Bab 3. Menolak ganti rugi

Tepat jam delapan malam tamu yang ditunggu pun tiba, Ami sedang berada di dapur rumah membereskan sisa makan malam ketika mendengar pintu rumahnya diketuk dari luar diiringi ucapan salam.

Ami menjawab salam dan bergegas membuka pintu, dan menatap penuh selidik pada kedua pria yang berdiri di samping pak RT. Yang satu penampilannya perlente dan berkacamata, sementara satunya kurang lebih sama. Hanya terlihat lebih muda saja dan terus menebar senyumnya.

“Pak RT, tumben malam-malam begini datang ke rumah Saya. Ada perlu apa ya Pak?” tanya Ami pada pak Maliki, RT di kampungnya. Kedua lelaki di sebelahnya kembali tersenyum ramah dan menganggukkan kepala padanya, namun Ami hanya diam tak membalasnya.

“Begini, Bapak datang mau mengantarkan mereka menemui Neng Ami. Ada hal penting yang akan disampaikan, nanti biar mereka langsung yang bicara. Jadi Bapak mohon sudilah kiranya Neng Ami meluangkan waktunya sebentar untuk mendengarkan penjelasan dari kedua bapak-bapak ini,” pinta pak RT pada Ami.

“Kenalkan Saya Dani, asisten tuan Gavin Alexander Wijaya. Pemilik Terrajaya Corp, yang kantornya akan segera dibangun di kawasan ini.” Ujar lelaki yang lebih muda mengenalkan diri.

“Saya Alvin, pengacara tuan Gavin yang akan mendampingi asisten Dani saat bertemu dengan pemilik lahan di kawasan ini.”

Ami mengerutkan keningnya, untuk apa pemilik perusahaan itu mengirimkan pengacara ke rumahnya, ia memasang sikap waspada. Ami mulai menduga-duga kalau kedatangan mereka malam ini ada hubungannya dengan surat yang diterimanya siang tadi. Bukankah tadi mereka menyebut nama perusahaan Terrajaya Corp.

“Bisa kita bicara di dalam?” tanya Dani, dan Ami langsung menunjuk bangku panjang di beranda rumahnya.

“Kalian bisa duduk di sana, pak RT juga. Di dalam adik-adik Saya sedang belajar dan nenek Ana juga nenek Mira sedang beristirahat. Saya takut mereka terganggu kalau kita bicara di dalam,” ucap Ami mengungkapkan alasannya.

“Baiklah, tidak masalah. Kita bisa bicara di sana,” jawab Dani masih dengan senyum di bibirnya, yang diangguki oleh rekannya.

“Kalau begitu, kalian bisa bicara bertiga. Bapak mau ke depan dulu, biasalah.” Pak RT memberi kode dengan dua jari di depan bibirnya, lalu terkekeh dan berjalan menuruni anak tangga rumah Ami.

Gubrak!

“Astagfirullah!” terdengar teriakan pak RT diiringi dengan erangan kesakitan, membuat Ami dan kedua orang tamunya itu menoleh cepat.

Di bawah tangga pak RT jatuh terduduk dengan bokong menyentuh tanah, tersandung sepeda Rivan yang setangnya bersandar di salah satu anak tangga. Ami menutup mulutnya, mati-matian berusaha menahan tawanya, sementara kedua tamunya hanya mengulum senyum.

“Aduh, kok bisa jatuh sih Pak. Bapak gapapa?” tanya Ami hendak turun membantu.

“Tadi pas baru datang gak ada itu sepeda, kok sekarang tiba-tiba parkir di sini!” Pak RT bangkit berdiri sambil mengibas-ngibaskan tangan di celana panjangnya. “Saya gapapa, silah kan kalian lanjutkan pembicaraan saja.”

“Maaf ya, Pak RT. Besok-besok Saya suruh adik Saya buat taruh sepeda itu di belakang rumah saja,” ucap Ami lagi.

“Ya ya ya, gapapa.” Pak RT berjalan ke depan halaman rumah Ami sambil memegangi pinggangnya.

“Dosa loh orang jatuh diketawain,” ucap Dani melihat reaksi Ami, yang langsung melengos mendengar ucapannya.

“Dih!”

“Di sini sumber air lancar gak ya, apa harus punya penampungan untuk tadah hujan atau bagaimana?” tanya Dani sambil mengusap tenggorokannya.

“Di daerah ini hampir semua rumah punya sumur air tanah, dalamnya sekitar sepuluh meteran. Jadi kalau mau masak air, mandi, atau lain-lainnya harus nimba air dulu.” Jawab Ami cepat.

“Oh!” Dani meneguk liurnya, niatnya memberi kode pada tuan rumah, basa-basi untuk sekedar menyediakan air minum. Sayang Ami tidak peka atau mungkin pura-pura tidak paham malah bercerita bagaimana mereka harus menimba air untuk keperluan sehari-hari.

“Masa iya mau minum saja harus nimba air di sumur, keburu kering tenggorokan Gue cuy!” bisiknya pada Alvin, dan lelaki itu terkekeh mendengar ucapannya.

“Ekhem, kalau masih lama juga mending ditunda lain waktu saja bicaranya. Sudah malam, gak enak dilihat tetangga. Ini di kampung, tidak baik malam-malam bertamu di rumah seorang perempuan yang baru dikenal.” Ami menyela, ia sudah tidak betah menghadapi tamunya yang sedari tadi tak juga kunjung bicara menjelaskan maksud dan tujuan kedatangan mereka di rumahnya.

“Jutek banget dari tadi, tau begini mending tuan Gavin sendiri yang ngadepin.” Rutuk Dani dalam hati.

“Baiklah, Saya langsung saja bicara tentang tujuan kami datang ke rumah Neng Ami.” Alvin mulai buka suara mewakili Dani bicara terlebih dahulu.

“Gak usah ikut-ikutan pak RT panggil Saya Neng. Panggil Ami saja,” protes Ami lagi.

“Oke, Ami.” Alvin mengalah.

Alvin lalu menjelaskan kalau perusahaan Terrajaya Corp yang dipimpin Gavin Alexander Wijaya, akan memperluas area perusahaan miliknya yang berada di daerah itu dengan membangun sebuah kantor baru di sana. Rumah yang ditempati Ami saat ini berada dalam kawasan industri Grand Tulip dan masuk dalam area yang akan dibangun nanti.

Sebagai kompensasi, pihak perusahaan sudah menyiapkan ganti rugi yang layak dan sesuai dengan harga jual lahan di kawasan itu. Mengingat di rumah Ami sekarang, tinggal anak-anak dan orang tua jompo, perusahaan sudah menyediakan tempat tinggal baru dan menjamin semua kebutuhan mereka selama satu tahun.

“Tidak! Saya tidak akan meninggalkan rumah ini.” Tegas Ami, ia berdiri di hadapan kedua laki-laki itu.

“Rumah ini satu-satunya peninggalan orang tua Saya. Ada amanah yang harus Saya emban di dalamnya, melanjutkan perjuangan kedua orang tua Saya untuk membantu anak-anak yang tidak memiliki tempat tinggal. Kami memang miskin, kami hidup seadanya. Tapi kami tidak akan menjual rumah ini, meski kalian menggantinya dengan berkali-kali lipat harganya.”

“Tapi Neng Ami, rumah ini sudah ...”

“Panggil Saya Ami saja!” sentak Ami gusar, ia tidak suka mendengar ada orang asing memanggilnya dengan panggilan itu.

“Baiklah, Ami. Saya harus katakan yang sebenarnya padamu, kalau rumah ini sudah dijual oleh pak Surya Darma, yang mengaku sebagai pemilik sah rumah ini. Dia terlibat penggelapan dana perusahaan dan judi on line. Dari penyelidikan yang sudah kami lakukan, dia ternyata memiliki seorang keponakan yang tinggal di rumah ini. Dan setelah didesak dan dilaporkan kepada pihak berwajib, dia mengakui kalau rumah ini adalah milik almarhum kakak lelakinya yang sudah dihuni lama oleh anak-anak dan orang tua jompo.”

“Rumah ini milikku, Aku punya surat-surat yang menyatakan kalau rumah ini atas namaku. Tidak ada seorang pun yang bisa mengambilnya dariku. Tidak juga paman Surya atau pemilik perusahaan Terrajaya Corp!”

“Saudari Ami, silah kan duduk kembali dan periksa ulang surat-surat kepemilikan rumah ini. Apa benar ini yang Saudari maksudkan?” Alvin mengeluarkan berkas dari dalam tasnya, dan memberikannya pada Ami untuk diperiksa.

Dengan tubuh gemetar Ami menuruti ucapan Alvin, duduk dan membuka berkas di tangannya. Ia merasa seperti seorang terdakwa yang sedang ditanya penuntut umum tentang sebuah kasus yang bahkan baru saja ia ketahui kejadiannya.

“Tidak mungkin, ini pasti bohong!”

🌹🌹🌹

Terpopuler

Comments

Shanty

Shanty

jadi penasaran mi, apa maksdnye

2023-02-21

1

Wendy putri

Wendy putri

pasti ada masalah dgn surat rumahnya

2023-02-21

1

Dewi tanjung

Dewi tanjung

🤭🤭🤭🤭

2023-02-21

1

lihat semua
Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!