Seseorang itu akan kuat, apabila diuji percobaan, pada akhirnya.
"Dek, besok ada acara keluarga di rumah ibu. Kita disuruh datang ke sana," aku memalingkan pandanganku dari layar ponsel saat mendengar ucapan suamiku, Bram.
"Iya Bang," sahutku singkat, lalu kembali fokus pada layar ponsel. Karena aku tengah membaca salah satu novel penulis favoritku. Selain karena malas untuk menanggapi ucapan suamiku. Aku juga sedikit tak suka untuk datang berkumpul ke rumah mertua. Kapok tepatnya.
Karena setiap kali ada acara kumpul keluarga, situasi itu akan membuatku tak nyaman.
"Kok cuma iya, Dek?" protes suamiku karena sahutan singkat dariku. Aku pura- pura mengabaikan ucapannya. Mataku terus menatap layar ponsel. Ternyata suamiku tak suka diperlakukan seperti itu.
"Dek! Bisa gak sebentar saja ponselnya dimatikan. Ngomong sama suami gak ada sopannya," gerutunya mangkel.
"Apa lagi sih, Bang. Sudah aku iyakannya 'kan?" Dengkusku dengan suara yang naik setengah oktaf. Bola mata berwarna sedikit kecoklatan itu, membulat sempurna saat mendengar ucapanku. Tapi aku cuek saja, seolah semua itu wajar.
"Kamu ini, Dek? Lama-lama makin kurang ajar saja!" Sentaknya langsung berdiri dari kursi yang ia duduki. Sambil berkacak pinggang dengan jari telunjuk menuding ke arahku.
Aku tetap acuh, walau ada sedikit rasa gentar di hatiku, saat melihat suamiku yang terpicu emosi, karena ulahku. Aku berusaha tenang. Suaraku yang naik setengah oktaf dia balas dengan tiga oktaf.
Dahlah, aku sudah terbiasa dengan suara kerasnya, belum lagi dengan kekerasan hatinya. Sepuluh tahun pernikahan kami, selalu saja seperti menginjak bara api.
Salah satu dari kami akan mudah tersulut atau terpicu emosi, setiap kali membicarakan sesuatu.
Ini bukan kali pertama kami bersitegang hanya karena masalah sepele. Sebenarnya bukan masalah sepele. Hanya, karena aku terlalu sering disepelekan, sehingga aku juga, membalas pada akhirnya.
Seperti menyimpan bom waktu, suatu saat akan meledak bila waktunya tiba. Aku juga,merasakan bahwa pernikahan kami ini hanya menunggu waktu saja untuk hancur, terberai.
"Kamu kenapa diam saja, sengaja ya, mengabaikanku. Agar aku ribut dan semua orang dengar keributan di rumah kita, gitu!" Hardik suamiku semakin terpicu emosi melihatku yang diam acuh.
"Ah, sudahlah Bang. Ngapain pula mengajak ribut malam-malam begini." Sahutku, lalu menarik selimut hingga ke batas leher. Posisi aku memang sedang tiduran di tempat tidur, sambil membaca novel online. Sedang suamiku di meja kerjanya yang ada di sudut kamar.
Dahlah, sekali lompat suamiku kini sudah berdiri di sisi pembaringan. Dengan mata yang masih melotot, tangannya segera menarik selimut dari tubuhku. Sekali sentak saja, selimut itu terlepas dari tubuhku.
"Kamu, selalu saja begini. Selalu memicu keributan di rumah ini. Selalu saja membuat aku emosi!" derunya dengan napas memburu. Aku menatap wajah suamiku tak kalah garang. Mataku juga membola sebesar bola, kalah dengan bola matanya yang hanya sebesar kelereng.
Lantas aku berdiri, mensejajarkan diriku dengan tubuhnya. Meski sampai kiamat, aku tak akan pernah bisa menyamai sosok tubuhnya yang menjulang. Tapi kalau soal emosi, bisalah sekali-kali aku samai.
Capek dan lelah setelah sekian tahun jadi kelinci percobaannya. Saat ini aku berontak, melepaskan diri dari ikatan rasa takut yang membelengguku selama ini.
"Oh, jadi aku terus yang salah. Abang tidak pernah intropeksi diri. Apa-apa aku si biang kerok Aku istri yang tidak tau diri. Menantu yang tidak pandai bersyukur. Begitukan, Bang!" letupku tak mampu lagi menahan emosi. Rasanya seluruh tubuh telah terbakar hangus.
"Aaahgrrr! Kamu ini...!" tangannya langsung melayang di udara hendak menamparku. Tapi hanya menggantung, mungkin ia masih ingat sesuatu. Atau mungkin, terkaget melihat ekspresi wajah datarku, juga pandangan dinginku.
Bukannya langsung menamparku, tangan yang tadinya begitu kencang mengantung. Kini, mendadak lemas, turun. Bukan hanya tangannya, tubuh kekar itu ikutan lesu. Lalu, suamiku berbalik tanpa berkata apa lagi. Kembali ke meja kerjanya. Menatap ke arahku dengan pandangan kosong.
Bukan tanpa sebab aku berprilaku seperti itu. Rasanya sudah cukup aku bersabar selama ini. Semua pengorbananku sebagai seorang istri, seolah tidak pernah di hargai. Perlakuan ibu mertua beserta kakak ipar padaku selama ini, sudah sangat keterlaluan.
Aku Reny, mengenal Bram 11 tahun lalu, dalam sebuah pertemuan yang tak terduga. Aku bekerja menjadi kasir di sebuah Ind* Mart. Bram datang belanja ke tempat ku bekerja. Entah, kelalaiannya atau memang benar dia kecopetan. Saat membayar belanjaannya, ternyata dompetnya tidak ada.
"Kenapa, Pak?" tanyaku karena belum juga dia melakukan pembayaran. Sementara pelanggan antri dibelakangnya.
"Aduh, maaf. Dompetku hilang," ucapnya panik. Aku melihat total belanjaannya sekitar limaratus ribuan. Untuk batal sudah masuk dalam laporan pembelian. Otomatis aku juga jadi bingung.
"Jadi, gimana ini, Pak?" tanyaku meminta solusi. Pelanggan yang lain sudah kasak kusuk di belakangnya. Dia segera bergerak mundur, sehingga pelanggan yang lain dapat diladeni.
Beberapa kali kulihat dia menelepon, tapi selalu saja gagal. Terlihat dari wajah kesalnya.
"Mbak, ini kartu namaku. Tolong ditalangin dulu. Besok aku datang lagi," ucapnya mencoba meyakinkanku. Aku melihat kartu nama itu, ternyata namanya, Bram, bekerja di salah BUMN.
Mengingat, malam itu hujan deras, dan sudah jam 21;00 Wib. Belum lagi, di daftar belajannnya ada beberapa obat. Mungkin sedang sangat dibutuhkan.
"Baiklah, Pak," ucapku percaya saja waktu itu. Lalu, wajah itu sangat berterima kasih sekali. Keesokan harinya, dia kembali lagi. Melunasi uang itu. Sejak itu kami jadi akrab, berpacaran, dan menikah setahun kemudian.
Selama mengenalnya, aku merasakan ,Bram, adalah sosok pria atau suami yang lembut. Penuh perhatian kepadaku dan anak-anak. Tapi, tidak setelah pernikahan kami berjalan memasuki tahun ke 5, aku mulai merasakan perubahan dari sikap, Bram, secara perlahan.
Awalnya aku tak begitu menyadari hal itu. Karena aku juga terlalu di sibukkan oleh kedua balitaku waktu itu. Tapi yang jelas, Bram, berubah sejak kami tingal satu daerah dengan ibu mertua. Karena, Bram, dipindahkan dan naik jabatan.
"Jadi, besok kamu menolak datang ke rumah ibu?" suara Bram menghentakkan lamunanku. Setelah sekian menit suasana diam mencekam diantara kami. Suaranya kini melembut.
"Sebenarnya ada acara apa di rumah Ibu," tanyaku juga akhirnya.
"Palingan juga kumpul bersama karena akhir pekan. Abang, Rio mau pulang," jelasnya tanpa melihatku.
Aku paham, jika ada acara keluarga, berarti akan ada acara makan bersama. Biasanya ibu mertua sangat mengharapkan bantuanku untuk memasak seperti yang sudah-sudah. Bahkan, nyaris akulah yang mengerjakan semuanya. Ibu mertua hanya bantu-bantu sedikit. Apalagi Sarah, benar-benar tak bisa diandalkan. Cuma mulut embernya saja nanti yang sok mengatur.
"Palingan juga aku dibutuhkan menjadi si upik abu," gumanku. Kembali aku duduk dipembaringan.
"Kamu ngomong apaan, Dek?" tanya Bram. Ternyata suamiku mendengar gumananku. Aku diam saja tak menyahut. "Kenapa selalu saja kamu berpikir negatif."
"Nyatanya memang begitu, aku bukan menantu yang dianggap. Parahnya, sikapmu juga 11 12 dengan mereka." ucapku.
Aku melirik ekspresi wajah suamiku, yang menatapku dengan pandangan yang sulit kuartikan.
Apakah ucapanku membuatnya terpukul, atau kaget melihat sisi lain dari pribadiku? Mungkin saja kaget karena seolah tak mengenal lagi dirikukah? Ah, persetan dengan pandangannya atau apa yang tengah berkecamuk dibenaknya.
Yang jelas, saat ini aku merasa plong bisa mengungkapkan apa yang tersimpan di hatiku.
Baru pertama kali ini aku berani melawannya. Suamiku tertunduk lesu, lidahnya sepertinya kelu untuk bicara.. Biasanya dia yang akan tetap garang, dan memenangkan perdebatan. Untuk kali ini, dia bungkam seribu bahasa.***
Bila hati telah terluka, rasa apakah yang tersisa, lagi.
Terus terang aku, aku kaget sendiri dengan sikapku. Bisa-bisanya aku segarang itu, melawan suamiku. Selama ini aku selalu diam dan mengalah. Semua kekecewaanku akan kulampiaskan di atas bantal. Menangis diam- diam, meratapi nasibku.
Aku yang dianggap sebelah mata oleh mertuaku dan juga kakak dan adik iparku. Suamiku juga yang seolah tutup mata selama ini. Sikapnya yang perlahan berubah, dan selalu mengabaikan setiap keluhanku, tentang sikap mereka. Menyuruhku bersabar, dan bersabar terus tanpa pernah ada solusi.
Awal pernikahan kami sangat begitu, manis. Seperti pasangan muda pada umumnya, selalu mesra, menempel terus. Apalagi saat suamiku naik jabatan, otomatis keuangan kamipun tentu makin baik. Ditambah kehadiran putra pertama kami, Devan. Disusul ,Mitha putriku. Jarak lshir mereka 3 tahun. Makin lengkaplah kebahagian kami.
Namun, seiring waktu berlalu. Setelah di tempat baru, aku mulai merasakan ada perubahan sikap dari suamiku. Tepatnya setelah kelahiran putriku, Mitha. Berarti, itu sejak kepindahan kami ke daerah ibu.
Awalnya adalah kesibukan, Bram, dengan pekerjaan barunya. Bersamaan dengan dengan kerepotanku yang mengurus dua anak balita. Bram, setiap kali pulang kerja, mengaku selalu kelelahan. Aku juga yang benar-benar kelelahan luput memperhatikan kebutuhan bathin suamiku.
Tidak jarang aku menolak, atau terkadang saat kami tengah bersama, suara tangisan anak, menyudahi permainan kami. Lama-lama, Bram, malas minta jatahnya.
Bukan hanya perubahan soal ranjang, urusan dapur pun ternyata tergerus juga. Ketika tiap bulan uang belanja semakin menipis, saat aku protes selalu saja ada alasannya menutupi kebocoran itu.
"Bang, bagaimana aku bisa mengatur uang, segini untuk kebutuhan kita sebulan?" protesku saat kulihat uang dalam amplop coklat itu makin menipis. Berharap suamiku akan menambah uang belanja.
"Kamu ini, Dek. Benar-benar istri yang tidak pandai bersyukur. Harusnya kamu itu sadar diri, mendapatkan suami seperti aku. Kamu itu selalu nyusahin suami, bersyukurlah aku tidak menuntutmu kerja, ini malah bertingkah lagi!" sentak suamiku kasar. Sudah menjadi kebiasaannya sekarang, sedikit aku protes, emosi nya langsung kumat.
"Bagiamana, aku mau membagi uang ini, Bang. Untuk uang sekolah, Devan dan Mitha. Tabungan sekolah mereka. Uang listrik dan air, belum lagi cicilan tanah kapling itu," jelasku panjang lebar.
"Makanya kamu harus berhemat, Dek. Sekarang apa-apa mahal."
"Abang sadar kalo sekarang semua serba mahal, lalu kenapa gaji abang tiap bulan abang sunat? Sebenarnya berapa sih gajimu, Bang? Abang tidak pernah jujur."
"Kamu ini jangan lancang, ya. Kamu syukurin saja, kamu bisa enak-enak tinggal di rumah. Makan gaji buta suami."
"Abang terlalu, jadi semua yang aku lakukan di rumah ini tak artinya bagimu ya, Bang," ucapku tercekat. Sebisa mungkin aku mencoba menahan, jangan sampai air mataku luruh. Tapi suaraku sungguh tak bisa diajak kerja sama."
"Nangis, trus. Dasar cengeng!"
"Bukankah Abang yang menyuruhku, berhenti kerja? Lagian, berapa gaji Abang yang sebenarnya. Abang tidak pernah jujur samaku. Dulu, Abang memberiku 7 atau 8 juta tiap bulan. Uang itu aku simpan setelah dipotong uang belanja. Kenapa sejak kita pindah ke sini, Abang tidak pernah jujur lagi dengan gaji, Abang. Tiap bulan jumlahnya Abang potong, tanpa ada penjelasan," protesku emosi.
Bram, suamiku terdiam sejenak saat mendengar ucapanku. Kami sudah sepakat awalnya, bahwa uang belanja sengaja dilebihkan jumlahnya untuk disimpan. Karena kami berencana membangun rumah, yang tanahnya telah kami cicil.
Lalu, kenapa semua berubah tiba-tiba tanpa ada penjelasan. Toh, aku tidak boros dalam mengelola keuangan. Kalaupun suamiku mau memberikan uang pada ibu mertua, aku tidak akan keberatan, asal suamiku jujur melakukannya. Artinya, atas sepengetahuanku. Karena ibu mertua yang sudah menjanda wajar kami bantu, sekalipun ibu mertua memiliki uang pensiun dari almarhum bapak mertua.
"Ya, aku kasih sebagian gajiku, sama Ibu. Kenapa, kamu keberatan. Dia itu ibuku, ibu yang telah melahirkanku dan menjadikan aku berhasil seperti ini. Jadi, kamu yang adalah orang lain, yang kebetulan jadi istriku, tidak berhak melarangku!" tindasnya. Membuatku sangat terkejut, atas penjelasannya.
"Ya, Tuhan. Siapa yang keberatan, Bang. Jika Abang memberikan sebagian gaji Abang untuk, Ibu. Yang aku sesalkan, kenapa dengan seperti ini, Abang membohongiku. Abang tidak berembug dulu denganku," sahutku dengan uraian air mata. Ucapan suamiku yang mengatakan aku adalah orang lain, yang kebetulan jadi istrinya itu sangat menyakitkan, hatiku. Aku tak percaya, bagaimana kata-kata itu sampai terucap dari mulut orang yang sangat aku cintai itu?
"Apa memang semua harus aku laporin sama kamu, aku berhak punya privacy meski kamu istriku." Kibas suamiku sambil keluar dari kamar. Tidak berusaha menenangkanku apalagi membujukku. Kuseka air mataku, karena percuma saja menangis, malah nanti kepergok kedua anakku. Aku terkadang kewalahan menghadapi sifat kritis mereka.
Sejak saat itulah, suamiku benar- benar berubah. Dia mulai acuh dan tak perduli lagi pada keluarganya. Suamiku lebih sering mengahabiskan waktunya di rumah mertua. Pulang lebih larut dari kebiasaannya.
Berkali-kali aku protes, sikapnya dan itu menjadi pemicu pertengkaran di dalam rumah tanggaku.
Belum lagi, sindiran ibu mertua dan kakak ipar setiap kali aku datang bertamu ke rumah mertua. Dari sikap dan ucapan mereka, aku menarik kesimpulan. Berubahnya suamiku karena hasutan dan pengaruh mereka.
Seperti hari ini, saat kami memenuhi undangan ibu, untuk kumpul bersama di rumah ibu mertua.
Ibu memulai membuka topik, saat kami duduk santai menunggu acara makan malam. Aku yang sedari tadi sibuk memasak di dapur, ikutan nimbrung setelah pekerjaan di dapur beres.
Awalnya ibu bicara hal yang ringan-ringan saja. Bahkan aku masih menimpali sesekali. Tapi ujung-ujungnya ucapan ibu merembet ke hal lain.
"Nak Sarah, kalau kamu itu ingin diperlakukan baik oleh suami kamu, ya, kamu itu harus patuh sama suami. Jangan suka melawan suami, atau protes kalau suamimu memberikan sebagian penghasilannya pada, ibu. Karena anak yang berbakti pada orangtua itu, akan selalu dapat, ridho," sindir ibu mertuaku.
"Aduh Ibu, saya 'kan selalu kasih izin Bang Rio, ngasih duit sama ibu. Tidak seperti mantu ibu yang satu itu, tuh.," sahut Sarah sang kakak ipar. Jelas sekali ucapan itu digiring ke arahku.Aku hanya diam, mengabaikan saja ucapan mereka.
"Itulah, kalau memang manusia tak punya hati, degil. Tak akan pernah dapat ridhonya orang tua," sahut ibu mertuaku ketus. Wajahku memerah, mataku berembun mendengar sindiran itu.
Apalagi perkataan ibu itu, diucapakan di acara kumpul keluarga. Jadi semua mendengarnya, termasuk suamiku. Aku, bertemu pandang dengan suamiku, Bram. Berharap dia akan membela atau menetralisir keadaan. Tapi, dia langsung membuang muka.
"Maksud ibu siapa sih? Memang siapa yang protes, kalau kami anak-anak ibu, memberikan uang pada ibu? Itu kan bakti kami, sama Ibu," sahut adik iparku, Doly. Tatapannya tajam tertuju ke arahku.
"Siapa lagi, cuma satu orang mantu ibu, yang durhaka," tohok ibu mertua mengarahkan pandangannya padaku. Otomatis semua mata tertuju padaku. Aku jadi gelagapan, dipandangi seperti itu.
"Maksud ibu, saya?" tanyaku merasa bodoh."
Suamiku bersaudara hanya 3 orang, lelaki semua.
Yang paling besar, Rio dan istrinya Sarah yang menjadi kakak iparku. Anaknya dua orang, Martin dan Vicky. Si bungsu Doly dan istrinya Ines, yang tengah hamil tua. Suamiku, Bram, anak tengah dan aku istrinya, Reny.
"Hem, kok merasa, ya. Baguslah, kalau kamu tau diri juga," sahut Ibu mertua pedas.
"Reny tidak pernah keberatan, Bang Bram memberi uang, sama Ibu. Tapi, Abang tak pernah memberi penjelasan, taunya uang belanja kami di potong, Bu. Kalau saja, Abang, jujur dari awal dan menjelaskan semuanya,...."
"Alah, alasan saja. Dasar kamu memang perhitungan sama, Ibu," tukas kak Sarah memotong ucapanku.
"Lagian buat apa di jelasin segala, itu kan uang anakku. Hak dia dong mau ngasih ke Ibunya berapa. Kenapa mesti minta izin segala. Emang kamu siapa? Udah dari keluarga miskin, masih banyak tingkah," hina Ibu mertuaku tajam.
Tak ayal lagi, air mataku tumpah diwajahku mendengar hinaan mertuaku. Terlebih suamiku ysng seolah tutup mata. Tak memberi pembelaan pada aku istrinya. Malah membiarkan begitu saja keluarganya menggempurku dengan hinaan.
"Alah, gitu saja nangis. Cengang amat sih jadi perempuan," seru Sarah, kakak iparku.
"Tau, tuh. Bram, tengok nih, istri kamu. Bisanya cuma nangis," seru Ibu mertua, pada Bram yang asyik dengan ponsel di tangannya.
"Ah, sudahlah, Bu. Bisanya cuma menangis, aja," ucap Bram, tanpa mengalihkan matanya dari ponsel.
"Nenek, jahat! Selalu membuat mamaku menangis," ucap Devan tiba-tiba sudah berdiri di depanku. Buru-buru aku mengusap air mataku.
"Eh, Devan. Mama gak nangis kok, cuma kelilipan," ucapku.
"Ma, ayo pulang, yuk," rengeknya seraya menarik tanganku. Sepertinya anak lanangku ini telah mengerti kalau mamanya tengah dibully. Umurnya sudah 9 tahun, tentu sudah cukup paham saat melihat situasi dan suasana yang kualami.
"Bentar lagi ya, nak," ucapku untuk sekedar menenangkannya. Padahal, sedari tadi aku sudah ingin menghilang saja.
"Sekarang ajalah, ma. Ngapain tunggu nanti. Pa, ayo pulang, Pa," seru Devan mendatangi papanya yang masih asyik dengan ponselnya.
"Eh, kalau mau pulang silahkan saja pulang duluan. Tak ada yang rugi," ucap Ibu mertuaku acuh.
"Kalau mau pulang, ya, pulang. Anak sama ibunya sama aja, gak ada akhlak," cerocos Sarah menatap sinis padaku.
"Kak, jangan asal bicara gitu, Kak. Apa hubungannya dengan, Devan. Dia masih anak- anak," ucapku membantah. Tak terima putraku di tuduh seolah anak yang kurang ajar.
"Masih membela juga? Itu memang berkat ajaranmu 'kan. Masih anak kecil, berani mencampuri urusan orang tua, gak ada sopannya sama sekali," rungut Ibu mertua.
"Dia memang masih kecil. Tapi, dia tau membela harga diri Ibunya. Tidak seperti, Bapaknya, yang membiarkan istrinya di tindas. Dasar keluarga toxic." seruku. Lalu, menyeret ke dua buah hatiku pulang.
Tak kupedulikan pandangan mereka semua atas ucapanku barusan. Apalagi ibu mertua, yang mulutnya membulat, ternganga mendengar ucapanku. Begitu juga Sarah dan suamiku.
Sebelum sempat mereka bereaksi, kuajak kedua anakku, pulang.
Padahal, sebentar lagi acara keluarga untuk makan bersama akan mulai. Tinggal menunggu, Ines, adik ipar pulang kerja juga Rio.
Tidak seorangpun yang mencoba menahan langkahku. Tidak, mertuaku, apalagi suamiku. Dia diam saja, saat Mitha menjerit menangis, dipaksa pulang. Karena katanya dia mau makan dulu, karena ada sop kesukaannya yang telah aku masak.
Ya, sedari sore tadi aku sendiri telah menyiapkan, semua masakan untuk acara makan bersama. Yang kerap dilakukan di akhir pekan. Semua bahan memang telah disiapkan Ibu mertua. Aku hanya tinggal memasak. Tanpa bantuan, Ibu mertua atau Kakak ipar.
Sepertinya, memang mereka sengaja mencari topik obrolan menyindirku. Sehingga aku terpicu emosi, dan sakit hati. Sehingga tidak turut makan bersama, menikmati masakan yang aku masak. Itulah pikiran terburukku.
"Mama, kenapa kita pulang duluan. Mitha 'kan belum makan sop yang Mama masak tadi?" ucap putriku dengan wajah memelas. Hatiku serasa dipilin, perih.
"Bagaimana kalo kita makan mie sopnya, wak Kumis?" tawarku mencoba mengobati kekecewaan putriku.
"Emang, Mama punya duit?" tanya Devan, seraya menatapku diikuti pandangan, Mitha.
"Ada, dong, nih," ucapku mengeluarkan selembar uang merah dari kantong celanaku.
"Wao! Mama punya uang merah," seru Mitha girang. Berbeda dengan wajah Devan, yang tampak lesu.
"Kenapa, Van? Gak suka mie sop, ya? Bakso juga boleh, kok," tawarku.
"Mama benar-benar punya duit, ya?"
"Iya, Nak. Kalo gak ada, mana berani Mama ngajak kalian jajan," seruku.
"Oke, Ma. Devan minta bakso saja."
Aku langsung memanggil becak, yang banyak parkir di ujung gang menuju rumah mertua. Setelah tawar menawar ongkos, kami segera meluncur ke tempat tujuan. Warung mie sop dan bakso Pak Kumis yang terkenal dan laris.
Biarlah, uang belanja dapur aku sunat. Asal bisa memberi kebahagian dan mengobati kekecewaan mereka
Di mana tempat bersandar, kala hati rapuh. Yang kuharap, senyumulah pelipur laraku.
Hampir tengah malam, Bram, suamiku baru pulang dari rumah Ibu mertua. Anak-anak sudah tidur pulas di kamar mereka. Bram menenteng kantongan di tangannya, dan memberikannya padaku
"Ini, tadi Ibu membungkus makanan. Untuk Devan dan Mitha," ucapnya tenang seolah tak pernah ada kejadian apa-apa. "Kamu itu dek, kenapa sih selalu melawan sama Ibu," sambungnya lagi, sambil duduk di kursi membuka sepatu.
Langkahku yang menuju dapur, terhenti mendengar ucapan suamiku.
"Maksud Abang, melawan kenapa? Apakah aku harus diam saja saat disindir dan disalahkan?"
"Kamu 'kan tau, Ibu bagaimana. Jangan diambil hatilah ucapannya."
"Menyebut aku menantu durhaka, harus aku diamkan begitu saja, ya, Bang?! Atas dasar apa Ibu menyebutku menantu durhaka, masih kurang apa, ya, ibu menyabotase gajimu setiap bulan. Seolah kami anak istrimu tidak butuh biaya hidup! Apa Ibu tak mikir, kita punya dua anak, sementara Ibu, hanya tinggal sendiri. Masih ada, Bang Rio dan Doly yang bisa bantu ibu juga."
"Tuh, kan. Aku masih ngomong sedikit, kamu sudah nyasar kemana-mana,"
"Aku memang tak habis pikir, Bang. Kamu itu sudah jauh berubah. Tak perduli sama sekali sama keluargamu. Abang dengar semua ucapan Ibu dan kakak ipar, juga Doly. Namun, apa reaksimu tadi, tidak ada 'kan? Mereka seenaknya bicara karena, Abang, membiarkan itu terjadi," nafasku tersenggal usai bicara saking menahan emosi.
"Apa wajar, seorang suami membiarkan keluarganya pulang duluan, sebelum acara makan malam. Namanya acara keluarga, lalu buat apa saling sindir bicara menyakitkan. Aku, tau aku dari keluarga miskin, tapi siapapun tak berhak menghinaku. Apalagi keluargaku," isakku tak dapat menahan perih.
"Jika kamu sadar dari keluarga miskin, harusnya kamu lebih tau diri jugalah. Jangan banyak tingkah. Masih syukur aku mau memperistri kamu."
"Maksud Abang apa? Abang menyesal, ya, telah menikahi aku? Apa Abang lupa, siapa yang dulu ngejar-ngejar aku. Aku tidak pernah membohongi, Abang, soal keadaanku," beliakku kaget. Benar-benar tak menduga ucapan suamiku.
"Iya, aku menyesal. Karena kamu tak pernah mampu menyesuaikan diri kamu dengan diriku. Kamu selalu kumal, tidak modis, membuatku malu,"
"Apa? " seruku tak berdaya, seolah tulang- tulangku dilolosi dari dagingnya. Aku terduduk di atas kursi. Ya, Tuhan. Benarkah apa yang barusan aku dengar tadi. Aku istri yang kumal dan tidak modis. Suamiku malu dan menyesal telah menjadikan aku istrinya. Kenapa sekarang? Setelah kami punya dua anak.
Penampilanku memang sederhana, tapi tidak juga kumal. Aku memang suka dasteran di rumah. Kalau keluar rumah, aku juga masih memakai pakaian yang pantas.
Memang aku tidak pernah pakai rok mini, atau gaun di atas lutut. Juga pakaian seksi. Semua itu tak membuatku nyaman dan merasa risih. Aku tidak menghujat mereka yang suka pakaian seksi.
Itu, masing-masing selera orang.
"Jadi, abang ingin aku merubah penampilanku, ya? Ingin berpakaian seperti kakak ipar, Sarah, yang selalu kekurangan bahan, begitu? Bersolek terus seperti seorang model. Bukan aku gak sanggup lakukan itu, Bang."
"Lalu kenapa kamu tidak bisa seperti, mereka?"
"Hahaha...." tawaku langsung meledak, sampai air mata keluar dari mataku. Kulihat tatapan, Bram, suamiku seolah kebingungan.
"Abang benar-benar suami tak tahu diri! Abang menuntutku lebih dari kemampuanmu. Semua itu butuh modal, Bang. Sementara gajimu telah kamu bagi-bagi untuk keluargamu. Yang tersisa pada kami hanya, remah-remahnya. Entah di mana otakmu," semburku garang. Aku sadar ucapanku akan memicu pertengkaran. Tapi cukup penghinaan yang mereka lakukan padaku.
"Kamu ini! Dibilangin malah membela diri terus. Adalah kewajibanku menafkahi ibuku. Karena surgaku ada di bawah telapak kaki ibuku," dengusnya dengan sorot mata tajam.
"Kamu tidak akan pernah layak mendapatkan surga itu, Bang. Selagi keluargamu, anak, dan istrimu kamu zolimi." sahutku tegas.
"Jika abang memang ingin aku berubah, lalu abang ingin aku seperti apa? Berpakaian seperti apa? Berdandan seperti apa? Oke, aku turuti kemauanmu, Bang. Tapi semua itu butuh dana. Tinggal abang beri aku uang, maka aku Reny, anak orang miskin dari kampung ini. Dalam sekejap akan berubah jadi Cindrella. Hahaha... Karena wajahku tidak jelek-jelek amat. Bagaimana, Bang. Beri adek uang Bang!" sosorku seperti orang gila saja. Bahkan aku berjalan melenggak lenggok bak pragawati di depan, Bram.
Sejenak kulihat pandangannya berubah. Namun, sulit bagiku mengartikan makna tatapan itu.
"Gila kau!" umpatnya kesal. Seraya berdiri masuk ke kamar.
"Kenapa, Bang? Hanya makian itu jawabanmu? Bicaralah yang jelas, jangan hanya menuntutku, tapi abang tidak mau berkorban. Itu egois, munafik!" seruku makin kalap. Aku benar- benar kecewa dengan sikapnya. Bram menuntutku banyak hal, tapi tidak mau memberikan solusi agar tuntutuannya terpenuhi. Seenak udelnya saja memprotes penampilanku, tapi dia pelit soal uang pada istrinya. Dulunya royal, sekarang ogah membiayai rumah tangganya.
"Apakah hatimu telah mendua, Bang?" celetuk hatiku dalam diam.
Berlalu ke dapur, memasukkan kantong kresek ke dalam kulkas. Besok saja makanan itu aku panaskan. Aku benar-benar sakit hati dengan semua perlakuan suamiku. Kupikir, suamikulah tempat aku bersandar dari lelahnya hidup ini. Tempat melabuhkan keluh, dari setiap situasi yang aku hadapi. Nyatanya.***
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!