Rasa Yang Hilang
Seseorang itu akan kuat, apabila diuji percobaan, pada akhirnya.
"Dek, besok ada acara keluarga di rumah ibu. Kita disuruh datang ke sana," aku memalingkan pandanganku dari layar ponsel saat mendengar ucapan suamiku, Bram.
"Iya Bang," sahutku singkat, lalu kembali fokus pada layar ponsel. Karena aku tengah membaca salah satu novel penulis favoritku. Selain karena malas untuk menanggapi ucapan suamiku. Aku juga sedikit tak suka untuk datang berkumpul ke rumah mertua. Kapok tepatnya.
Karena setiap kali ada acara kumpul keluarga, situasi itu akan membuatku tak nyaman.
"Kok cuma iya, Dek?" protes suamiku karena sahutan singkat dariku. Aku pura- pura mengabaikan ucapannya. Mataku terus menatap layar ponsel. Ternyata suamiku tak suka diperlakukan seperti itu.
"Dek! Bisa gak sebentar saja ponselnya dimatikan. Ngomong sama suami gak ada sopannya," gerutunya mangkel.
"Apa lagi sih, Bang. Sudah aku iyakannya 'kan?" Dengkusku dengan suara yang naik setengah oktaf. Bola mata berwarna sedikit kecoklatan itu, membulat sempurna saat mendengar ucapanku. Tapi aku cuek saja, seolah semua itu wajar.
"Kamu ini, Dek? Lama-lama makin kurang ajar saja!" Sentaknya langsung berdiri dari kursi yang ia duduki. Sambil berkacak pinggang dengan jari telunjuk menuding ke arahku.
Aku tetap acuh, walau ada sedikit rasa gentar di hatiku, saat melihat suamiku yang terpicu emosi, karena ulahku. Aku berusaha tenang. Suaraku yang naik setengah oktaf dia balas dengan tiga oktaf.
Dahlah, aku sudah terbiasa dengan suara kerasnya, belum lagi dengan kekerasan hatinya. Sepuluh tahun pernikahan kami, selalu saja seperti menginjak bara api.
Salah satu dari kami akan mudah tersulut atau terpicu emosi, setiap kali membicarakan sesuatu.
Ini bukan kali pertama kami bersitegang hanya karena masalah sepele. Sebenarnya bukan masalah sepele. Hanya, karena aku terlalu sering disepelekan, sehingga aku juga, membalas pada akhirnya.
Seperti menyimpan bom waktu, suatu saat akan meledak bila waktunya tiba. Aku juga,merasakan bahwa pernikahan kami ini hanya menunggu waktu saja untuk hancur, terberai.
"Kamu kenapa diam saja, sengaja ya, mengabaikanku. Agar aku ribut dan semua orang dengar keributan di rumah kita, gitu!" Hardik suamiku semakin terpicu emosi melihatku yang diam acuh.
"Ah, sudahlah Bang. Ngapain pula mengajak ribut malam-malam begini." Sahutku, lalu menarik selimut hingga ke batas leher. Posisi aku memang sedang tiduran di tempat tidur, sambil membaca novel online. Sedang suamiku di meja kerjanya yang ada di sudut kamar.
Dahlah, sekali lompat suamiku kini sudah berdiri di sisi pembaringan. Dengan mata yang masih melotot, tangannya segera menarik selimut dari tubuhku. Sekali sentak saja, selimut itu terlepas dari tubuhku.
"Kamu, selalu saja begini. Selalu memicu keributan di rumah ini. Selalu saja membuat aku emosi!" derunya dengan napas memburu. Aku menatap wajah suamiku tak kalah garang. Mataku juga membola sebesar bola, kalah dengan bola matanya yang hanya sebesar kelereng.
Lantas aku berdiri, mensejajarkan diriku dengan tubuhnya. Meski sampai kiamat, aku tak akan pernah bisa menyamai sosok tubuhnya yang menjulang. Tapi kalau soal emosi, bisalah sekali-kali aku samai.
Capek dan lelah setelah sekian tahun jadi kelinci percobaannya. Saat ini aku berontak, melepaskan diri dari ikatan rasa takut yang membelengguku selama ini.
"Oh, jadi aku terus yang salah. Abang tidak pernah intropeksi diri. Apa-apa aku si biang kerok Aku istri yang tidak tau diri. Menantu yang tidak pandai bersyukur. Begitukan, Bang!" letupku tak mampu lagi menahan emosi. Rasanya seluruh tubuh telah terbakar hangus.
"Aaahgrrr! Kamu ini...!" tangannya langsung melayang di udara hendak menamparku. Tapi hanya menggantung, mungkin ia masih ingat sesuatu. Atau mungkin, terkaget melihat ekspresi wajah datarku, juga pandangan dinginku.
Bukannya langsung menamparku, tangan yang tadinya begitu kencang mengantung. Kini, mendadak lemas, turun. Bukan hanya tangannya, tubuh kekar itu ikutan lesu. Lalu, suamiku berbalik tanpa berkata apa lagi. Kembali ke meja kerjanya. Menatap ke arahku dengan pandangan kosong.
Bukan tanpa sebab aku berprilaku seperti itu. Rasanya sudah cukup aku bersabar selama ini. Semua pengorbananku sebagai seorang istri, seolah tidak pernah di hargai. Perlakuan ibu mertua beserta kakak ipar padaku selama ini, sudah sangat keterlaluan.
Aku Reny, mengenal Bram 11 tahun lalu, dalam sebuah pertemuan yang tak terduga. Aku bekerja menjadi kasir di sebuah Ind* Mart. Bram datang belanja ke tempat ku bekerja. Entah, kelalaiannya atau memang benar dia kecopetan. Saat membayar belanjaannya, ternyata dompetnya tidak ada.
"Kenapa, Pak?" tanyaku karena belum juga dia melakukan pembayaran. Sementara pelanggan antri dibelakangnya.
"Aduh, maaf. Dompetku hilang," ucapnya panik. Aku melihat total belanjaannya sekitar limaratus ribuan. Untuk batal sudah masuk dalam laporan pembelian. Otomatis aku juga jadi bingung.
"Jadi, gimana ini, Pak?" tanyaku meminta solusi. Pelanggan yang lain sudah kasak kusuk di belakangnya. Dia segera bergerak mundur, sehingga pelanggan yang lain dapat diladeni.
Beberapa kali kulihat dia menelepon, tapi selalu saja gagal. Terlihat dari wajah kesalnya.
"Mbak, ini kartu namaku. Tolong ditalangin dulu. Besok aku datang lagi," ucapnya mencoba meyakinkanku. Aku melihat kartu nama itu, ternyata namanya, Bram, bekerja di salah BUMN.
Mengingat, malam itu hujan deras, dan sudah jam 21;00 Wib. Belum lagi, di daftar belajannnya ada beberapa obat. Mungkin sedang sangat dibutuhkan.
"Baiklah, Pak," ucapku percaya saja waktu itu. Lalu, wajah itu sangat berterima kasih sekali. Keesokan harinya, dia kembali lagi. Melunasi uang itu. Sejak itu kami jadi akrab, berpacaran, dan menikah setahun kemudian.
Selama mengenalnya, aku merasakan ,Bram, adalah sosok pria atau suami yang lembut. Penuh perhatian kepadaku dan anak-anak. Tapi, tidak setelah pernikahan kami berjalan memasuki tahun ke 5, aku mulai merasakan perubahan dari sikap, Bram, secara perlahan.
Awalnya aku tak begitu menyadari hal itu. Karena aku juga terlalu di sibukkan oleh kedua balitaku waktu itu. Tapi yang jelas, Bram, berubah sejak kami tingal satu daerah dengan ibu mertua. Karena, Bram, dipindahkan dan naik jabatan.
"Jadi, besok kamu menolak datang ke rumah ibu?" suara Bram menghentakkan lamunanku. Setelah sekian menit suasana diam mencekam diantara kami. Suaranya kini melembut.
"Sebenarnya ada acara apa di rumah Ibu," tanyaku juga akhirnya.
"Palingan juga kumpul bersama karena akhir pekan. Abang, Rio mau pulang," jelasnya tanpa melihatku.
Aku paham, jika ada acara keluarga, berarti akan ada acara makan bersama. Biasanya ibu mertua sangat mengharapkan bantuanku untuk memasak seperti yang sudah-sudah. Bahkan, nyaris akulah yang mengerjakan semuanya. Ibu mertua hanya bantu-bantu sedikit. Apalagi Sarah, benar-benar tak bisa diandalkan. Cuma mulut embernya saja nanti yang sok mengatur.
"Palingan juga aku dibutuhkan menjadi si upik abu," gumanku. Kembali aku duduk dipembaringan.
"Kamu ngomong apaan, Dek?" tanya Bram. Ternyata suamiku mendengar gumananku. Aku diam saja tak menyahut. "Kenapa selalu saja kamu berpikir negatif."
"Nyatanya memang begitu, aku bukan menantu yang dianggap. Parahnya, sikapmu juga 11 12 dengan mereka." ucapku.
Aku melirik ekspresi wajah suamiku, yang menatapku dengan pandangan yang sulit kuartikan.
Apakah ucapanku membuatnya terpukul, atau kaget melihat sisi lain dari pribadiku? Mungkin saja kaget karena seolah tak mengenal lagi dirikukah? Ah, persetan dengan pandangannya atau apa yang tengah berkecamuk dibenaknya.
Yang jelas, saat ini aku merasa plong bisa mengungkapkan apa yang tersimpan di hatiku.
Baru pertama kali ini aku berani melawannya. Suamiku tertunduk lesu, lidahnya sepertinya kelu untuk bicara.. Biasanya dia yang akan tetap garang, dan memenangkan perdebatan. Untuk kali ini, dia bungkam seribu bahasa.***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 98 Episodes
Comments
Virgo Girl
Aku hadir ya Eda. Kek seru cerita mu ini😆😆
2023-08-16
1
Kustriana Handayani
sekali sekali bagian wanita yg tangguh, syukaaaaa....
2023-07-12
2
Rini Musrini
sepertinya ceritanya seru nih
2023-05-18
1