Penjelasan yang tidak cukup itu membuat Qyen semakin bingung dengan kedatangannya ke sini. Pintu besar yang ada di hadapannya pun terbuka, dari sini ia langsung bisa melihat punggung laki-laki seseorang paruh baya yang sedang menghadap ke sebuah jendela besar.
Brian yang mengantarkan Qyen tadi, berjalan terlebih dahulu dan membisikkan sesuatu kepada Tuannya, bahwa orang yang diminta untuk menghadapnya sudah datang saat ini. Setelah itu, Brian langsung keluar dari ruangan ini tanpa mengucapkan satu patah katapun kepada Qyen, sampai-sampai Qyen hanya bisa melihat Brian yang menghilang dibalik pintu ruangan besar ini, dan mulutnya yang terbuka tidak bisa mengeluarkan suara.
‘Tuk!’
Hentakan gelas yang disimpan berbunyi, dan suara itu berhasil membuat Qyen terkejut, ia langsung melihat kearah sumber suara dan berbarengan dengan wajah dingin laki-laki yang sepertinya itu adalah ayah dari Albra. Tidak bisa lama-lama menatap wajah menyeramkan itu, Qyen menundukkan wajahnya, sungguh ia ketakutan saat ini.
“Siapa namamu?” tanya suara itu dengan datar. Kini Qyen bisa melihat tuan besar itu sudah duduk di sebuah kursi yang sangat mewah.
Qyen yang menunduk diam ditempat pun menjawab. “Na—nama saya … Qyen Fayre, Tuan ….”
“Qyen … kamu terkejut saya panggil ke sini?” tanyanya dengan diiringi sedikit suara tawa.
Matanya kini mulai memanas, tangannya sedikit gemetar, namun ia mencoba untuk menjawab semua pertanyaan dari tuan besar itu. “Iya, Tuan,” jawabnya.
Suara langkah terdengar mendekat kearah Qyen, sebelum akhirnya sepasang sepatu mahal datang dihadapannya.
“Jadi kamu wanita yang sudah menyelamatkan cucu saya?” tanyanya yang saat ini sudah berdiri di depan Qyen.
“Tatap wajah saya jika saya bertanya!”
Qyen terkejut ketika suara itu berubah menjadi teriakan yang sangat kencang. “Iya, Tuan,” jawab Qyen yang kini memberanikan diri untuk bisa melihat wajah tuan besar itu. Di balik kacamatanya tebalnya, Qyen bisa melihat mata tajam itu hampir saja membelah lehernya saat ini.
“Apa yang sudah kamu lakukan kepada cucu dan anak saya sehingga mereka selalu menyebut nama kamu?”
“Maksudnya, Tuan? Saya merasa tidak pernah memberikan apapun kepada Alan dan Pak Albra.”
“Saya akan memperingatkan kamu, agar tidak mendekati anak dan cucu saya.”
Qyen terdiam sebentar sebelum akhirnya mengangguk. “Baik, Tuan.”
“Saya tidak pernah mengizinkan wanita manapun untuk dekat dengan keluarga saya,” ucapnya sebelum akhirnya ia membisikan sesuatu di telinga kanan Qyen. “Jika kamu ingin uang, saya akan memberikan berapapun untuk kamu, asal jangan dekati keluarga saya!”
Jantung Qyen berdetak dengan sangat kencang. Bagaimana bisa laki-laki tua itu berbicara seperti ini kepada dirinya. Qyen tidak pernah sedikitpun mengharapkan imbalan ketika sedang menolong Alan kemarin, bahkan niatnya tulus menolong anak kecil yang tidak tahu jalan pulang.
Frans menjauh dari Qyen dan kembali ke kursinya sambil sesekali tertawa kecil.
“Saya tidak pernah mengharapkan sepeserpun uang dari, Tuan. Saya tulus niat membantu Alan –“
“Jangan pernah sebut nama cucu saya dengan mulut rendahan kamu!”
Qyen tergelonjak kaget dan tak sadar air matanya turun begitu saja. “Berani-beraninya kamu menyebut nama cucu saya!”
Teriakan Frans berakhir ketika pintu terbuka dan Albra yang tiba-tiba datang masuk ke dalam ruangan ayahnya. “Papa! Apa yang sudah Papa lakukan kepada Alan! Papa masih belum puas?” tanya Albra yang menatap getir kearah ayahnya.
Qyen terkejut dengan kehadiran Albra yang saat ini sudah menatap wajahnya, buru-buru ia mengusap air matanya di hadapan Albra.
“Alan? Kemana perginya Alan?” tanya Frans yang kini bangun dan berjalan pergi begitu saja.
“Kamu tidak apa-apa?” tanya Albra yang kini memegang pundak Qyen dengan refleks.
Qyen mengangguk, dan langsung bertanya kepada Albra bagaimana keadaan Alan saat ini. “Alan bagaimana, Pak?” tanya Qyen.
“Saya masih mencari Alan, saya tidak tahu kemana perginya Alan,” ucap Albra yang saat ini memiliki tatapan mata yang sangat kosong.
“Aku ingin membantu mencari Alan tapi, spertinya aku harus pergi dari—“
Belum sempat Qyen menyelesaikan ucapannya, Albra sudah menarik tangan Qyen untuk pergi berlari berlari bersama dirinya.
“Pak, lepas! Aku takut ayah kamu tau,” kata Qyen yang mencoba melepaskan tangan Albra.
“Tidak perlu dihiraukan,” ucapnya dan mereka pun pergi menaiki tangga sebelum akhirnya datang ke sebuah ruangan yang sudah di jaga oleh beberapa orang dan juga ayah dari Albra tentunya sudah menatap tajam kearah Qyen.
“Kami sudah mencari tuan muda ke sekitar rumah dan hutan tapi tidak di temukan,” ucap Brian yang baru saja datang.
Qyen melihat ruangan yang terbuka di hadapannya, sepertinya ini adalah ruangan kamar Alan, terlihat dari furniture di dalamnya yang berbeda, juga banyak mainan yang terpajang di dalamnya, namun ada satu hal yang mengganjal di pengelihatannya, ia pun berbicara kepada Albra.
“Pak Albra, itu pintu apa? Alan sudah dicari di dalam sana?” tunjuknya kearah pintu berwarna putih yang menjulang tinggi di sana.
Tanpa mengatakan satu patah katapun, Albra memegang tangan Qyen dan membawanya masuk ke dalam kamar Alan. Para penjaga yang melihat itu langsung bersiaga ketika Qyen menginjakkan kaki di dalam sana, dibarengi dengan teriakan Frans yang menggema.
“Albra! Beraninya kamu!”
Albra yang masih memegang tangan Qyen, ia pun menghadap kearah ayahnya dan berbicara satu kalimat yang tidak pernah biasa ia lontarkan. “Alan sedang dalam bahaya, hanya dia yang saat ini bisa menyelamatkan Alan,” ucapnya sambil mengangkat tangan Qyen yang ia genggam.
Albra sudah tidak ingin mengurusi Frans, saat ini tujuannya hanya mencari di mana anaknya berada. “Saya belum mengecek toilet karena Alan biasa menggunakan toilet kamar saya yang ada di sebelah ruangan ini,” kata Albra yang kini melepaskan genggaman tangannya dan mencoba membuka pintu besar tersebut.
“Harusnya dari awal kamu sudah membuka pintu ini,” ucap Qyen yang turut ikut membuka pintu.
“Saya tidak tahu.”
“Sepertinya pintu ini terkunci di dari dalam,” kata Qyen.
Frans, Brian, dan semua para penjaga menyaksikan aksi Albra dan Qyen yang sedang membuka pintu besar tersebut.
“Alan! Apa kamu di dalam?” teriak Qyen sambil mengetuk pintu besar tersebut.
“Alan! Ini Papa, buka pintunya!”
Tidak ada sahutan dari dalam kamar mandi.
“Kenapa kalian diam saja di sana! Ambil peralatan!” tegas Albra kepada para penjaga.
Tak butuh waktu lama, petugas yang membuka kunci pun datang dan berusaha untuk membuka pintu besar tersebut.
“Tenang, Pak. Alan akan baik-baik saja,” ucap Qyen yang menenangkan Albra karena sepertinya Albra sudah kehilangan arah.
Pintu besar itu terbuka, Albra menarik tangan Qyen untuk masuk bersamaan dengan dirinya. Ketika masuk ke dalam sana, betapa terkejutnya mereka melihat Alan yang meringkuk kedinginan di dalam bath up yang sudah sedikit terisi air.
“Alan!” teriak Albra, Frans, dan juga Qyen bersamaan.
Alan yang terkejut membuka matanya lalu tersenyum kepada Qyen. “Hai, Qyen kamu ada di sini?”
Qyen mengangguk. “Iya, Alan. Kenapa kamu bisa ada di sini?” tanya Qyen yang hanya bisa diam di tempat.
Albra menghampiri anaknya namun Alan menghindar. “Bisa kalian pergi semua dari sini kecuali Qyen? Aku tidak butuh siapapun. Kalian semua sama saja,” kata Alan sambil melihat semua orang yang datang mengelilingi toilet di dalam kamar Alan.
Albra memundurkan langkahnya, dan membiarkan Qyen menghampiri Alan yang sudah memucat.
“Alan, biar Grapa yang mengurus kamu. Kamu hanya butuh Papa dan Grapa,” ucap Frans yang merasa tidak terima dengan ucapan anak kecil itu.
Alan yang masih meringkuk itu menggeleng. “Aku hanya butuh Qyen sebagai teman,” jawabnya seperti orang dewasa, sebelum akhirnya kesadarannya hilang dan Qyen dengan sigap menggendong anak kecil itu ke dalam pangkuannya yang hangat. Ia tidak peduli dengan bajunya yang basah, dan sedikit rasa perih di tangannya karena terkena sesuatu, yang ia pikirkaan saat ini hanyalah Alan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 80 Episodes
Comments