Bab 4

Saat lelahmu tak dihargai, dirimu tak dianggap. Haruskah air mata yang bicara?

Pagi-pagi sekali aku terjaga dari tidurku. Aku melirik jam yang tergantung di dinding, menunjukkan angka 3;30. Ah, gegara mimpi buruk aku terjaga dari tidurku. Kutatap wajah pulas suamiku dengan dengkuran halusnya di sebelahku. Tidurnya begitu damai, seolah tak ada beban.

Berbanding terbalik dengan diriku yang tidak bisa tidur lelap. Selalu dihantui mimpi yang sama. Entah apa arti dari mimpi itu. Dalam mimpiku, aku melihat suamiku seperti dililit sejenis akar yang merambat. Dia selalu berusaha membuka belitan akar itu. Saat aku mencoba menolongnya, saat itulah ibu mertua dan saudaranya menarik suamiku, dan membawanya pergi.

Aku sangat bingung apa makna yang terkandung dalam mimpiku itu. Ada yang bilang mimpi itu hanya bunga tidur, jadi jangan kepikiran apa maknanya.

Namun, bila datangnya mimpi itu selalu berulang dengan cerita yang sama. Bukankah itu sebuah pertanda?

Aku bergegas bangkit dari pembaringan. Percuma saja tiduran, karena mataku sudah tak bisa diajak kompromi. Mending aku bangun saja dan beres-beres di dapur. Mana cucianku sudah menumpuk, karena semalam tidak sempat nyuci, karena ke rumah mertua.

Aku mengumpulkan kain kotor, untuk kurendam di ember cucian. Satu persatu kain kotor itu kumasukkan ke ember, memisahkan kain yang mudah luntur. Saat aku hendak merendam celana suamiku, aku melihat kertas mungil keluar sedikit dari kantong celananya.

Kutarik kertas mungil itu, ternyata struk pembelian dari salah satu mall di kotaku. Rinciannya sungguh mencengangkan aku. Total belanjanya sampai sejutaan. Aku menelan salivaku dengan susah payah, saat melihat daftar belanjaan itu. Barang-barang itu bukanlah kebutuhan untuk seorang pria.

Daftar belajaan itu, berupa skin care, susu, dan makanan camilan lainnya. Totalnya sampai sejutaan lebih itu untuk siapa? Apa untuk ibu mertua, atau suamiku punya selingkuhan?

Kalau ditilik dari tingkahnya yang berubah drastis, aku memang meragukan kalau suamiku tidak selingkuh. Tapi karena tidak adanya bukti yang kutemukan, aku tak berani mengajukan kecurigaanku. Belum lagi sikap keluarga suamiku yang seolah memusuhiku, ataukah sengaja mereka bersikap seperti itu untuk menyakitiku. Agar aku tidak bertahan karena mereka memiliki rencana?

Ah, entahlah. Jika mereka memang berniat menyingkirkan aku dari sisi, Bram, suamiku. Astaga! Apa yang harus aku lakukan. Bagaimana dengan masa depan kedua anakku?

Segera kusimpan struk belanja itu. Akan kujadikan bukti suatu saat bila diperlukan. Mulai dari sekarang aku harus lebih tau dengan sepak terjang suamiku dan keluarganya.

Jangan mereka kira aku bodoh dan mudah di bodohi. Sekalipun aku adalah anak orang miskin, mereka tak berhak menghinaku.

Entah kenapa, tak ada bulir air mata jatuh di pipiku. Sepertinya hatiku beku, karena penghianatan itu. Yah, aku sebut itu penghianatan. Karena suamiku, mengeluarkan uang sampai 1 jutaan tapi bukan untuk keluarganya.

Sedang kepada kami dia sangat perhitungan, tapi pada orang entah siapapun itu dia begitu royal. Tidak mungkin suamiku mengantongi struk belanjaan jika bukan dia yang membayar.

Mengingat tanggal dan jam yang tertera dalam struk itu, kejadiannya adalah semalam. Mungkinkah, seusai acara makan malam, mereka lanjutkan jalan- jalan di mall. Suamiku yang jadi bandar, dan mereka pergi tanpa kami anak istrinya. Tega benar!

Jadi, dugaanku soal kakak ipar dan Ibu mertua yang menyindirku adalah konspirasi, agar kami tidak ikut dan mereka bebas pergi.

Segera kuselesaikan cucianku, setelah itu aku berencana memanaskan sup dan beberapa lauk sisa yang di bawakan suamiku, dari rumah mertua. Kalau mengingat perlakuan mereka, sungguh aku tak ingin menerima lauk titipan itu.

Jika mereka memang iklas agar kami turut menikmati acara makan bersama itu, kenapa harus ada insiden itu. Apakah ibu mertua merasa menyesal, sehingga menitipkan lauk itu untuk cucu-cucunya?

Aku mengambil panci untuk memanaskan sup, lalu mengambil bungkusan kresek dari kulkas. Kubuka satu persatu bungkusan itu.

Mataku membulat sempurna, saat menuang kuah sup ke panci. Ternyata isinya hanya tulang belulang, tak ada daging sama sekali yang menempel. Padahal aku yang masak, tulang supnya penuh dengan daging.

Kubuka bungkusan lain, rendang ayam, yang dagingnya sudah disuir- suir tak utuh lagi. Lalu bungkus satunya, sambal ikan gurami, semua potongan kepalanya dan dagingnya juga sudah diambil habis.

"Penghinaan macam apalagi ini?" ucapku penuh sesak. Jadi, ibu mertua sengaja memberi sisa makanan ini, yang benar-benar sisa bekas makan mereka. Bukan sisa, yang belum di sentuh.

Ibu mertua tega benar, melakukan ini. Dia anggap apa kami. Kucing? Yang pantas makan sisa makanan.

"Baiklah, akan kutunjukkan semua makanan ini, pada suamiku. Entah bagaimana nanti reaksinya, aku ingin lihat," gumanku. Lalu kupindahkan semua makanan itu ke piring . Akan kuhidangkan kepada suamiku, sebagai sarapan paginya.

Untuk anak-anak, aku memasak telur dadar dan kusembunyikan di lemari makan.

Jam telah menunjukkan angka 6, aku membangunkan Devan dan Mitha. Supaya bergegas mandi untuk berangkat ke sekolah. Tanpa drama keduanya langsung pergi mandi, dan sarapan.

Sengaja aku membawa sarapan mereka ke ruang tamu, agar mereka tak melihat apa yang terhidang di atas meja. Tanpa curiga, mereka makan dengan lahap, karena kedua anakku sangat suka dengan telur dadar buatan, ibunya.

Suamiku baru terjaga dari tidurnya, setelah anak- anak selesai sarapan. Mereka telah bersiap hendak pergi sekolah. Karena jarak sekolah dari rumah dekat, jadi tidak aku antar.

"Pa, Devan, berangkat, ya." ucap Devan seraya menyalam dan mencium punggung tangan papanya. Diikuti Mitha adiknya, lalu mencium melakukan hal sama juga padaku. Kubekali mereka dengan uang jajan.

Setelah anak-anak pergi, suamiku pun pergi mandi dan bersiap ke kantor. Akupun pergi menjemur pakaian, setelah sebelumnya menyiapkan kopi, di atas meja.

Baru beberapa helai baju yang aku jemur, tiba-tiba aku mendengar panggilan suamiku dari dalam rumah. Bergegas aku masuk rumah. Kulihat, Bang Bram telah berdiri di sisi meja makan. Tangannya berkacak di pinggang, paras wajahnya memerah.

"Ada apa, Bang?" sahutku datar, pura-pura bodoh.

"Kamu ini, Dek. Keterlaluan amat, masak semua makanan ini hanya tinggal tulang. Tak kira-kira nyisain sama, Abang," deliknya dengan tajam menahan marah.

"Oh, soal itu. Seharusnya aku yang bertanya, masak, Abang, tega bawa makanan itu ke rumah. Makanan itu pantasnya buat kucing atau anjing!" seruku datar.

"Maksudmu apa, Dek? Makanan itu pemberian, Ibu, masak kalian habiskan langsung," protesnya belum menyadari apa yang terjadi.

"Oh, jadi, Ibu, mengangap kita layaknya binatang. Makanya diberi makanan sisa kek gini. Terlalu!" semburku menahan geram.

"Hei, jaga ucapanmu, Dek! Bilang saja kamu telah habiskan semua makanan ini, dasar rakus."

"Jadi, Abang tidak percaya ' kan, kalau Ibu memberi makanan ini semua. Sudah jelas Ibu sangat keterlaluan seperti ini, Abang masih membela, Ibu!" ***

Terpopuler

Comments

Shinta Dewiana

Shinta Dewiana

mirisnya...makanan bekas...🤮

2024-03-08

0

lihat semua
Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!