Sebelum keberangkatan Dani dan Alvin ke rumah panti milik Ami, terlebih dulu keduanya datang menemui Nathan Wijaya di kantornya. Paman dari Gavin itu mewanti-wanti keduanya untuk tetap bersikap lunak pada pemilik panti karena ada anak-anak dan orang tua jompo yang tinggal di sana.
“Bagaimana kalau orang itu tetap menolak ganti rugi yang ditawarkan oleh pihak perusahaan, apa yang harus kita lakukan?” tanya Dani.
“Pihak media juga sudah mengendus masalah ini, dan nama tuan Gavin akan semakin buruk. Kemarin saja mereka berhasil mewawancarai pihak panti, yang terang-terangan menolak penggusuran meski pihak perusahaan sudah menawarkan ganti rugi yang sangat besar dan memfasilitasi mereka semua tempat tinggal yang baru.” Alvin menambahkan.
Nathan mengembuskan napas, memijit keningnya yang kembali berdenyut. Persoalan ini benar-benar membuatnya pusing, sementara Gavin tidak peduli dengan omongan orang-orang di luar sana yang mencibirnya sebagai CEO kejam yang tidak peduli pada nasib orang kecil.
“Seharusnya dia tidak terlibat dengan masalah ini, sudah kukatakan berkali-kali padanya. Batalkan rencana membeli lahan itu. Toh, ia masih bisa memperluas area perusahaan dan membangun kantor barunya di sana tanpa harus menggusur rumah panti itu.”
“Tuan, sebenarnya tuan Gavin hanya ingin memberi pelajaran pada si pemilik lahan. Orang itu sudah menggelapkan dana perusahaan begitu besar, dan hebatnya lagi uang itu dipakai untuk modal judi on line. Ck! Dia tidak pernah berpikir akibatnya, ada anak-anak yang akan terlantar akibat ulahnya.”
“Rumah itu bukan milik Surya, ia mencurinya dari keponakannya.” Sergah paman dengan suara berbisik.
“Maksud Tuan?” tanya Dani dan Alvin bersamaan.
Nathan menarik laci meja kerjanya dan mengeluarkan sebuah amplop warna coklat dari dalamnya. Ia menyerahkan pada Alvin yang menerimanya dengan dahi berkerut. “Lihat dan baca baik-baik. Tidak ada satu pun tulisan yang menyebutkan nama Surya di sana.”
“Rumah itu milik almarhum kakaknya dan sudah diwariskan sejak lama atas nama anaknya.”
Nathan berdiri, dan berjalan menuju kaca besar jendela ruang kerjanya. Dari atas lantai delapan gedung kantornya, ia bisa melihat dengan jelas pemandangan lalu lintas di bawah sana.
“Gavin baru mengetahuinya setelah ia melaporkan Surya ke pihak berwajib. Dan di sana, lelaki itu mengakui semua perbuatannya. Kalian tahu apa yang dikatakannya saat pertama kali ia menyerahkan surat rumah itu pada kami?”
“Apa yang dikatakannya, Tuan?” Dani hanya bisa bertanya tanpa mampu menebak apa yang dikatakan Surya pada atasannya itu. “ Bagaimana lelaki itu bisa mendapatkan surat rumah yang bukan miliknya, bagaimana bisa ia mencurinya dari pemilik aslinya?”
Nathan mendengkus kesal, “Rumah itu miliknya, hanya kepemilikan rumah atas nama istrinya saja. Ia menyerahkan surat berharga itu dan mengatakan harga rumah itu lebih besar dari dana perusahaan yang sudah dipakainya.”
“Jadi pemilik rumah panti itu diakui istri oleh Surya?”
“Rumah itu sebenarnya milik almarhum kakaknya yang sudah diwariskan pada anaknya. Bagaimana bisa ia mendapatkan surat rumah itu? Ia yang mengurus semua akta balik nama kepemilikan, saat keponakannya itu masih duduk di bangku sekolah menengah atas. Dia pula yang menyimpannya berdalih untuk keamanan.”
“Dia juga menipu kami dengan mengatakan kalau keponakannya itu adalah istrinya. Gavin percaya, dan ia menerima surat rumah itu sebagai salah satu alat jaminan. Dan sampai saat ini, pemilik rumah itu bahkan belum tahu kalau rumahnya sudah dijual kepada Gavin,” jelas Nathan.
“Kalau begitu kita bisa menggunakan surat rumah ini untuk menekan si pemilik rumah agar bersedia menerima ganti rugi dari perusahaan. Bagaimana pun juga ia tidak akan mampu membayar semua kerugian perusahaan akibat ulah sang paman.”
“Tetaplah bersikap lunak, jangan sampai memancing keributan di sana. Kasihan, ada anak-anak kecil yang tidak tahu apa-apa dan mungkin mereka hanya bisa menangis ketika tahu rumah tempat mereka bernaung selama ini sudah dijual pada pihak perusahaan akibat ulah keluarga mereka sendiri.”
“Baiklah Tuan, kami akan mengingat semua pesan dari Tuan.”
Dan sekarang mereka berdua berada di rumah panti itu, bertemu langsung dengan sang pemilik rumah yang ternyata adalah seorang wanita muda dan bukan wanita lansia seperti bayangan mereka.
“Tidak mungkin, ini pasti bohong!” Ami menatap tak percaya pada berkas yang ada di tangannya itu. “Bagaimana bisa surat rumah milikku ada bersama kalian?”
“Paman Anda sudah menjualnya pada tuan Gavin sebagai alat pembayaran atas apa yang sudah dilakukannya pada perusahaan. Ia menggelapkan dana perusahaan milik tuan Gavin.”
Ruangan itu rasanya miring tiba-tiba, perut Ami bergolak dan rasanya ia akan muntah saat itu juga. Paman Surya mencuri uang perusahaan, dan ia juga mencuri surat rumah miliknya sebagai alat pembayaran.
“Bagaimana semua itu bisa terjadi? Paman Surya orang baik, dia sangat baik pada kami selama ini.” Ami masih tak percaya dengan cerita tentang pamannya yang baru saja didengarnya.
“Terlalu baiknya dia sampai-sampai Kau percaya padanya dan bersedia begitu saja menitipkan surat rumahmu padanya,” sahut Alvin seraya menggelengkan kepalanya.
Sekarang Ami benar-benar ingin muntah, perutnya bergolak cepat dan ia berlari masuk ke dalam rumah.
Selama ini Ami tidak pernah bertanya apa saja yang dilakukan pamannya itu di luar sana. Lelaki itu hanya sesekali datang menjenguknya, dan hampir di setiap bulan selalu mengiriminya uang untuk membantu biaya hidup anak-anak panti.
Ami ingat, tiga bulan terakhir ini paman mulai jarang mengiriminya uang dan tidak sekalipun datang mengunjunginya lagi di rumah ini. Hingga Ami mengalami kesulitan dalam membayar tagihan uang sekolah adik-adiknya.
“Berapa banyak yang sudah dipakai paman?” tanya Ami dengan suara setengah berbisik, ia keluar dan duduk di hadapan Alvin dan Dani dengan muka pucat.
Mata Ami terbelalak, jawaban yang didengarnya membuat tubuhnya gemetar hebat dan dadanya sesak tiba-tiba.
“Bany-nyak sekali.” Napas Ami tercekat di tenggorokan, ia tidak akan sanggup mengganti uang sebanyak itu.
Apa sebenarnya yang sudah dibuat paman dengan uang sebanyak itu. Membayangkan bagaimana jika ia memiliki uang sebanyak itu.
Ami bisa membiayai keperluan hidupnya dan orang-orang di rumahnya selama bertahun-tahun. Ia bahkan tidak perlu lagi memikirkan biaya sekolah adik-adiknya, ia juga tidak perlu lagi harus bekerja siang malam demi memenuhi kebutuhan hidup.
Tapi sejumlah uang yang didengarnya barusan itu adalah jumlah uang yang sudah dicuri pamannya dari perusahaan. “Rumah ini atas namaku, paman tidak bisa menjualnya pada kalian tanpa persetujuan dariku!”
“Rumah ini sudah bukan milik Anda lagi saat paman Anda menyerahkan surat ini pada tuan kami. Tolong, jangan persulit pekerjaan kami, terima saja ganti rugi yang sudah perusahaan tawarkan pada Anda.”
“Beri Aku waktu, Aku akan membayar uang yang sudah dipakai paman. Aku bisa mencicilnya, ya Aku bisa!” Ami tersenyum lebar, wajahnya terlihat aneh.
“Aku tidak akan pergi dari rumah ini, meski kalian menawarkan banyak uang sebagai ganti rugi. Ini rumahku, harta satu-satunya yang Aku miliki. Aku tidak pernah membenarkan perbuatan jahat paman pada atasan kalian, tapi Aku akan berusaha membayarnya. Katakan pada bos kalian, Aku minta waktu dan akan mencicilnya.”
“Tidak bisa, itu tidak akan pernah terjadi. Bukankah Kau tahu berapa banyak dana perusahaan yang sudah dicuri pamanmu?”
“Katakan saja seperti itu padanya. Biar bagaimana pun juga Aku tidak akan pernah meninggalkan rumah ini.” Tegas Ami.
🌹🌹🌹
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 44 Episodes
Comments
Shanty
sampaikan aja pak, nananya amanah
dia mo terima apa gk urusan nanti 🤣🤣🤣
2023-02-21
1
Wendy putri
kedengarannya sih mustahil buat ami bisa bayar, tp dia harus punya banyak cara buat mmpertahankan rumah miliknya
2023-02-21
1
Dewi tanjung
🤔🤔🤔
2023-02-21
1