Bab 3

Di mana tempat bersandar, kala hati rapuh. Yang kuharap, senyumulah pelipur laraku.

Hampir tengah malam, Bram, suamiku baru pulang dari rumah Ibu mertua. Anak-anak sudah tidur pulas di kamar mereka. Bram menenteng kantongan di tangannya, dan memberikannya padaku

"Ini, tadi Ibu membungkus makanan. Untuk Devan dan Mitha," ucapnya tenang seolah tak pernah ada kejadian apa-apa. "Kamu itu dek, kenapa sih selalu melawan sama Ibu," sambungnya lagi, sambil duduk di kursi membuka sepatu.

Langkahku yang menuju dapur, terhenti mendengar ucapan suamiku.

"Maksud Abang, melawan kenapa? Apakah aku harus diam saja saat disindir dan disalahkan?"

"Kamu 'kan tau, Ibu bagaimana. Jangan diambil hatilah ucapannya."

"Menyebut aku menantu durhaka, harus aku diamkan begitu saja, ya, Bang?! Atas dasar apa Ibu menyebutku menantu durhaka, masih kurang apa, ya, ibu menyabotase gajimu setiap bulan. Seolah kami anak istrimu tidak butuh biaya hidup! Apa Ibu tak mikir, kita punya dua anak, sementara Ibu, hanya tinggal sendiri. Masih ada, Bang Rio dan Doly yang bisa bantu ibu juga."

"Tuh, kan. Aku masih ngomong sedikit, kamu sudah nyasar kemana-mana,"

"Aku memang tak habis pikir, Bang. Kamu itu sudah jauh berubah. Tak perduli sama sekali sama keluargamu. Abang dengar semua ucapan Ibu dan kakak ipar, juga Doly. Namun, apa reaksimu tadi, tidak ada 'kan? Mereka seenaknya bicara karena, Abang, membiarkan itu terjadi," nafasku tersenggal usai bicara saking menahan emosi.

"Apa wajar, seorang suami membiarkan keluarganya pulang duluan, sebelum acara makan malam. Namanya acara keluarga, lalu buat apa saling sindir bicara menyakitkan. Aku, tau aku dari keluarga miskin, tapi siapapun tak berhak menghinaku. Apalagi keluargaku," isakku tak dapat menahan perih.

"Jika kamu sadar dari keluarga miskin, harusnya kamu lebih tau diri jugalah. Jangan banyak tingkah. Masih syukur aku mau memperistri kamu."

"Maksud Abang apa? Abang menyesal, ya, telah menikahi aku? Apa Abang lupa, siapa yang dulu ngejar-ngejar aku. Aku tidak pernah membohongi, Abang, soal keadaanku," beliakku kaget. Benar-benar tak menduga ucapan suamiku.

"Iya, aku menyesal. Karena kamu tak pernah mampu menyesuaikan diri kamu dengan diriku. Kamu selalu kumal, tidak modis, membuatku malu,"

"Apa? " seruku tak berdaya, seolah tulang- tulangku dilolosi dari dagingnya. Aku terduduk di atas kursi. Ya, Tuhan. Benarkah apa yang barusan aku dengar tadi. Aku istri yang kumal dan tidak modis. Suamiku malu dan menyesal telah menjadikan aku istrinya. Kenapa sekarang? Setelah kami punya dua anak.

Penampilanku memang sederhana, tapi tidak juga kumal. Aku memang suka dasteran di rumah. Kalau keluar rumah, aku juga masih memakai pakaian yang pantas.

Memang aku tidak pernah pakai rok mini, atau gaun di atas lutut. Juga pakaian seksi. Semua itu tak membuatku nyaman dan merasa risih. Aku tidak menghujat mereka yang suka pakaian seksi.

Itu, masing-masing selera orang.

"Jadi, abang ingin aku merubah penampilanku, ya? Ingin berpakaian seperti kakak ipar, Sarah, yang selalu kekurangan bahan, begitu? Bersolek terus seperti seorang model. Bukan aku gak sanggup lakukan itu, Bang."

"Lalu kenapa kamu tidak bisa seperti, mereka?"

"Hahaha...." tawaku langsung meledak, sampai air mata keluar dari mataku. Kulihat tatapan, Bram, suamiku seolah kebingungan.

"Abang benar-benar suami tak tahu diri! Abang menuntutku lebih dari kemampuanmu. Semua itu butuh modal, Bang. Sementara gajimu telah kamu bagi-bagi untuk keluargamu. Yang tersisa pada kami hanya, remah-remahnya. Entah di mana otakmu," semburku garang. Aku sadar ucapanku akan memicu pertengkaran. Tapi cukup penghinaan yang mereka lakukan padaku.

"Kamu ini! Dibilangin malah membela diri terus. Adalah kewajibanku menafkahi ibuku. Karena surgaku ada di bawah telapak kaki ibuku," dengusnya dengan sorot mata tajam.

"Kamu tidak akan pernah layak mendapatkan surga itu, Bang. Selagi keluargamu, anak, dan istrimu kamu zolimi." sahutku tegas.

"Jika abang memang ingin aku berubah, lalu abang ingin aku seperti apa? Berpakaian seperti apa? Berdandan seperti apa? Oke, aku turuti kemauanmu, Bang. Tapi semua itu butuh dana. Tinggal abang beri aku uang, maka aku Reny, anak orang miskin dari kampung ini. Dalam sekejap akan berubah jadi Cindrella. Hahaha... Karena wajahku tidak jelek-jelek amat. Bagaimana, Bang. Beri adek uang Bang!" sosorku seperti orang gila saja. Bahkan aku berjalan melenggak lenggok bak pragawati di depan, Bram.

Sejenak kulihat pandangannya berubah. Namun, sulit bagiku mengartikan makna tatapan itu.

"Gila kau!" umpatnya kesal. Seraya berdiri masuk ke kamar.

"Kenapa, Bang? Hanya makian itu jawabanmu? Bicaralah yang jelas, jangan hanya menuntutku, tapi abang tidak mau berkorban. Itu egois, munafik!" seruku makin kalap. Aku benar- benar kecewa dengan sikapnya. Bram menuntutku banyak hal, tapi tidak mau memberikan solusi agar tuntutuannya terpenuhi. Seenak udelnya saja memprotes penampilanku, tapi dia pelit soal uang pada istrinya. Dulunya royal, sekarang ogah membiayai rumah tangganya.

"Apakah hatimu telah mendua, Bang?" celetuk hatiku dalam diam.

Berlalu ke dapur, memasukkan kantong kresek ke dalam kulkas. Besok saja makanan itu aku panaskan. Aku benar-benar sakit hati dengan semua perlakuan suamiku. Kupikir, suamikulah tempat aku bersandar dari lelahnya hidup ini. Tempat melabuhkan keluh, dari setiap situasi yang aku hadapi. Nyatanya.***

Terpopuler

Comments

Rini Musrini

Rini Musrini

dasar bram istri suruh modis tp gk mau ngasih modal .

2023-05-18

0

lihat semua
Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!