Bab 5. Laporan Dani

Sejak kecil Ami diajarkan untuk menghormati tamu yang datang ke rumahnya, bersikap sopan dengan menjamu mereka sebaik mungkin.

Ami kecil suka sekali membantu ibunya membawakan nampan berisi teh hangat dan menyajikannya ke atas meja. Setelah itu ia akan berdiri di belakang punggung ibunya dan tersipu malu ketika tamu itu memujinya.

Ami melirik tamunya itu, ia tahu kedua lelaki di hadapannya itu tengah kehausan. Ia melihat bagaimana lelaki bernama Dani itu beberapa kali meneguk liur dan memegangi tenggorokannya.

Bukan tanpa alasan Ami tidak menyajikan mereka minuman. Ia juga sengaja bersikap judes dan mengatakan sumber air di daerahnya itu berasal dari sumur di belakang rumahnya, karena ingin kedua orang itu segera pergi dari rumahnya.

Ami yang sudah mengetahui maksud kedatangan tamunya itu, tetap menolak tawaran ganti rugi yang diajukan oleh pihak perusahaan padanya. Meski Ami baru mengetahui fakta sebenarnya tentang keterlibatan pamannya dalam masalah yang dihadapinya saat ini, tak mengendurkan langkahnya untuk tetap pada keputusan awalnya.

Ami mendorong kursinya ke belakang, dan berdiri di hadapan mereka berdua. “Keputusanku sudah bulat. Aku tidak akan menerima ganti rugi dari perusahaan kalian. Sampaikan saja pada atasan kalian, Aku minta waktu. Aku akan mencicil uang yang sudah dipakai paman dari perusahaan kalian.”

“Fffth!” Dani menahan tawanya yang hampir menyembur keluar. Ucapan Ami barusan menurutnya sangat tidak masuk akal.

Bagaimana wanita itu bisa berpikir sesederhana itu, mau sampai kapan waktu yang dibutuhkannya untuk melunasi uang yang sudah dicuri pamannya itu. Bukan satu atau dua juta, tapi ratusan juta rupiah.

Bukan jumlah yang sedikit, mustahil wanita itu akan sanggup melunasinya. Menilik bagaimana kehidupan yang dijalaninya selama ini, bekerja seorang diri menghidupi banyak orang. Banyak yang harus ditanggungnya, dan Ami masih berpikir akan membayar uang perusahaan yang dipakai pamannya.

Alvin melirik Dani sekilas, menipiskan bibirnya lalu mengembuskan napas sebelum kembali berbicara. Perhatiannya kini fokus pada wanita muda di depannya, tak dihiraukannya Dani yang mengeluarkan ponselnya dan mulai mengambil foto seputar rumah Ami.

Tanpa sepengetahuan Ami, Dani mengambil gambar Ami yang duduk dengan berbagai pose. Diam, cemberut, membelalakkan mata, terakhir berdiri sambil berkacak pinggang di depan mereka berdua.

“Kalau Saudari Ami mau menandatangani surat ini, dan mau menerima tawaran ganti rugi yang diberikan perusahaan, mungkin tuan Gavin mau mempertimbangkan keputusannya lagi. Dan mungkin saja beliau akan menarik tuntutannya pada pak Surya.”

“Ini rumahku, surat kepemilikan rumah ini pun atas namaku. Meski paman sudah menyerahkan surat rumah ini pada atasan kalian, bukan berarti atasan kalian bisa seenaknya saja mengambil rumah ini. Sampai kapan pun, Aku tidak akan pernah meninggalkan rumah ini!” Tegas Ami.

Alvin ikutan berdiri, ia sudah berusaha bicara sehalus mungkin dan menahan diri meski Ami bicara dengan nada keras padanya.

“Dan membiarkan paman Saudari di penjara karena sudah menggelapkan dana perusahaan, sementara Saudari bisa menolongnya dengan menerima tawaran dari perusahaan kami. Tidak ada yang dirugikan di sini, justru perusahaan sudah berbaik hati dan sangat memperhatikan nasib Saudari dan penghuni panti ini.”

“Rumah ini berada dalam kawasan industri, dan lahan yang Saudari tempati saat ini berdampingan dengan lahan perusahaan. Perusahaan kami sudah banyak menawarkan ganti rugi yang sangat besar, mengingat ada anak-anak dan orang tua jompo di sini.”

“Saudari akan mendapatkan lahan baru yang lebih baik, Saudari juga bisa menempati rumah baru yang sudah disediakan perusahaan kami. Banyak fasilitas yang sudah disiapkan perusahaan, kenapa Saudari masih berkeras untuk terus bertahan di tempat ini!”

Ami memalingkan wajahnya, menghindari tatapan tajam mata Alvin padanya. Di bawah sana, pak RT datang sambil membawa kantung plastik belanjaan di tangannya. Tersenyum lebar seraya mengacungkan tangannya, yang dibalas Ami dengan anggukan kepala.

“Aku tak punya kepentingan untuk menjelaskan alasanku bertahan di tempat ini pada kalian,” ucapnya pelan. “Kalau urusan kalian sudah selesai di sini, silah kan tinggalkan tempat ini.”

Ami menolehkan wajahnya kini, balas menatap wajah Alvin. Lelaki itu menarik napas dalam, tanpa banyak bicara lagi ia membereskan berkas di atas meja dan memasukkan kembali ke dalam tasnya.

“Masih ada waktu satu minggu untuk memikirkan tawaran dari perusahaan kami,” ujar Dani kemudian, ia lalu mengeluarkan sebuah kartu nama dan memberikannya pada Ami. “Ini nomor telponku. Jika Kamu berubah pikiran, Kamu bisa menghubungiku nanti.”

Ami bergeming, ia hanya menatap kartu nama di tangan Dani. Lelaki itu tertawa pelan, seterusnya ia menaruh kartu namanya ke atas meja. Bersamaan dengan itu, pak RT muncul di hadapan mereka.

“Nih, Bapak bawakan gorengan buat kalian, sekalian minumnya. Sudah pada haus kan?” ujar pak RT dibarengi dengan tawa. Ia menaruh plastik di tangannya ke atas meja.

“Kami sudah mau pulang Pak RT,” sahut Dani, “Sudah malam juga, tidak enak berlama-lama di tempat ini.”

“Lah, terus ini makanan?” pak RT menunjuk ke atas meja.

“Saya ambil minumannya saja. Terima kasih Pak RT.” Dani mengambil botol air kemasan di dalam plastik dan segera membukanya. Ia minum dengan cepat hingga bersisa setengahnya saja.

“Kak Ami, lapar.” Rivan muncul dari dalam rumah, keluar mendatangi Ami sambil mengusap-usap perutnya.

“Rivan belum tidur?” Ami balik bertanya.

Bocah lelaki itu menggelengkan kepala, “Rivan lapar, barusan mau makan lauknya dah habis dimakan Rio.”

“Rivan tunggu di dalam dulu, sebentar Kak Ami buatkan telur ceplok.” Ami tertawa, ia membungkukkan tubuhnya sedikit dan mengusap kepala Rivan.

“Ini bawa saja, buat Rivan makan. Ada goreng tempe sama tahunya juga.” Pak RT memberikan plastik berisi gorengan itu ke tangan Rivan, yang langsung berteriak senang.

“Yeay, gorengan. Terima kasih, Pak RT. Rivan masuk dulu,” pamitnya setelah mencium punggung tangan pak RT.

“Terima kasih Pak RT.” Ami kembali mengucap terima kasih.

“Sama-sama, Neng Ami.”

Tak lama kemudian ketiga orang itu berpamitan pulang. Ami menatap kepergian ketiganya dengan hati berkecamuk, apa yang sudah diputuskannya tadi kembali terngiang di kepalanya. Dipandanginya kartu nama di tangannya.

“Hem, lain kali saja dipikirkan lagi.” Ucapnya pada diri sendiri sebelum masuk ke dalam rumah.

Sementara itu di dalam mobil menuju hotel tempat mereka menginap, Dani segera melaporkan hasil pertemuannya dengan Ami pada Nathan. Saat itu Nathan sedang makan malam bersama Gavin di rumahnya. Ia lalu meminta waktu untuk menerima telepon di ruang kerjanya, sementara Gavin menunggu di meja makan.

Dani lalu menceritakan dengan rinci semuanya, bagaimana Ami dengan tegas menolak ganti rugi yang sudah ditawarkan pihak perusahaan padanya dan memilih tetap bertahan untuk tinggal di rumah panti.

“Hem, Aku jadi penasaran dengan wanita pemilik panti itu?” Nathan mengernyitkan keningnya. “Mengapa dia begitu keukeh menolak dan tetap memilih tinggal di sana.”

“Tuan, Saya punya fotonya. Sebentar Saya kirim,” ujar Dani.

Dan tidak berapa lama kemudian, foto Ami yang diambil diam-diam oleh Dani sudah terkirim di ponsel Nathan. Foto dengan berbagai gaya mimik muka Ami saat berhadapan dengan Dani dan Alvin.

Nathan tertawa melihatnya, tak menyangka kalau pemilik panti itu seorang wanita muda. Sama seperti Dani dan Alvin saat pertama kali bertemu dengan Ami.

“Hmm, sepertinya Aku punya ide.” Nathan tersenyum penuh arti, memasukkan kembali ponselnya ke dalam saku bajunya lalu keluar menemui Gavin di meja makan.

🌹🌹🌹

Terpopuler

Comments

Maya

Maya

😅😅😅

2023-02-25

1

Yulia k

Yulia k

🤭🤭🤭

2023-02-25

1

Brav Movie

Brav Movie

🤔🤔🤔

2023-02-25

1

lihat semua
Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!