Bab 12

"Seperti daun kering luruh, dimainkan angin, kadang jatuhnya dekat pohon. Kadang melayang jauuuuh membungbung tinggi di awan."

Satu kata mewakilkan sikap suamiku, sepulang kami piknik bersama rombongan tetangga.

K E S A L....!!!

Betapa tidak, saat kami pulang dari piknik, kami disambut wajah jutek suamiku. Anak-anak sampai mengkerut begitu melihat wajah papanya.

Bukannya menyambut dengan pelukan hangat karena rindu. Sisa wajah ceria mereka langsung lenyap tak berbekas.

Jika masalah kami tidak pamit, aku telah menitip pesan pada tetangga depan rumah. Bagaimana aku bisa menghubungi lewat ponsel. Ponselku saja sudah sekarat dan pada akhirnya mati sesaat kami akan pergi. Karena aku masih mencoba mengirim chat kepada suamiku, setelah berkali-kali aku gagal membangunkannya. Dengan harapan, saat dia

Masih beberapa kata aku mengetik, ponselku langsung mati dan tidak bisa aktif lagi.

Harusnya, Bram, malu. Anak istrinya harus nebeng sama tetangga untuk liburan. Secara suamiku juga punya mobil tapi kami jarang sekali naik mobil itu.

Harusnya suamiku lebih peka, kalau kami anak istrinya jarang menikmati liburan, bersamanya.

Mana aku tau kalau, Bram, akan sehsrisn di rumah. Biasanya juga dia di rumah ibu, sampai larut baru pulang. Aku tidsk menduga sama sekali, saat kami pulang suamiku telah di rumah menunggu kepulangan kami.

Katanya dia bermaksud mengajak kami liburan, juga. Lantas, kenapa tidak bilang-bilang dari awal. Mana percaya aku kalau dia murni memiliki rencana mengajak kami liburan. Kalau bukan modusnya untuk mengambil hatiku, karena semalam dia telah memper****ku. Melampiaskan hasrartnya efek dari minum alkohol.

Hatiku sangat sakit, haruskah dengan cara itu, setelah dia cekoki dirinya dengan alkohol baru dia mau menyentuh tubuhku. Egois! Belum hilang rasa kesalku, Bram juga menyampaikan pesan Ibu mertua agar aku membantunya besok, memasak untuk arisan.

Aku benar-benar tak habis pikir, setelah kejadian ibu mertua menyindirku dilanjutkan insiden sup itu. Ibu masih ada muka meminta bantuanku. Belum juga seminggu berlalu. Apa karena ibu telah mengannti sup itu, sehingga ibu merasa kalau masalah telah selesai? Oh, no. Rasanya untuk saat ini aku masih sulit untuk melupakannya.

Aku yakin ibu mertua akan kesal atas penolakanku. Bisa saja juga akan menambah daftar rasa bencinya padaku. Tapi aku sudah tak peduli semua itu. Hanya aku yang bisa membela harga diriku, tidak orang lain. Apalagi suamiku. Karena kenyataannya, suamiku tak peduli sama sekali.

Jadi, aku sedikit puas dan bangga pada diriku sendiri, karena telah berani mengatakan tidak. Menolak permintaan ibu. Apakah setelah ini akan berdatangan masalah baru, terserah. Aku sungguh tak peduli lagi.

Sejak hari dimana, aku melihat sendiri suamiku tidak bisa membela diriku saat di hina ibu mertua dan ipar-iparku. Sejak itu aku berjanji pada diri sendiri. Untuk tidsk peduli lagi pada keluarga suamiku. Bahkan aku sudah mempersiapkan kemungkinan yang terburuk, jikalau kami nantinya harus berpisah.

Bagiku lebih baik terlepas dari keluarga toxic itu, daripada bertahan tapi membuat mental kedua anakku terganggu. Tapi aku tidak pergi begitu saja. Aku harus benar-benar memiliki pegangan, minimal tabungan yang kusisihkan untuk pembangunan rumah. Juga tabungan anak-anak harus bisa aku kuasai dulu. Jika perlu tanah yang kaplingan itu juga harus ada ditanganku. Pelunasannya tinggal beberapa bulan lagi. Sampapi hari itu, aku harus bisa bermain cantik.

Soal rumah yang kami tempati ini, adalah rumah ibu.Kami mengontrak rumah ibu selama ini. Aku tidak pernah tau berapa uang kontrak rumah ini. Bram, tidak pernah melibatkanku.

Dari sekarang aku memang aku harus pintar bersikap. Biarlah mereka menganggapku bodoh.

Keesokan harinya, masih pagi-pagi sekali. Saat itu aku tengah memasak sarapan untuk keluargaku. Aku mendengar teriakan orang memanggil-manggil dari luar. Awalnya kukira Bu Rani. Ketika aku membuka pintu ternyata ibu mertua yang datang.

"Reny, ibu mohon, Nak. Bantu dulu ibu memasak. Ibu sudah tidak tau mau minta tolong sama siapa. Bu Ratmi, tetangga ibu mendadak sakit. Padahal dia sudah ibu bayar," seru ibu memelas. Nampak sekali kalau ibu mertua panik.

"Tapi maaf, Bu. Reny juga ada pekerjaan. Yang tidak bisa Reny, tinggalkan," tolakku halus. Diam- diam aku memang memasak makanan kecil, keripik sambal singkong. Yang kutitip ke warung.

"Kamu kerja apa dan di mana? Biar ibu bayar waktumu satu hari ini. Ibu, minta tolong, nak Reny. Kamu taulah 'kan, Sarah, tak bisa ibu andalkan. Apa lagi, Ines, dengan perut buncitnya, itu," suara ibu mertua makin memelas.

Sebenarnya aku kasihan juga dan tak tega menolak. Seandainya sikap ibu baik padaku. Beliau tak perlu memohon seperti ini padaku. Tapi mengingat semua perlakuannya, hatiku mengeras sekeras karang.

"Berapa ibu akan bayar waktuku," ucapku datar.

"Maksudmu?" ibu balik tanya.

"Tadi'kan ibu ngomong, akan membayar aku untuk memasak itu?"

"Egh....Anu....Ini...." ibu tergagap seraya menyelipkan uang ke tanganku. Kuterima uang itu tanpa ekspresi. Sementara ibu mertua menatapku seolah tak percaya.

"Baiklah, Bu.Ibu, oulang dulu. Bentar lagi aku datang, setelah anak- anak berangkat sekolah," ucapku lagi.

"Eh, iiiya. Ibu pamit dulu," ucap ibu mertua buru- buru pergi. Aku menatap kepergian ibu sebentar. Lalu aku mengunci kembali pintu rumah. Saat aku berbalik, Bram, suamiku telah berdiri di belakangku.

"Tadi ibu datang, ya, Dek?" tanyanya dengan mata masih terkantuk.

"Iya, Bang. orang yang ibu sewa untuk bantu ibu, memasak mendadak sakit," jelasku singkat dan aku kembali ke dapur.

"Jadi, ibu meminta bantuanmu?"

"Iya, Ibu membayar tenagaku seharian ini."

" Maksudmu, Dek?"

" Aku bekerja sama, Ibu."

"Kamu, mau!? Keterlaluan sekali kamu, Dek!"

"Apanya yang keterlaluan, Bang. Wong Ibu yang nawarin. Sayang di tolak, lagian aku butuh uang itu. Karena uang belanja yang, abang berikan hanya cukup untuk besok." Sahutku tanpa menunggu lagi jawaban, Bram. Aku melanjutkan langkahku ke dapur. Menyelesaikan pekerjaanku yang tertunda tadi, karena kedatangan ibu.

Entah bagaimana ekspresi wajah ,Bram, sepeninggalku. Aku yakin ucapanku itu akan menohok tepat di jantungnya. Peduli amat dengan perasaannya.

Aku menghitung uang pemberian ibu. 5 lembar uang merah. Setitik air mata, jatuh dipipiku. Bukan ini yang ku mau, tapi terpaksa kujalani. Aku hanya ingin mereka mau menghargaiku. Bila terpaksa dengan cara seperti ini, kuikuti saja alurnya.

Setelah anak-anak pergi sekolah, akupun bersiap hendak pergi. Bram, menawarkan untuk mengantarku ke rumah ibu. Tapi aku menolak dengan alasan jaraknya tidak terlalu jauh. Lagi pula, kantor dan rumah ibu mertua tidak searah.

Bram tidak memaksakan lagi. Sepanjang pagi aku melihat suamiku lebih banyak diam. Saat sarapanpun dia tidak protes. Padahal aku tau, lauk yang kumasak itu, bukan seleranya. Suamiku menikmati sarapannya dalam diam.****

Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!