Bab 13. Siapa tahu memang jodoh

Malam itu semua anak penghuni panti sudah terlelap tidur, sementara Ami masih berkutat di dapur menyiapkan segala keperluan bekal untuk adik-adiknya sekolah esok hari.

Ia sudah memilah sayuran dan lauk yang akan dimasaknya selepas subuh nanti, dan menyimpannya ke dalam kulkas.

“Akhirnya beres juga.” Ami tersenyum lega.

Setelah memastikan pintu dan jendela dapur sudah tertutup rapat, Ami kemudian memeriksa satu-persatu kamar adik-adiknya. Hal yang rutin dilakukannya setiap malam hari.

Senyumnya mengembang melihat wajah damai mereka semua. Ia lalu membetulkan letak selimut Rivan yang tersingkap, tertindih satu kakinya. Merasa terusik, bocah lelaki itu pun mengerjapkan matanya lalu tertidur kembali. Tak lama kemudian, terdengar suara dengkur halusnya.

Ami tertawa lirih, mencium sayang pipi Rivan lalu menutup pintu di belakangnya sebelum melangkah keluar menuju kamarnya. Di ambang pintu ia berhenti dan menajamkan telinganya. Seperti ada suara orang merintih, dan suara itu sepertinya berasal dari ruang tamu rumahnya.

Ami melangkah perlahan, mencari sumber suara. Alangkah terkejutnya ia ketika mendapati Gavin tertidur di kursi ruang tamu dengan posisi tubuh meringkuk kedinginan dan kedua tangan mendekap dadanya sendiri.

Ami bergegas mendekat dan berjongkok di depannya. Tangannya terulur begitu saja meraba kening dan leher Gavin yang panas.

“Ya Tuhan, lelaki ini demam!”

Ami lalu mengambil selimut tebal di dalam kamarnya, dan segera menyelimuti tubuh Gavin hingga menutup sampai batas dada. Ia mengambil handuk kecil dalam lemari kamarnya dan mengompres dahinya. Hingga beberapa jam kemudian napas Gavin mulai teratur dan tidurnya pun jauh lebih tenang.

Pagi menjelang, azan subuh berkumandang. Gavin membuka matanya perlahan dan merasakan tubuhnya jadi jauh lebih hangat kini. Seperti ada yang menghalangi pandangannya, Tangannya lalu meraba dahinya dan tertegun mendapati kain kompres di tangannya.

Gavin menyibak selimut tebal di tubuhnya, lalu beranjak bangun dan duduk sembari memindai sekelilingnya. Tak lama kemudian terdengar suara-suara riuh dari dalam kamar, Rivan muncul sambil mengucek matanya, disusul si kecil Rio di belakangnya yang berjalan sambil menguap lebar.

“Ayo buruan, sudah azan. Salat subuh dulu,” terdengar suara Rumi yang sudah mengenakan mukena, berjalan keluar kamar sambil menghela bahu kedua adik lelakinya itu. “Rivan tuntun adiknya, barengan aja wudhunya.”

Tak ada sahutan, tapi beberapa saat kemudian Rivan kembali dengan menuntun tangan Rio. Wajah keduanya terlihat lebih segar. Suasana kembali hening, lalu terdengar suara kokok ayam bersahutan.

Gavin bangkit berdiri, menyibak korden jendela dan membukanya lebar. Hawa sejuk langsung menerobos masuk, membuat Gavin kembali menggigil kedinginan. Bahkan saking dinginnya, giginya sampai berbunyi.

“Hari Senin seperti ini, biasanya Aku sudah bersiap-siap pergi ke kantor. Tapi itu tak mungkin kulakukan kini. Aku bahkan tak tahu apa mereka di sana akan sibuk mencari keberadaanku atau malah membiarkanku menghilang tanpa kabar.” Gavin bermonolog dalam hati.

“Meski Aku tidak mengatakan pada mereka tujuanku pergi hari itu, tapi Aku yakin paman tahu ke mana Aku pergi.”

Gavin terdiam sejenak, tidak ada salahnya ia mencoba meresapi hawa sejuk di rumah panti seperti pagi hari ini. Suasana pagi hari yang berbeda dan baru pertama kali dialaminya. Hawa dingin yang dirasakannya bukan dari alat pendingin buatan, tapi asli dari alam.

Suasana berbeda akan terus dialaminya jika ia terus berada di tempat ini, itu pun kalau Gavin berhasil meyakinkan Ami untuk mau menampungnya selama ia berada di sana, sampai ada orang yang menemukan keberadaannya.

“Bagaimana keadaanmu, apa sudah merasa lebih baik?” suara Ami mengalihkan perhatian Gavin, ia berbalik dan menatap wajah gadis itu.

“Semalam tubuhmu demam,” ucap Ami lagi sembari membereskan selimut yang dipakai Gavin. “Apa Kau terbiasa minum obat saat tubuhmu demam seperti tadi malam? Kalau iya, Aku akan membelikannya untukmu. Setelah tubuhmu sehat, Kamu bisa pulang menemui keluargamu. Mereka semua pasti menunggu kabar darimu.”

“Aku tidak mungkin kembali pulang ke rumahku lagi. Banjir yang terjadi kemarin sudah menghancurkan rumah dan isinya. Aku sudah tidak punya tempat tinggal lagi, dan Aku juga tidak bisa menghubungi keluarga atau teman-temanku, karena ponsel juga dompetku ikut hilang terbawa banjir.”

“Jadi maksudmu ...”

“Aku sendirian sekarang, hanya punya pakaian selembar di badan. Itu pun kotor dan sudah usang. Beruntung ada yang mengantarku ke tempat ini, mereka bilang pemilik panti ini orang baik. Dia pasti bersedia menolong orang yang kesusahan, meski ia sendiri juga bukan orang yang hidup berkecukupan.”

Gavin berusaha menarik simpati Ami, ia harus bisa meyakinkan wanita itu untuk mau menampungnya tinggal sementara di sana, sampai ia bisa menghubungi orang-orangnya lagi.

Ami terdiam cukup lama, mencoba mencerna cerita Gavin. Ia tahu banyak sekali daerah yang terkena musibah banjir dan tanah longsor. Dan ia pun tidak keberatan jika harus menolong korbannya.

Hanya saja lelaki di hadapannya ini tidak terlihat seperti korban bencana pada umumnya. Mungkin memang benar ia kehilangan ponsel dan dompetnya, seperti yang ia ceritakan padanya sebelumnya.

Namun kemunculannya yang tiba-tiba rasanya cukup aneh, terlebih lagi itu terjadi tepat setelah beberapa orang dari perusahaan Terrajaya Corp datang menemuinya.

Apa lelaki ini salah satu dari mereka, orang kaya yang menginginkan lahan miliknya dan sedang berusaha untuk mendekatinya? Dilihat dari pakaian yang dikenakannya sebelumnya, Ami tahu itu dari merek ternama dan pasti mahal harganya.

“Kami di sini hidup sederhana, apa adanya. Tapi, sebagai pemilik rumah ini Aku juga punya aturan yang harus dipatuhi. Aku tidak suka melihat orang hidup bermalas-malasan, Aku bekerja keras untuk bisa menghidupi keluargaku.”

“Kalau Kau bersedia memberiku kesempatan tinggal di sini, Aku dengan senang hati akan ikut bekerja membantumu. Aku bersedia melakukan pekerjaan apa pun, asal halal!”

“Hal yang pertama kali harus Kamu lakukan, adalah melapor pada ketua RT setempat. Aku tidak mau menjadi omongan warga karena tinggal bersama dengan lelaki asing yang tidak jelas asal-usulnya.”

“Kau bisa katakan pada warga kalau Aku adalah kakakmu, atau saudara yang datang dari luar kota.”

Ami tertawa pelan, “Semua warga tahu kalau Aku anak tunggal dan tidak memiliki saudara di kota. Mereka pasti curiga, dan menyangka yang bukan-bukan.”

“Bagaimana kalau Kau katakan Aku adalah tunanganmu, dan dalam waktu dekat kita akan menikah.” Gavin mengetatkan rahangnya, mengepalkan tangannya kuat. Ia harus bisa meyakinkan Ami agar bersedia menerimanya tinggal di rumahnya.

“I-tu tidak mungkin kulakukan, kenapa harus berbohong seperti itu. Warga tidak akan mempercayainya, karena mereka semua tahu Aku tidak pernah berhubungan dengan lelaki mana pun.”

Gavin bengong, setengah tak percaya menatap wajah gadis di depannya itu. Begitu polosnya sampai ia menceritakan hal yang cukup pribadi itu padanya.

“Apa salahnya kita coba, siapa tahu kita memang berjodoh.”

🌹🌹🌹

Terpopuler

Comments

Jama Sari

Jama Sari

ya elah ngarep deh bang Gavin🤭

2023-08-20

0

Allent

Allent

lanjut

2023-03-05

1

@yo jung shi💖

@yo jung shi💖

🤭🤭🤭

2023-03-05

1

lihat semua
Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!