Apa yang kau tabur, itulah yang kau tuai.
"Kamu, jangan memfitnah Ibuku, ya, Dek! Tidak mungkin Ibu tega lakukan itu," hardik suamiku.
"Faktanya, Bang. Ibu telah lakukan itu. Jika, Abang, tidak percaya terserah. Secara logika, kami tidak akan menghabiskan semua makanan itu sekaligus, tanpa menyisakan sama, Abang."
Entah apa yang berkecamuk di benak suamiku, mendengar penjelasanku. Yang jelas kulihat ekspresi wajahnya berubah, tapi berupaya ia tahan.
Aku lihat dia membuka ponselnya, lalu menelepon seseorang. Aku kira pasti, Ibu, mertua yang ia telepon. Dugaanku benar, karena beberapa kali, suamiku menyebut kata Ibu. Entah apa yang mereka bicarakan, namun aku melihat wajah suamiku berubah beberapa saat.
"Dek, aku berangkat. Aku sarapan di kantin kantor saja,"
"Apa kata Ibu, soal makanan itu, Bang," tanyaku memastikan.
"Tertukar kata, Ibu. Katanya itu memang untuk anj**g," sahutnya sambil menyeruput sisa kopinya.
"Untuk anjing siapa? Kita tidak memelihara anjing, Ibu juga," seruku heran.
"Ah, sudahlah. Aku tidak mau pusing soal itu, buang saja," ucapnya tandas.
"Memang siapa yang layak mau makan itu. Aku yakin, Ibu, sengaja melakukannya," ucapku memprovokasi. Karena menurutku tak mungkin ibu mertua salah membungkus.
"Kamu, selalu saja berpikiran jelek soal, Ibu."
"Karena nyatanya memang, begitu," sahutku. Bram langsung menghentikan langkahnya dan berbalik.
"Maksud kamu apa, Ren!" teriak suamiku dengan tatapan tajam tepat di manik mataku. Mata itu menyimpan bara, napasnya sampai tersenggal menahan emosinya, mungkin. Aku terkaget, karena semarah-marahnya suamiku selalu saja memanggilku adek. Bukan dengan menyebut namaku langsung.
Beberapa detik mata kami saling tertaut. Sedikit rasa sesal timbul di hatiku, karena tidak bisa menahan diri. Karena, Bram, mau berangkat kerja.
"Sudah, nanti aku akan mampir ke rumah, Ibu. Kenapa bisa bungkusan itu tertukar," ucapnya setelah menghela napas berat. Menyampirkan tas laptopnya, ke bahu. "Abang, berangkat," ucapnya. Aku mengulurkan tangan menyalam dan mencium punggung tangannya.
Aku menghela napas berat. Apa benar, bungkusan yang diberikan ibu, tertukar. Buat apa ibu membungkus sisa makanan yang sudah jadi tulang belulang. Tentu, tinggal membuangnya saja ke tong sampah. Kalau sisa makanan yang belum di sentuh, pasti masih utuh.
Apakah Bram juga kaget dan tak mengira hal itu? Sampai dia menelepon, Ibu, dan menanyakannya?
Entahlah, hatiku sendiri masih bingung dan tak bisa menerima jika Ibu mertua benar-benar sengaja melakukan itu. Sungguh suatu penghinaan, yang menurutku sangat keterlaluan, sekali.
Aku membuka, ponselku. Berniat santai dulu sebentar, karena pekerjaan rumah telah beres. Aku scrol beberapa status yang lewat di beranda fbku. Lalu aku melihat status dari kakak iparku Sarah. Dia memosting beberapa skin care, mahal. Dengan caption, "thanks, hadiahnya adik ipar. Makin bertambah rejekimu, ya."
Darahku langsung tersirap saat melihat postingan itu. Meskipun Sarah tak menyebut siapa adik iparnya yang telah memberi hadiah itu, tapi dengan aku temukannya struk pembelian di kantong celana, Bram, suamikulah yang dia maksud.
Kubaca komentar beberapa orang, menanggapai postingan Sarah.
"*Bahagianya punya adik ipar, sebaik dan perhatian begitu,"
"Iya, dong. Adik ipar teristimewa,"
"Wao, awas ada yang cemburu! "
"Amanlah itu,"
" Emang, istrinya tidak, tau?"
" Bisa apa dia, hahaha....! Wanita kampungan itu*."
Tak kulanjutkan lagi membaca, percakapan itu. Jadi skin care di struk pembelian itu adalah untuk kakak ipar. Bram, benar-benar terlalu. Bagaimana suamiku bisa begitu royal pada kakak ipar. Kalau sama Ibu mertua masih masuk akal kurasa. Sebab itu adalah baktinya pada orang tua.
Jika mau membantu kakak ipar juga tak apa, jika untuk kebutuhan dapur atau hal penting lainnya. Tapi, ini untuk beli skin care! Sebuah kebutuhan mewah, jika harganya sampai ratusan ribu.
Sementara aku sebagai istrinya, jangankan untuk beli skincare. Untuk kebutuhan dapur saja Bram sudah makin perhitungan.
Apakah Bram menyisihkan gajinya untuk kakak ipar juga, selain Ibu mertua? Mengingat, Roni, suami Sarah, yang bekerja di luar kota. Pulang hanya sekali seminggu, kadang malah sekali sebulan. Aku juga tidak tau jelas apa sebenarnya pekerjaan, Roni, sang Abang iparku itu.
Aku ingat jelas, saat baru pindah ke sini. Penampilan kakak iparku, yang sudah memiliki 2 orang anak, tidak seperti sekarang ini. Dulu dia berdandan ala kadarnya. Pakaiannya juga tidak semodis sekarang, yang selalu mengikuti trend.
Sekalipun Sarah bekerja di sebuah perusahaan swasta. Jika hanya karyawan biasa, tidak akan menunjang penampilannya dengan dua balita yang saat itu butuh banyak biaya.
Apakah, setelah kami di sini, kakak ipar mendapat jatah dari penghasilan, suamiku. Bagaimana ceritanya sampai hal itu terjadi. Lalu, jika memang itu benar adanya, mengapa Ibu mertua dan kakak ipar suka menyindirku, seorang menantu yang pelit dan durhaka.
Sementara mereka jelas telah memoroti uang suamiku.
Apakah semua itu mereka lakukan sebagai cara untuk mencuci tangan mereka, agar lepas dari kecurigaanku? Ah, entahlah. Begitu banyak rahasia yang disimpan oleh suamiku, semenjak kami tinggal di daerah Ibu.
Aku menscreenshot percakapan di area komentar itu. Untuk kujadiakan nanti sebagai bukti tambahan. Yah, sejak sekarang aku harus menyelidiki semua itu. Ada hubungan apa suamiku dengan kakak ipar? Tidak mungkin tak ada maksud tertentu dari semua itu. Entah suamiku, atau kakak ipar yang menggoda. Tidak ada salahnya aku curiga pada mereka.
Jangan sampai terjadi kejadian seperti yang viral itu. Seorang menantu tertangkap basah dengan mertuanya. Sesuatu hal di luar nalar. Tapi faktanya ada terjadi di dunia nyata Jangan sampai aku kecolongan. Aku tidak ingin sesuatu terjadi pada keluargaku. Namun, bila kenyataannya akupun telah di khianati tak ada kata maaf bagi pelaku.
Ting!
Sebuah notif di aplikasi berlambang telepon hijau masuk. Beberapa saat aku abaikan, karena merasa tak kenal nomornya.
Lalu, masuk notifikasi kedua. Kali ini tak bisa kuabaikan.
"*Hai, Ren, ini aku Sofi. Mantan tetanggamu, lo."
" Apa khabar?"
" Halo, Sofi, kamu ganti nomor, ya? Puji Tuhan khabarku baik- baik saja,"
"Syukurlah. Aku juga sehat-sehat. Maaf, ya, Ren. Bukan maksudku mau mengacaukan kamu, ya. Cuma mau ngasih tau, kamu. Semalam aku liat, Bram, di mall. Aku cuma heran saja, kok bukan kamu yang bersama, Bram*?
Lalu sebuah gambar di kirim. Foto kebersamaan ibu mertua dan kakak ipar serta suamiku saat di toko kecantikan.
"*Oh, itu kakak ipar dan ibu mertua aku, Fi. Devan lagi gak enak badan, jadi kami tidak ikut," ucapku seraya meredakan gemuruh di dadaku.
"Oh, itu kakak ipar kamu, to. Kok akrab banget. Rasanya gak pantes,lo."
" Suamiku cuma mengantar mereka, Fi."
"Tapi yang aku lihat, sikap kakak iparmu itu lo, manjanya itu. Trus, yang bayarin juga, Bram."
"Kan ada Ibu mertua aku di situ*," aku masih mencoba menepis kecurigaan, Sofi.
"Yah, udah kalau begitu. Aku cuma mau saranin, hati-hati, ya. Zaman sekarang ini, gak kakak ipar, menantu saja bisa lupa diri. Semoga saja kecurigaanku, tak terbukti.****
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 98 Episodes
Comments
Shinta Dewiana
wah...parah ini...
2024-03-08
0
Linda pransiska manalu
terimakasih dukungannya, ya.
2023-02-02
1
Dinda Putri
lanjut thoor seru ceritanya luar biasa
2023-02-02
1