Bab 2

Bila hati telah terluka, rasa apakah yang tersisa, lagi.

Terus terang aku, aku kaget sendiri dengan sikapku. Bisa-bisanya aku segarang itu, melawan suamiku. Selama ini aku selalu diam dan mengalah. Semua kekecewaanku akan kulampiaskan di atas bantal. Menangis diam- diam, meratapi nasibku.

Aku yang dianggap sebelah mata oleh mertuaku dan juga kakak dan adik iparku. Suamiku juga yang seolah tutup mata selama ini. Sikapnya yang perlahan berubah, dan selalu mengabaikan setiap keluhanku, tentang sikap mereka. Menyuruhku bersabar, dan bersabar terus tanpa pernah ada solusi.

Awal pernikahan kami sangat begitu, manis. Seperti pasangan muda pada umumnya, selalu mesra, menempel terus. Apalagi saat suamiku naik jabatan, otomatis keuangan kamipun tentu makin baik. Ditambah kehadiran putra pertama kami, Devan. Disusul ,Mitha putriku. Jarak lshir mereka 3 tahun. Makin lengkaplah kebahagian kami.

Namun, seiring waktu berlalu. Setelah di tempat baru, aku mulai merasakan ada perubahan sikap dari suamiku. Tepatnya setelah kelahiran putriku, Mitha. Berarti, itu sejak kepindahan kami ke daerah ibu.

Awalnya adalah kesibukan, Bram, dengan pekerjaan barunya. Bersamaan dengan dengan kerepotanku yang mengurus dua anak balita. Bram, setiap kali pulang kerja, mengaku selalu kelelahan. Aku juga yang benar-benar kelelahan luput memperhatikan kebutuhan bathin suamiku.

Tidak jarang aku menolak, atau terkadang saat kami tengah bersama, suara tangisan anak, menyudahi permainan kami. Lama-lama, Bram, malas minta jatahnya.

Bukan hanya perubahan soal ranjang, urusan dapur pun ternyata tergerus juga. Ketika tiap bulan uang belanja semakin menipis, saat aku protes selalu saja ada alasannya menutupi kebocoran itu.

"Bang, bagaimana aku bisa mengatur uang, segini untuk kebutuhan kita sebulan?" protesku saat kulihat uang dalam amplop coklat itu makin menipis. Berharap suamiku akan menambah uang belanja.

"Kamu ini, Dek. Benar-benar istri yang tidak pandai bersyukur. Harusnya kamu itu sadar diri, mendapatkan suami seperti aku. Kamu itu selalu nyusahin suami, bersyukurlah aku tidak menuntutmu kerja, ini malah bertingkah lagi!" sentak suamiku kasar. Sudah menjadi kebiasaannya sekarang, sedikit aku protes, emosi nya langsung kumat.

"Bagiamana, aku mau membagi uang ini, Bang. Untuk uang sekolah, Devan dan Mitha. Tabungan sekolah mereka. Uang listrik dan air, belum lagi cicilan tanah kapling itu," jelasku panjang lebar.

"Makanya kamu harus berhemat, Dek. Sekarang apa-apa mahal."

"Abang sadar kalo sekarang semua serba mahal, lalu kenapa gaji abang tiap bulan abang sunat? Sebenarnya berapa sih gajimu, Bang? Abang tidak pernah jujur."

"Kamu ini jangan lancang, ya. Kamu syukurin saja, kamu bisa enak-enak tinggal di rumah. Makan gaji buta suami."

"Abang terlalu, jadi semua yang aku lakukan di rumah ini tak artinya bagimu ya, Bang," ucapku tercekat. Sebisa mungkin aku mencoba menahan, jangan sampai air mataku luruh. Tapi suaraku sungguh tak bisa diajak kerja sama."

"Nangis, trus. Dasar cengeng!"

"Bukankah Abang yang menyuruhku, berhenti kerja? Lagian, berapa gaji Abang yang sebenarnya. Abang tidak pernah jujur samaku. Dulu, Abang memberiku 7 atau 8 juta tiap bulan. Uang itu aku simpan setelah dipotong uang belanja. Kenapa sejak kita pindah ke sini, Abang tidak pernah jujur lagi dengan gaji, Abang. Tiap bulan jumlahnya Abang potong, tanpa ada penjelasan," protesku emosi.

Bram, suamiku terdiam sejenak saat mendengar ucapanku. Kami sudah sepakat awalnya, bahwa uang belanja sengaja dilebihkan jumlahnya untuk disimpan. Karena kami berencana membangun rumah, yang tanahnya telah kami cicil.

Lalu, kenapa semua berubah tiba-tiba tanpa ada penjelasan. Toh, aku tidak boros dalam mengelola keuangan. Kalaupun suamiku mau memberikan uang pada ibu mertua, aku tidak akan keberatan, asal suamiku jujur melakukannya. Artinya, atas sepengetahuanku. Karena ibu mertua yang sudah menjanda wajar kami bantu, sekalipun ibu mertua memiliki uang pensiun dari almarhum bapak mertua.

"Ya, aku kasih sebagian gajiku, sama Ibu. Kenapa, kamu keberatan. Dia itu ibuku, ibu yang telah melahirkanku dan menjadikan aku berhasil seperti ini. Jadi, kamu yang adalah orang lain, yang kebetulan jadi istriku, tidak berhak melarangku!" tindasnya. Membuatku sangat terkejut, atas penjelasannya.

"Ya, Tuhan. Siapa yang keberatan, Bang. Jika Abang memberikan sebagian gaji Abang untuk, Ibu. Yang aku sesalkan, kenapa dengan seperti ini, Abang membohongiku. Abang tidak berembug dulu denganku," sahutku dengan uraian air mata. Ucapan suamiku yang mengatakan aku adalah orang lain, yang kebetulan jadi istrinya itu sangat menyakitkan, hatiku. Aku tak percaya, bagaimana kata-kata itu sampai terucap dari mulut orang yang sangat aku cintai itu?

"Apa memang semua harus aku laporin sama kamu, aku berhak punya privacy meski kamu istriku." Kibas suamiku sambil keluar dari kamar. Tidak berusaha menenangkanku apalagi membujukku. Kuseka air mataku, karena percuma saja menangis, malah nanti kepergok kedua anakku. Aku terkadang kewalahan menghadapi sifat kritis mereka.

Sejak saat itulah, suamiku benar- benar berubah. Dia mulai acuh dan tak perduli lagi pada keluarganya. Suamiku lebih sering mengahabiskan waktunya di rumah mertua. Pulang lebih larut dari kebiasaannya.

Berkali-kali aku protes, sikapnya dan itu menjadi pemicu pertengkaran di dalam rumah tanggaku.

Belum lagi, sindiran ibu mertua dan kakak ipar setiap kali aku datang bertamu ke rumah mertua. Dari sikap dan ucapan mereka, aku menarik kesimpulan. Berubahnya suamiku karena hasutan dan pengaruh mereka.

Seperti hari ini, saat kami memenuhi undangan ibu, untuk kumpul bersama di rumah ibu mertua.

Ibu memulai membuka topik, saat kami duduk santai menunggu acara makan malam. Aku yang sedari tadi sibuk memasak di dapur, ikutan nimbrung setelah pekerjaan di dapur beres.

Awalnya ibu bicara hal yang ringan-ringan saja. Bahkan aku masih menimpali sesekali. Tapi ujung-ujungnya ucapan ibu merembet ke hal lain.

"Nak Sarah, kalau kamu itu ingin diperlakukan baik oleh suami kamu, ya, kamu itu harus patuh sama suami. Jangan suka melawan suami, atau protes kalau suamimu memberikan sebagian penghasilannya pada, ibu. Karena anak yang berbakti pada orangtua itu, akan selalu dapat, ridho," sindir ibu mertuaku.

"Aduh Ibu, saya 'kan selalu kasih izin Bang Rio, ngasih duit sama ibu. Tidak seperti mantu ibu yang satu itu, tuh.," sahut Sarah sang kakak ipar. Jelas sekali ucapan itu digiring ke arahku.Aku hanya diam, mengabaikan saja ucapan mereka.

"Itulah, kalau memang manusia tak punya hati, degil. Tak akan pernah dapat ridhonya orang tua," sahut ibu mertuaku ketus. Wajahku memerah, mataku berembun mendengar sindiran itu.

Apalagi perkataan ibu itu, diucapakan di acara kumpul keluarga. Jadi semua mendengarnya, termasuk suamiku. Aku, bertemu pandang dengan suamiku, Bram. Berharap dia akan membela atau menetralisir keadaan. Tapi, dia langsung membuang muka.

"Maksud ibu siapa sih? Memang siapa yang protes, kalau kami anak-anak ibu, memberikan uang pada ibu? Itu kan bakti kami, sama Ibu," sahut adik iparku, Doly. Tatapannya tajam tertuju ke arahku.

"Siapa lagi, cuma satu orang mantu ibu, yang durhaka," tohok ibu mertua mengarahkan pandangannya padaku. Otomatis semua mata tertuju padaku. Aku jadi gelagapan, dipandangi seperti itu.

"Maksud ibu, saya?" tanyaku merasa bodoh."

Suamiku bersaudara hanya 3 orang, lelaki semua.

Yang paling besar, Rio dan istrinya Sarah yang menjadi kakak iparku. Anaknya dua orang, Martin dan Vicky. Si bungsu Doly dan istrinya Ines, yang tengah hamil tua. Suamiku, Bram, anak tengah dan aku istrinya, Reny.

"Hem, kok merasa, ya. Baguslah, kalau kamu tau diri juga," sahut Ibu mertua pedas.

"Reny tidak pernah keberatan, Bang Bram memberi uang, sama Ibu. Tapi, Abang tak pernah memberi penjelasan, taunya uang belanja kami di potong, Bu. Kalau saja, Abang, jujur dari awal dan menjelaskan semuanya,...."

"Alah, alasan saja. Dasar kamu memang perhitungan sama, Ibu," tukas kak Sarah memotong ucapanku.

"Lagian buat apa di jelasin segala, itu kan uang anakku. Hak dia dong mau ngasih ke Ibunya berapa. Kenapa mesti minta izin segala. Emang kamu siapa? Udah dari keluarga miskin, masih banyak tingkah," hina Ibu mertuaku tajam.

Tak ayal lagi, air mataku tumpah diwajahku mendengar hinaan mertuaku. Terlebih suamiku ysng seolah tutup mata. Tak memberi pembelaan pada aku istrinya. Malah membiarkan begitu saja keluarganya menggempurku dengan hinaan.

"Alah, gitu saja nangis. Cengang amat sih jadi perempuan," seru Sarah, kakak iparku.

"Tau, tuh. Bram, tengok nih, istri kamu. Bisanya cuma nangis," seru Ibu mertua, pada Bram yang asyik dengan ponsel di tangannya.

"Ah, sudahlah, Bu. Bisanya cuma menangis, aja," ucap Bram, tanpa mengalihkan matanya dari ponsel.

"Nenek, jahat! Selalu membuat mamaku menangis," ucap Devan tiba-tiba sudah berdiri di depanku. Buru-buru aku mengusap air mataku.

"Eh, Devan. Mama gak nangis kok, cuma kelilipan," ucapku.

"Ma, ayo pulang, yuk," rengeknya seraya menarik tanganku. Sepertinya anak lanangku ini telah mengerti kalau mamanya tengah dibully. Umurnya sudah 9 tahun, tentu sudah cukup paham saat melihat situasi dan suasana yang kualami.

"Bentar lagi ya, nak," ucapku untuk sekedar menenangkannya. Padahal, sedari tadi aku sudah ingin menghilang saja.

"Sekarang ajalah, ma. Ngapain tunggu nanti. Pa, ayo pulang, Pa," seru Devan mendatangi papanya yang masih asyik dengan ponselnya.

"Eh, kalau mau pulang silahkan saja pulang duluan. Tak ada yang rugi," ucap Ibu mertuaku acuh.

"Kalau mau pulang, ya, pulang. Anak sama ibunya sama aja, gak ada akhlak," cerocos Sarah menatap sinis padaku.

"Kak, jangan asal bicara gitu, Kak. Apa hubungannya dengan, Devan. Dia masih anak- anak," ucapku membantah. Tak terima putraku di tuduh seolah anak yang kurang ajar.

"Masih membela juga? Itu memang berkat ajaranmu 'kan. Masih anak kecil, berani mencampuri urusan orang tua, gak ada sopannya sama sekali," rungut Ibu mertua.

"Dia memang masih kecil. Tapi, dia tau membela harga diri Ibunya. Tidak seperti, Bapaknya, yang membiarkan istrinya di tindas. Dasar keluarga toxic." seruku. Lalu, menyeret ke dua buah hatiku pulang.

Tak kupedulikan pandangan mereka semua atas ucapanku barusan. Apalagi ibu mertua, yang mulutnya membulat, ternganga mendengar ucapanku. Begitu juga Sarah dan suamiku.

Sebelum sempat mereka bereaksi, kuajak kedua anakku, pulang.

Padahal, sebentar lagi acara keluarga untuk makan bersama akan mulai. Tinggal menunggu, Ines, adik ipar pulang kerja juga Rio.

Tidak seorangpun yang mencoba menahan langkahku. Tidak, mertuaku, apalagi suamiku. Dia diam saja, saat Mitha menjerit menangis, dipaksa pulang. Karena katanya dia mau makan dulu, karena ada sop kesukaannya yang telah aku masak.

Ya, sedari sore tadi aku sendiri telah menyiapkan, semua masakan untuk acara makan bersama. Yang kerap dilakukan di akhir pekan. Semua bahan memang telah disiapkan Ibu mertua. Aku hanya tinggal memasak. Tanpa bantuan, Ibu mertua atau Kakak ipar.

Sepertinya, memang mereka sengaja mencari topik obrolan menyindirku. Sehingga aku terpicu emosi, dan sakit hati. Sehingga tidak turut makan bersama, menikmati masakan yang aku masak. Itulah pikiran terburukku.

"Mama, kenapa kita pulang duluan. Mitha 'kan belum makan sop yang Mama masak tadi?" ucap putriku dengan wajah memelas. Hatiku serasa dipilin, perih.

"Bagaimana kalo kita makan mie sopnya, wak Kumis?" tawarku mencoba mengobati kekecewaan putriku.

"Emang, Mama punya duit?" tanya Devan, seraya menatapku diikuti pandangan, Mitha.

"Ada, dong, nih," ucapku mengeluarkan selembar uang merah dari kantong celanaku.

"Wao! Mama punya uang merah," seru Mitha girang. Berbeda dengan wajah Devan, yang tampak lesu.

"Kenapa, Van? Gak suka mie sop, ya? Bakso juga boleh, kok," tawarku.

"Mama benar-benar punya duit, ya?"

"Iya, Nak. Kalo gak ada, mana berani Mama ngajak kalian jajan," seruku.

"Oke, Ma. Devan minta bakso saja."

Aku langsung memanggil becak, yang banyak parkir di ujung gang menuju rumah mertua. Setelah tawar menawar ongkos, kami segera meluncur ke tempat tujuan. Warung mie sop dan bakso Pak Kumis yang terkenal dan laris.

Biarlah, uang belanja dapur aku sunat. Asal bisa memberi kebahagian dan mengobati kekecewaan mereka

Terpopuler

Comments

Lena Sari

Lena Sari

kamu laki apa perempuan sih Bram???mbok ya d belain dong ibu anak2 mu.

2023-06-03

0

Rini Musrini

Rini Musrini

ikut sedih
braaam.... kamu kig diam saja , istri sm anak d sindir d marahin gk ada pembelaan .

2023-05-18

0

mis FDR

mis FDR

semangat kk, kak tolong mmpir di karya aku juga ya kk, judul nya Faros revenge 🙏

2023-02-19

1

lihat semua
Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!