaku. Wanita itu duduk di salah satu dahan pohon sambil mengayunkan kaki. Tatapannya begitu menyeringai, dengan wajah yang sangat merah, semerah darah, dia tersenyum kepadaku.
Tak bisa berkata apa pun, tiba-tiba saja tubuh aku seakan terpaku di tempat. Rasanya ingin segera berlari, namun tak bisa. Aku juga melihat ke lantai bawah ada nenek tua sedang menyapu halaman. Senyumnya begitu menyeramkan melihat ke arahku.
"Setan. Ku-kun-kuntilanak!" Suaraku tiba-tiba tercekat di tenggorokan, ingin berteriak pun seakan tak bisa. Sementara kuntilanak itu masih tertawa cekikikan melihat keadaanku yang sedang ketakutan. Suaranya bersahutan dengan hantu nenek yang sedang menyapu halaman.
Saat itu aku berusaha menyeret kakiku agar menjauh. Namun, sangat sulit. Seperti ada sesuatu yang menahan pergelangan kaki kanan. Masih dengan tubuh gemetar, aku kembali menengok ke bawah kaki, melihat ada hal apa yang mengganggu langkahku.
"Argh!!"
Sebuah tangan berlumuran darah sangat kencang mencengkeram kakiku. Terasa sangat sakit, pemilik tangan itu adalah lelaki berpakaian penuh dengan darah melotot tajam, mendongak dengan tatapan nanar. Di detik itu juga aku langsung menangkupkan mukaku dengan telapak tangan. Rasa takut menjalar ke seluruh tubuh dengan cepat sampai membuatku seakan tidak bisa bernapas.
Aku benar-benar sangat lemas. Seketika, tubuhku langsung ambruk dan tak sadarkan diri.
Beberapa menit kemudian.
"Bangun, Neng."
"Kasih minyak angin lagi di hidungnya."
"Di keningnya juga."
Terdengar obrolan orang saling bersahutan, bersamaan ketika aku mengendus aroma terapi berbahan kayu putih menempel di hidung. Terasa sangat hangat dan membuat kesadaranku berangsur pulih.
Perlahan aku membuka mata. Pemandangan pertama yang aku lihat adalah cahaya lampu yang sangat terang tepat jauh di atas kepala.
"Syukurlah, Dara sudah bangun."
Aku menengok ke samping, ada tiga orang di sekelilingku. Dua diantarnya adalah suster yang kebagian tugas malam ini. Satunya lagi, aku tak mengenalnya. Wajahnya sangat tampan. Dia tersenyum padaku begitu sangat manis.
Siapa dia?
Rupanya barusan aku pingsan. Dengan dibantu lelaki tampan itu, suster membawaku ke ruang perawatan. Setelah aku siuman dan kondisiku baik-baik saja, dua suster itu kembali berjaga di tempat masing-masing.
"Aku mendengar teriakanmu dari dalam ruangan. Ketika aku sudah di tempat, aku malah melihat kamu sudah tak sadarkan diri," ucap lelaki itu setelah aku sudah sadar penuh.
"Terima kasih."
"Perkenalkan namaku Damar. Aku keluarga pasien dari bangsal tujuh." Lelaki itu mengulurkan tangannya.
"Namaku Dara Maheswari."
Tangannya sangat dingin, tetapi tidak dengan tatapan matanya. Baru bertemu saja, dia terlihat hangat.
"Tanganmu berdarah," ucap Damar sambil menunjuk jari tanganku yang tersemat cincin. Aku menoleh melihat ke jari manisku. Ternyata benar apa yang dikatakan Damar kalau tanganku berdarah.
"Biar aku obati," kata Damar lagi sambil meraih tanganku, "sepertinya cincinmu kesempitan. Kalau kamu mau dibuka saja dulu. Setelah sembuh nanti, kamu bisa memakainya lagi."
Aku segera menarik tanganku. Aku sangat gugup dan langsung menunduk. Bukan tak mau disembuhkan. Hanya saja aku tak terbiasa dipegang langsung oleh lelaki.
"Maaf, aku refleks sudah lancang memegang tanganmu. Oleskan saja lukanya dengan kapas ini, aku sudah menambahkan obat antiseptik agar lukamu tak infeksi," kata Damar sambil menyodorkan sebuah kapas kepadaku.
"Terima kasih, Damar."
Pertemuan pertama yang mengagumkan. Damar sangat tampan, pria yang perhatian dan langsung menghipnotis hatiku. Mungkin inikah yang dinamakan cinta pada pandangan pertama?
Jam kerjaku berakhir. Aku keluar dari dalam rumah sakit tepat pukul setengah sebelas malam. Saat itu juga aku mulai melangkahkan kaki menjauhi rumah sakit menuju arah pertigaan jalan rumahnya. Semakin menjauhi rumah sakit, suasana semakin sepi dan sunyi. Karena daerah tempat ini bukan perkotaan, jalan utama pun jarang sekali dilalui kendaraan. Bahkan sepertinya hanya aku yang sedang berjalan.
"Tin, tin." Suara klakson angkot berbunyi di belakangku, tepatnya di pertigaan jalan. Refleks kumenoleh. Ternyata ada angkot yang kunaiiki dua hari yang lalu.
"Baru pulang, Neng Dara," sapa Mang Udin, nama sopir angkot itu. Angkotnya kini berhenti tepat di depanku. "Ayo naik, Neng, bareng. Kebetulan kan angkot mamang lewat di depan gang rumah Eneng."
Sebenarnya jarak dari tempat kerjaku ke rumah tidak terlalu jauh, bisa dilalui dengan berjalan kaki dalam waktu dua puluh menit. Namun karena hari sudah tengah malam, ditambah lagi aku sudah sangat lelah, ingin rasanya cepat merebahkan tubuhku di kasur. Aku mengangguk dan memutuskan untuk naik angkot saja.
"Iya, Mang. Lembur satu jam."
Kemudian aku membuka pintu depan sebelah kemudi. Seperti biasa aku selalu mengambil tempat duduk di depan, karena aku merasa lebih aman dan nyaman duduk di sebelah sopir.
"Kosong lagi, Mang?"
"Iya, Neng. Ini kan angkutan kota, makanya engga ada yang naik kalau lewat jalan desa. Karena rumah Neng searah rumah anak istri mamang, makanya mamang angkut biar sekalian pulang," kata Mang Udin mulai menyalakan mesinnya.
"Mamang engga takut pulang selarut ini?"
"Takut apa, Neng? Ya engga lah, Neng. Kalau takut terus nanti anak dan istri mamang engga kecukupan. Sekarang cari penumpang susah."
Daerah rumah sakit menuju rumah nenekku memang tidak dilalui angkot. Kalau pun ada itu pun bukan angkot melainkan angkutan desa yang hanya beroperasi pagi hari sampai jam tujuh malam.
Kami bercakap-cakap sebentar sebelum angkot melaju. Sayangnya, sebelum mesin berhasil dinyalakan. Seorang lelaki berpakaian kumal dengan sengaja menutupi jalan angkot Mang Udin, berjalan mondar mandir di depan. Tampak mencurigakan dan tiba-tiba menghentikan langkahnya tepat di tengah angkot.
Aku tercengang. Apalagi saat lelaki berpakaian lusuh dan Kumal itu menunjuk mukaku dengan telunjuk kanannya dari luar, dengan mata yang melotot hampir bulat sempurna.
"Siapa dia, Mang? Kenapa tatapannya menyeramkan?" Aku mulai gusar.
Mang Udin di sebelahku hanya menggelengkan kepalanya berulang kali. Dia tak menjawab pertanyaanku, tetapi malah tetap menyalakan mobilnya.
"Berhenti!" teriak lelaki misterius itu lagi keras.
Akan tetapi, sebelum Mang Udin berhasil melajukan angkotnya. Lelaki itu tiba-tiba mengeluarkan satu tangan kirinya yang dari tadi dia sembunyikan di belakang punggung. Sambil memegang sebuah batu, sebesar kepala bayi. Sontak, aku langsung syok dan berpikiran buruk.
Lelaki yang aneh. Apa yang akan dia lakukan?
Bug! Benar apa yang kutakutkan. Batu yang dibawa lelaki tersebut, dia lemparkan ke depan kaca angkot. Aku langsung kaget. Bunyinya sangat nyaring dan berhasil membuat kaca angkot langsung pecah dan berlubang. Beruntungnya pecahan kaca mobil itu tak mengenaiku. Karena pada saat kejadian, aku refleks langsung menutupi tubuh terutama mukaku dengan tas.
"Mang Udin?"
Kutengok Mang Udin. Dia terluka dan berdarah. Ternyata pecahan kaca tersebut mengenai mukanya.
"Hati-hati!" teriak lelaki tersebut dengan nyaring sambil menunjuk mukaku seakan memberi peringatan. Kemudian berlari menjauh.
Enak saja dia pergi begitu saja setelah melukai dan merusak angkot Mang Udin. Jiwa pemberaniku mendadak bangkit.
"Kurang ajar. Pakai obat ini, Mang. Aku akan kejar lelaki itu dulu," ucapku setelah memberikan sapu tangan untuk mengelap darah di pelipis Mang Udin.
Aku sangat geram. Tak ada rasa takut sedikit pun, aku langsung keluar dari dalam angkot dan mengejar lelaki itu. Aku memiliki bekal ilmu bela diri dari ayah. Sudah saatnya ilmuku digunakan. Aku ingin tahu siapa dia? Harus memberi pelajaran lelaki itu, menangkap dan menggiringnya ke kantor polisi agar tak melakukan hal yang sama kepada orang lain.
"Berhenti!"
Bukannya berhenti, lelaki berpakaian kumal itu malah terus berlari menjauh. "Cepat pergi!" teriaknya sekali lagi.
"Apa maksudmu? Berhenti!"
Tak sampai lima menit. Aku tambah geram dan berhasil menghentikannya dengan melakukan tendangan jarak jauh, tepat mengenai kepala lelaki tersebut.
"Siapa kamu? Kenapa kamu melempar angkot Mang Udin dengan batu?" Kukunci tangannya ke belakang punggungnya agar tidak kabur.
Bukannya menjawab, lelaki itu malah tersenyum. "Cepat pergi. Hati-hati, kamu dalam bahaya.”
Karena saking kesalnya, aku memukul lelaki itu sangat keras. "Kamu adalah sumber bahayanya! Kenapa kamu melemparku dengan batu, hah?"
Lelaki itu kembali berkata, "Sudah kubilang cepat pergi! Aku akan memberitahumu nanti."
Dari kejauhan Mang Udin melambai ke arahku.
"Neng Dara, ayo pulang. Jangan tanggapi, lelaki itu adalah orang gila." Mang Udin rupanya menyusul, menyuruhku agar tak memberi pelajaran. "Dia bukan pemuda sini, kelakuannya memang jahil."
Karena lelaki itu tak menjawab, aku pun memutuskan untuk pulang dan melepaskannya. Kalau memang dia orang gila, sia-sia aku memberi pelajaran kepada orang yang kurang waras.
Akhirnya aku memutuskan kembali ke dalam angkot. Aku melihat Mang Udin sudah menutupi lukanya dengan kain kasa.
"Apa sebaiknya Mang Udin ke rumah sakit saja? Lukanya cukup parah," kataku.
"Tidak usah, Neng. Lukanya tidak terlalu parah. Lagian sudah dikasih obat luka. Nanti juga kering sendiri, mamang sudah terbiasa." Mang Udin mulai melajukan angkotnya.
Sambil mengemudi , Mang Udin banyak bercerita banyak kepadaky. Mang Udin banyak menceritakan anak dan istrinya. Anaknya bernama Ani beberapa hari lagi berumur lima tahun, dia menginginkan hadiah boneka Barbie di hari ulang tahunnya. Mang Udin sangat menyayangi putri satu-satunya itu, dia terpaksa harus narik angkot sampai malam agar mendapatkan uang lebih.
Akhirnya, tidak sampai sepuluh menit, angkot Mang Udin sudah sampai depan gang rumah nenek. "Terima kasih ya, Mang." Kusodorkan kertas dua puluh ribu rupiah, "kembaliannya berikan saja buat Ani, anak Mamang."
"Terima kasih ya, Neng." Mang Udin lalu melajukan angkotnya pergi.
Sepuluh menit kemudian akhirnya sampai juga di rumah nenek. Seperti biasa sangat sepi dan gelap. Tak ada tetangga karena rumah nenek letaknya terpisah dan dekat sekali dengan sawah.
"Assalamualaikum."
Kebetulan karena aku memiliki kunci cadangan, aku tak perlu membangunkan penghuni yang sedang tidur untuk membukakan pintu masuk.
Aku baru tinggal di rumah itu sekitar seminggu yang lalu. Rumah yang dibangun semenjak ayah kecil ini sangat luas dan memiliki banyak kamar dan ruangan kosong. Bangunan yang sudah tua tapi masih kokoh. Walaupun dindingnya sudah mulai mengelupas, namun, bangunan ini masih sangat layak untuk mereka berlima tempati.
Sebelum menuju kamar, aku yang dari tadi menahan buang air kecil. Memutuskan untuk membersihkan diri dulu ke kamar mandi. Letak kamar mandi paling ujung, dan aku harus melewati beberapa kamar kosong yang gelap. Keluargaku masih kekurangan, sehingga untuk menghemat biaya listrik, kamar yang tidak digunakan, sengaja tak disediakan lampu. Hanya kamar tamu dan beberapa kamar yang menyala.
Dengan bantuan lampu minyak, aku sampai di kamar mandi yang luasnya sangat besar, luasnya hampir sama dengan kamar kostku di Jakarta. Sebenarnya ketika aku berjalan melewati kamar kosong, perasaanku seperti ada yang mengikuti. Namun, perasaan aneh ini segera kutepis.
Setelah selesai membersihkan diri, aku menuju kamarnya. Sebelum sampai ke kamar aku melewati kamar ibu. Kebetulan saat itu aku melihat kamar ibu yang masih menyala.
Beberapa langkah lagi sampai, sayup-sayup ku mendengar ibu sedang bernyanyi. Suaranya terdengar pelan dan parau.
“Satu satu, aku sayang ibu. Dua dua, juga sayang ayah. Tiga-tiga, sayang adik kakak.
Satu ... dua ... tiga, sayang semuanya.”
Aku langsung menghentikan langkah. Semenjak kematian ayah, tingkah ibu semakin aneh. Kata dokter, ibu didiagnosis memiliki gangguan mental skizofrenia. Kembali ku mengintip ibu.
"Ibu!"
Aku sangat kaget, begitu mengetahui kalau ibu sedang mengajak sebuah boneka bernyanyi.
"Ibu?!"
Saat itu juga aku langsung membuka pintu kamar. Aku melihat ibu sedang duduk berhadapan dengan sebuah boneka rambut panjang yang didudukkan di sebuah bangku. Walaupun bukan kali pertama aku melihat ibu berbicara sendiri, namun tetap saja aku masih aneh melihatnya.
"Baru pulang, Dara?" tanya Ibu.
"Ibu, kenapa belum tidur?"
Ibu malah meraih boneka berisikan dacron itu di pangkuannya. Boneka dengan rambut panjang yang dikepang dua. "Tadi Kemuning yang membangunkan ibu." Ibu tersenyum seraya mengelus rambut boneka yang ibu kira 'Kemuning'.
"Ibu, mulai berhalusinasi lagi. Sudah Dara bilang kalau Kemuning itu tidak ada. Dara temani tidur, ya?"
Aku mengambil boneka Kemuning, menaruhnya kembali di bangku rotan tadi. Lalu menuntun ibu agar kembali ke ranjang besi, menyuruhnya agar tidur.
"Apa ibu sudah makan?" tanyaku sambil mengelus rambut ibu. Dibalas anggukan oleh ibu.
"Bu, bukannya Dara sudah membelikan obat kutu yang ampuh? Kenapa kutunya masih memenuhi rambut ibu? Apa ibu sudah memakainya?"
Ketika aku mengelus rambut ibu. Telapak tanganku dipenuhi oleh kutu dari rambut ibu. Aku melihat lagi kondisi rambut ibu, walaupun hari sudah malam, namun penglihatanku sangat jelas kalau ratusan kutu itu masih memenuhi rambut ibu. Padahal tempo hari, aku yakin sudah membersihkannya.
Ibu kembali mengangguk.
Entah kutu tersebut dari mana datangnya. Puluhan bahkan ratusan kutu memenuhi rambut panjang Ibu. Memang kalau dilihat dari jauh tak terlihat, tetapi kalau diperhatikan dari jarak dekat, kutu itu terlihat bergerombol di setiap helai rambut Ibu. Anehnya, kata ibu sendiri dia tak merasakan gatal.
Saat itu juga aku mengambil sisir rapat, kemudian kuarahkan di rambut ibu. Benar saja, baru beberapa sapuan, puluhan kutu memenuhi kain putih yang digunakannya untuk alas.
"Dara bungkus rambut ibu dengan penutup rambut, ya?"
Setelah menyisir seluruh rambut Sekar, dengan pelan dan telaten aku mulai membungkus rambut ibu setelah membubuhinya dengan obat kutu.
"Besok, ibu baru bisa buka dan keramas."
Lagi-lagi Ibu hanya mengangguk. Sebenarnya ibu tidak benar-benar gila seperti orang lain katakan. Ibu masih bisa mandi sendiri dan merawat tubuhnya. Bahkan ibu masih bisa memasak. Walaupun terkadang perilaku ibu terlihat aneh. Apalagi setelah kematian ayah. Depresi ibu semakin parah, bahkan menganggap sesuatu yang tidak nyata baginya seperti hidup. Contohnya saja seperti boneka itu, ibu menganggapnya Kemuning saudara kembar Kirana yang meninggal setelah lahir.
"Terima kasih, Dara."
"Tidur, ya, Bu. Dara akan menunggu di sini sampai ibu terlelap," ucapku seraya memijat kaki Sekar.
Ketika aku memijat kaki Sekar, tak sengaja aku melihat luka bakar di tangan kanan ibu. Luka yang masih belum sembuh itu mengingatkannya dengan kejadian dua bulan yang lalu. Ya, peristiwa kebakaran yang merenggut nyawa ayah, Mahesa. Tidak hanya merenggut nyawa Mahesa. Akibat kebakaran itu, rumahku yang di Jakarta hangus karena si jago merah. Bahkan membuat wajah Kirana adikku rusak separuh.
Aku terus melamun di dalam kamar ibu, mengingat lagi peristiwa naas itu. Tidak, aku tidak sedang mengingat saat kejadian kebakaran berlangsung. Melainkan, aku sedang mengingat kapan ketika kami diusir karena perbuatan ibu yang membuat mereka salah paham.
Saat itu kami masih tinggal di kota Jakarta. Kejadiannya tepat tanggal tiga belas Januari tahun 2009
Kala itu, aku kaget setengah mati. Baru saja aku pulang kerja, aku melihat warga mengarak ibu dari jauh dalam keadaan penuh dengan darah di bajunya. Sontak, aku yang masih dalam keadaan berduka sangat tercengang. Baru saja semalam tadi mengadakan empat puluh harian ayah. Aku harus menghadapi kenyataan pahit lagi.
"Dara, sudah gue bilang kalau ibumu ini gila! Harusnya dia dibawa ke rumah sakit jiwa bukannya membiarkannya berkeliaran!" Seorang warga mengamuk di depan rumah.
"Memangnya kenapa dengan ibu?" tanyaku sembari memeluk ibu. Saat itu ibu terlihat sangat ketakutan tak berani melihat ke arah sekelompok warga yang barusan menggiringnya.
Satu orang warga membawa bukti pisau dan dua ekor anjing yang sudah tewas. Mayat anjing itu dia letakkan di depan teras kontrakan kami. Terlihat banyak bekas luka tusukan yang terbuka. Darahnya pun masih menetes segar di atas karung. Membuktikan kalau anjing itu belum lama mati.
"Ibumu dengan brutal membunuh dua ekor anjing ini dengan pisau. Sepertinya gangguan jiwa ibumu sudah parah, Dara. Sebaiknya, kamu titipkan di rumah sakit jiwa saja. Bapak yang akan mengurus surat rujukannya," usul Pak RT.
"Benar, ibunya sudah gila. Kalau ini dibiarkan gue yakin Sekar bisa saja mencelakakan orang lain." Satu warga lagi menimpali.
Mendengar ibu ingin dibawa ke rumah sakit jiwa, aku begitu kaget. Tentu saja aku menolak tegas. Menurutku, ibu itu tidak membahayakan orang lain. Walaupun ibu pengidap gangguan mental skizofrenia, tapi ibu masih bisa membedakan mana yang membahayakan dan bukan.
"Pak, aku yakin ini hanya salah paham. Mungkin anjing itu yang menyerang ibuku terlebih dahulu," ucapku membela ibu.
"Mencelakakan bagaimana? Emak Lo itu membunuh anjing gue di depan mata kepala gue sendiri. Liat baju Mak Lo yang penuh dengan Darah, itu sudah membuktikan kalau Sekar sebagai pembunuhnya. Gue yakin ini keluarga tidak beres, menurut keyakinan gue, Sekar sendiri penyebab rumah mereka terbakar. Sepertinya Sekar sengaja ingin membunuh suaminya sendiri," ucap pemilik anjing.
"Ya, Sekar itu seorang wanita gatal. Dia sengaja membunuh suaminya agar bisa menjadi janda dan mendekati Imron." Timpal seorang ibu-ibu yang selalu iri dan menggosipkan ibu setiap hari. Walaupun usia ibu sudah hampir kepada empat. Ibu masih terlihat cantik dan awet muda, seperti umur tiga puluhan. Bahkan aku sering dikatakan adiknya.
"Bukan ibuku pelakunya, polisi sudah menyelidikinya. Penyebab kebakaran empat puluh hari yang lalu murni karena korsleting listrik. Ibu sangat menyayangi ayah, tidak mungkin melakukan hal senista itu." Saat itu aku terus membela agar ibu tidak disalahkan.
"Banyak bacot, lo! Emak sama anak sama saja! Sudahlah Pak RT, usir saja keluarga ini dari sini kalau Sekar tidak diperbolehkan dibawa ke rumah sakit jiwa. Lagian apa susahnya si, Dara. Emak lo bisa berobat di sana dengan gratis. Makan pun dijamin, bego lo jadi orang!" Seorang wanita tetangga Dara menimpali.
"Apa benar, ibu yang membunuh dua anjing itu?" tanyaku kepada ibu. Aku ingin mendengar langsung dari ibu.
Akan tetapi, ibu diam saja tak menjawab. Ibuku terlihat semakin ketakutan bersembunyi di punggungku. Ibu terus menggeleng, dan tak berani berbicara.
"Halah! Mengelak terus, lo! Bukti sudah di depan mata, Dara! Emak lo itu sudah gila!" Seorang tetangga wanita menunjuk muka Sekar.
"Betul! Ini anjing gue sudah mati! Siapa yang mau bertanggung jawab kalau begini? Selain gila dia juga seorang psikopat. Kami takut Pak RT."
"Sudah, sudah!" Pak RT berusaha menenangkan. "Dara, demi kebaikan bersama sebaiknya ibumu dititipkan saja ke rumah sakit jiwa. Kecuali kalau ada penjamin yang menjaga ibumu. Pak RT sangsi kalau ibumu dijaga Kirana, sementara kamu sendiri sibuk bekerja," imbuhnya.
"Pak ... aku mohon--"
Belum sempat aku meneruskan berbicara, Bi Asih keluar dari dalam rumah. "Jangan bawa Sekar ke rumah sakit jiwa. Aku yang akan menjaganya. Aku akan membawa mereka pulang ke kampung halaman kami yang ada di Cirebon."
Bi Asih adalah adik ayahku yang bernama Mahesa.
Semua kejadian dan kata-kata pedas para tetangga sebelum mereka pindah, masih terngiang di telinga. Semuanya tidak aku lupakan. Akibat kejadian itu, bersama ibu dan Kirana, aku terpaksa kembali ke kabupaten Cirebon. Rumah nenek yang aku tempati sekarang.
“Ayah, maafkan aku sudah melanggar pesan ayah. Tapi, aku janji akan selalu memakai cincin ini." Sambil mengusap cincin ini aku ingat betul dulu ayah sempat melarang kami tinggal di rumah nenek.
Lamunanku buyar saat melihat cincin ini. Tubuhku mendadak bergetar hebat saat merasakan tiba-tiba ada aura ganjil merasuk ke dalam tubuh. Hal ini sering terjadi tiap kali aku mengusap cincin pemberian ayah yang kini melingkar di jari manisku.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!