Bab 6. Keputusan Gavin

Malam Minggu itu Nathan sedang makan malam bersama Gavin di rumahnya, ketika Dani menghubunginya. Lewat pesan singkatnya, Dani melaporkan bahwa dirinya dan Alvin sedang berada di rumah panti bersama pengurus RT setempat.

“Saat ini kami berdua sedang menunggu pemilik rumah, beliau masih berada di dalam.” Tulisan Dani di dalam pesan singkatnya lalu mengirim gambar depan rumah panti.

“Oke, kabari Aku secepatnya jika wanita pemilik panti itu setuju dengan apa yang perusahaan tawarkan.” Nathan membalas chat Dani, setelah itu ia letakkan ponselnya kembali ke atas meja.

“Paman sedang chatting dengan siapa?” tanya Gavin ingin tahu. Ia memotong kecil steak daging di piringnya, lalu memakannya tanpa melihat wajah pamannya.

“Asistenmu Dani,” jawab Nathan singkat.

Gavin mengelap mulutnya dengan tisu, lalu menatap wajah pamannya. “Apa mereka sudah sampai di tempat itu?”

Nathan menghela napas, menaruh alat makannya tiba-tiba ke atas piring hingga menimbulkan denting cukup nyaring. “Apa Kau sungguh-sungguh ingin mengetahuinya?”

“Oh, come on. Mereka berdua hanya perlu memperlihatkan surat rumah itu dan meminta nomor rekening bank pada penghuni rumah. Selebihnya tinggal menunggu tanda tangan. Bukan hal yang sulit untuk dilakukan, apalagi kalau orang-orang itu tahu rumah itu sudah bukan milik mereka lagi.”

“Sebaiknya cepat Kau habiskan makanmu saja, berbicara denganmu soal rumah panti itu hanya akan membuat tekanan darahku naik saja!” ujar Nathan mendengkus kesal.

Gavin terkekeh mendengarnya, ia menggeser piring makannya ke samping lalu menyatukan kedua tangannya ke atas meja. “Paman tidak perlu repot-repot mengurus masalah ini, tenang saja. Mereka berdua pasti bisa mengatasinya.”

Gavin tersenyum tipis, “Siapa orang yang tidak tergiur dengan jumlah uang ganti rugi yang kita tawarkan. Dengan uang itu, mereka bahkan bisa membeli dua rumah sekaligus di kota besar.”

Lagi-lagi Nathan mendengkus sebal, ia lalu beranjak dari kursinya dan pergi begitu saja dari sana. “Malam ini Kau yang bertugas membersihkan semuanya, itu hukuman buatmu!”

“Hei, Paman masih marah rupanya. Percaya padaku, paman. Tidak baik menyimpan dendam di dalam hati, hanya akan menjadi penyakit dan itu akan sangat merugikan sekali buat kesehatan Paman ke depannya.”

Nathan berbalik lalu menyambar tongkat kasti yang tergantung di dinding dan mengacungkannya pada Gavin. “Kau ingin terus berbicara seperti itu padaku atau segera membersihkan meja makan. Cepat katakan!”

Gavin mengangkat dua tangannya ke atas, lalu perlahan ia menurunkan tangannya seraya terus menatap wajah pamannya. “Tenang Paman, tentu saja Aku memilih poin terakhir.”

“Good!” Nathan membawa tongkat kasti bersamanya, lalu duduk mengawasi Gavin di sofa yang berada tidak jauh dari sana.

Gavin mencebik, “Dia pikir Aku anak kecil yang harus terus ditakut-takuti dengan tongkat kasti itu,” gerutu Gavin sembari tangannya terus bergerak membersihkan meja.

“Haish! Kenapa setiap hari ini tiba, lelaki itu selalu saja membuat hidupku menjadi tidak tenang!” omel Gavin sambil tangannya terus mencuci alat makan dan menaruhnya di rak. “Dia bahkan meliburkan pelayan di rumah ini setiap kali hari ini tiba.”

Nathan hanya tersenyum mendengar omelan Gavin. Dipandanginya punggung lebar Gavin yang sedang mencuci piring. Baginya, Gavin tetaplah putra kecil kesayangannya yang harus terus diawasi. Dimarahi bila tidak mau menuruti ucapannya, dan harus menerima hukuman bila membangkang perintahnya seperti sekarang ini.

Nathan sengaja mengundang keponakannya itu datang, karena sudah lama tidak berkunjung ke rumahnya. Kebetulan juga hari itu bertepatan dengan hari ulang tahunnya dan Nathan ingin merayakannya bersama Gavin berdua saja seperti tahun-tahun sebelumnya.

Sayang, sepertinya Gavin lupa dengan hari istimewanya itu. Kesibukannya mengurus perusahaannya yang semakin maju pesat benar-benar menyita perhatiannya.

Nathan merasa kesepian, ia yang merawat Gavin sejak kecil setelah kedua orang tuanya meninggal dunia dalam kecelakaan. Setelah dewasa dan memiliki perusahaannya sendiri, Gavin lebih memilih tinggal di apartemennya dan hanya sesekali bermalam di rumah pamannya.

Bukan tanpa alasan pula Gavin akhirnya memutuskan memenuhi undangan makan malam pamannya itu dan membatalkan rencananya pergi bersama Helena, setelah lelaki itu mengancam akan membakar habis dapur rumahnya.

Alhasil Helena merajuk, wanita itu melayangkan protesnya. “Kenapa selalu saja lelaki itu yang mengacaukan jadwal kencan kita, apa tidak ada cara lain yang bisa membuat dirinya duduk tenang dan berhenti mengganggu."

Gavin berusaha membujuknya dan berjanji akan menggantinya dengan lain waktu, tentu saja tetap ada embel-embel lain di belakangnya. Tidak sampai lima menit, ponsel milik Helena berbunyi. Rekening saldo tabungannya bertambah, wajah yang tadi bersungut langsung berganti ceria.

Usai berhasil membujuk Helena, ganti Nathan yang berulah. Tentu saja Gavin kelimpungan dan berjanji akan datang malam hari itu juga, tapi Nathan berkeras menyuruh Gavin datang sore hari. Jika tidak, ia akan benar-benar melaksanakan ucapannya.

“Kau lihat apa yang akan kulakukan dengan dapur ini?” Nathan menyalakan pemantik api dan memperlihatkan pada Gavin suasana dapur rumahnya yang porak-poranda seperti kapal pecah.

“Tidak ada yang membantuku memasak makanan kesukaanku, tidak ada yang menemaniku makan malam. Tidak ada yang memberiku ucapan selamat ketika hari kelahiranku tiba.”

“Aku seorang diri merayakannya, Aku punya anak keponakan yang kubesarkan sejak kecil, tapi lebih memilih terus bersama dengan wanitanya. Apa gunanya memiliki rumah mewah, jika tidak ada kehangatan di dalamnya!” keluh Nathan dengan wajah nelangsa.

“Oke, oke paman. Aku ke sana sekarang! Buang jauh-jauh pemantik api murahan itu, dan jangan pernah berpikir untuk membakar dapur rumah paman sendiri!” Gavin mematikan sambungan telepon, dan langsung menyambar jasnya yang tergantung di rak di sampingnya.

Tiga puluh menit kemudian Gavin muncul di depan rumah, wajahnya terlihat cemas. Ia baru menyadari kalau hari ini hari ulang tahun pamannya.

Gavin bergegas masuk ke dalam rumah dan berteriak kencang meluapkan emosinya ketika melihat dapur rumah Nathan dalam keadaan baik-baik saja, dan pamannya itu dengan tenangnya duduk di taman belakang rumah sambil mengipas daging bakar.

“Kau tidak ingin memberikan ucapan selamat padaku?” Nathan berdiri menghadapnya, menunggu Gavin bergerak mendekat.

“Aaarghk!” Gavin langsung memeluk Nathan erat. “Berhenti membuatku khawatir, paman!”

“Kau patut mendapatkannya!” sahut Nathan tergelak.

Tanpa sadar Nathan tertawa pelan, mengingat ulahnya tadi sore saat meminta Gavin untuk datang hingga ia tak menyadari kehadiran Gavin di dekatnya. Lelaki itu duduk di ujung sofa, dekat kakinya.

“Apa yang sedang paman tertawakan?” tanya Gavin, ia duduk berselonjor kaki sembari memejamkan matanya.

“Aku mengundangmu kemari bukan untuk pindah tidur, Gavin!” tegur Nathan.

“Paman bicara saja, Aku pasti mendengarnya.” Jawab Gavin seraya menguap lebar.

“Kau memang orang yang menyebalkan!”

Gavin menanggapinya dengan terkekeh, tak lama kemudian ruangan itu tampak hening. Tak lagi terdengar suara Nathan berbicara, senyap.

Gavin membuka matanya, dilihatnya kening Nathan berkerut. “Ada apa, Paman. Apa ada masalah dengan Dani dan Alvin?” cetus Gavin terlontar begitu saja.

“Pemilik rumah itu tetap menolak ganti rugi yang perusahaan tawarkan, ia bahkan mengatakan hal-hal buruk tentang CEO Terrajaya Corp.” Nathan menatap wajah Gavin, menimbang-nimbang apakah harus menyampaikannya atau tidak.

“Apa yang dia katakan, Paman?” Gavin menegakkan punggungnya, memasang telinga baik-baik.

“Ehm, dengarkan baik-baik. CEO Terrajaya Corp adalah lelaki tua kejam yang tidak punya rasa empati sama sekali pada nasib rakyat kecil, hanya mementingkan kepentingan pribadinya tanpa peduli pada warga yang harus kehilangan tempat tinggal.”

“Bukan hanya kejam, CEO Terrajaya Corp juga suka mempermainkan wanita dan menganggap kaum hawa hanya sebagai pelampiasan nafsunya saja ... Apa Kau ingin mendengarkan lanjutannya?” Nathan menangkap perubahan di raut wajah Gavin. “Hmm, Aku rasa cukup, Aku tidak akan melanjutkannya lagi."

Gavin mengepalkan tangannya kuat, rahangnya mengeras. Sepertinya ia harus segera mengambil tindakan tegas sebelum rencananya berantakan.

🌹🌹🌹

Terpopuler

Comments

Juna murat

Juna murat

😂😂😂

2023-02-26

1

Maya

Maya

dih paman ngadi ngadi 😅

2023-02-25

1

Yulia k

Yulia k

😂😂😂

2023-02-25

1

lihat semua
Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!