Hari sudah berganti, Albra memutuskan untuk membawa Alan pulang keapartemennya kemarin. Untuk membawa Alan pulang keapartemennya bukanlah hal yang mudah, ia harus berdebat terlebih dahulu dengan Frans tentang kemana Alan pulang. Tentu saja Frans tidak mengizinkan Alan untuk pulang ke rumah ayahnya, Frans hanya ingin cucunya pulang ke rumah mereka, rumah yang Frans tinggali bersama Albra dan Ian tentu saja.
Dengan perdebatan yang cukup panjang, akhirnya Albra bisa membawa Alan menuju apartemennya. Ia hanya ingin menjaga anak sematawayangnya itu agar baik-baik saja, apalagi Alan baru mengalami hal yang mengerikan kemarin.
Di pagi hari seperti biasanya, tanpa seorang pembantu, Albra mulai membersihkan kamarnya dengan cara memvakum debu-debu yang ada dikamarnya. Albra menyukai kebersihan dan kerapihan, ia tidak bisa meninggalkan apartemennya dengan keadaan berantakan. Tidak hanya kamarnya saja, ia pun membersihkan setiap sudut rumahnya dengan alat yang sama.
Selesai membersihkan tempatnya, rutinitas Albra selanjutnya adalah menghangatkan masakan yang sudah disediakan oleh chef-nya. Mengapa Albra tidak memasak sendiri? Dikarenakan ia tidak memiliki skill memasak, ia bisa memasak, namun rasanya tidak memuaskan.
“Alan sudah bangun atau belum? Dia mau makan telur atau ayam ya?” tanya Albra kepada dirinya sendiri. Albra membandingkan kedua makanan itu karena Alan menyukai telur dan daging ayam, bahkan makanan sehari-hari Alan hanya itu saja.
“Pa …” suara serak terdengar ditelinga Albra. Ada Alan yang baru saja keluar dari kamarnya sambil menggaruk-garuk rambutnya.
“Hai, selamat pagi. Badan kamu masih terasa sakit?” tanya Albra sambil menghampiri Alan yang terdiam di depan pintu kamarnya.
Albra menggendong Alan dengan lembut dan membawanya menuju kursi meja makan.
“Hanya sedikit,” jawabnya sambil mencoba untuk membuka matanya dengan lebar.
Albra tersenyum melihat tingkah laku anaknya yang sangat lucu. “Tidak perlu dipaksakan, nanti mata kamu sakit, Alan,” ucap Albra sambil menuangkan segelas air kedalam cangkir berwarna biru dan memiliki karakter penguin untuk alan.
“Pa … kenapa Papa tidak tidur dengan aku?” tanya Alan setelah selesai meminum airnya.
Albra yang hendak berjalan menuju lemari es pun tertahan. “Papa tidur dengan kamu. Jam dua belas tadi, Papa lupa kalau harus mengirim laporan, makanya Papa pindah menuju kamar Papa sendiri,” jelas Albra agar tidak mengecewakan anaknya.
Alan mengangguk. “Iya, Pa.”
Mengobrol pagi menjadi rutinitas keseharian Albra dan Alan. Jika di rumah Frans, di pagi hari seperti ini, Albra, Ian, Alan dan juga Frans akan mengobrol di ruang makan sambil sarapan pagi sebelum mereka memulai aktivitas keseharian mereka.
“Jam berapa ini, Pa? Aku belum bersiap pergi kesekolah,” kata Alan yang belum mengerti bagaimana cara membaca jam.
“Oh iya. Papa lupa memberitahu kamu. Sekolah diliburkan satu minggu, dan kamu akan kembali bersekolah di hari senin besok,” kata Albra memberitahu.
“Libur? Aku ingat, kemarin bu guru tidak mengatakan libur.”
Suatu waktu seperti ini, kadang Albra merasa aneh mengapa Alan sangat pandai sekali berbicara diumurnya yang masih sangat belia ini. Namun begitu, Albra juga merasa senang dan yang perlu ia lakukan jika seperti itu hanyalah menjawab semua pertanyaan-pertanyaan yang keluar dari mulut Alan.
“Kamu ingat kejadian yang kemarin?” tanya Albra sambil menyiapkan sarapan mereka.
“Iya, sangat ingat,” jawab Alan.
“Karena ada kejadian kemarin, sekolah meliburkan anak muridnya. Takut, hal serupa terjadi lagi.”
“Libur sangat panjang, Pa?”
“Emm … tidak terlalu panjang. Nanti Papa beritahu jika kamu masuk sekolah lagi,” jawab Albra.
Alan cukup paham kini ia pun mengangguk-anggukan kepalanya. “Kamu mau sarapan dengan apa?” tanya Albra yang masih bingung.
“Emm … aku suka sandwich telur buatan Papa,” kata Alan sambil tersenyum dengan lebar.
“Tentu, Tuan. Akan saya buatkan,” jawab Albra yang mengundang gelak tawa Alan.
Seperti itulah keseharian di pagi hari antara Albra dan Alan. Terlihat, jika Albra sangat kaku dan tidak bisa mengekspresikan kelucuan di depan anaknya. Namun ada saja salah satu tingkah Albra yang mengundang gelak tawa anaknya, padahal Albra tidak sedang melucu.
Jam sudah menunjukkan pukul 9 pagi, selesai dengan semua aktivitas pagi mereka, kini Albra membawa Alan untuk pergi kekantornya bersama. Ia tidak ingin meninggalkan Alan sendiri dirumah karena Alan masih sangat-sangat kecil, khawatir terjadi sesuatu yang tidak diinginkan.
Dengan membawa satu mainan yang sangat besar, dan beberapa mainan yang Alan simpan di dalam tasnya, kini mereka pun berjalan di lobby kantor untuk bisa sampai ke lantai 7, tempat dimana ruangan kantor Albra berada.
Banyak sekali para karyawan yang secara terang-terangan memperhatikan Albra dan Alan. Keduanya memiliki pesona yang sangat-sangat memancar. Tak heran, banyak juga para pegawai yang mencuri perhatian Albra ketika sedang diperusahaan, pesona duda kaya seperti Albra ini, memang tidak ada duanya.
“Why? Apakah ada yang salah dengan aku?” tanya Alan yang merasa risih diperhatikan oleh semua orang yang ada di sana.
“Kamu tampan, makanya orang memperhatikan kamu.”
“Really? I think so ….”
Albra terkekeh sebentar mendengar jawaban dari Alan. Setelah beberapa waktu, mereka sampai di ruangan yang menjadi kantor bekerja Albra. Alan langsung berlari menuju sofa untuk mulai bermain dengan mainan yang ia bawa dan Albra kini mulai membuka beberapa laporan yang sudah menumpuk dimejanya.
Pintu ruangan terbuka, tak lama Ian datang dan berlari dengan heboh menuju Alan.
“Whats up, Bro!” sapanya dengan girang.
“Syut, berisik sekali mulut kamu,” jawab Alan yang mengundang tawa Albra. Tak heran jika Alan dan Ian disatukan ditempat yang sama, keduanya pasti saja berdebat.
“Yeu … anak siapa sih Lo, baru aja di sapa,” kesal Ian yang kini memilih duduk disebelah Alan.
“Kamu harusnya bekerja, Ian. Lihat Papaku, dia sangat-sangat rajin,” ucap Alan yang membangga-banggakan Papanya.
“Ya ya ya … aku tidak mau berdebat dengan kamu,” jawab Ian. Tujuannya ke sini adalah untuk memberikan laporan kepada Albra.
Ian datang menghampiri Albra dan memberikan tabnya.
“Kenapa?” tanya Albra setelah melihat layar tab Ian.
“Foto kasur,” jawab Ian.
“Lalu?”
“Ck! Gak anak, gak bapak. Dengar ya … Qyen ngebalikin kasurnya, Gue gak tau kenapa itu bisa sampe di sini lagi,” jelas Ian.
“Qyen? Ada apa dengan Qyen?” tanya Alan yang sedikit ingin tahu.
Albra melebarkan matanya, memberi kode kepada Ian, untuk berhati-hati jika menyebut nama Qyen di depan Alan. Jika sudah seperti ini, dan Alan kembali teringat dengan Qyen, ia tidak tahu harus menjawab apa.
“Tidak, hanya laporan kemarin,” jawab Ian dengan santai, untungnya saja Alan menjawabnya dengan cara mengangguk.
“Kirim kembali,” kata Albra.
“Lo liat baik-baik, Albra. Nama pengirimnya bukan Qyen, dan Qyen gak tau dimana perusahaan kita, karena kita ngirim kasur ini atas nama tokonya.”
Setelah mendengar penjelasan dari Ian, Albra pun mengambil alih tablet Ian dan melihat dengan seksama foto tanda pengirim yang terlihat di sana.
“Fin Ghazi? Suami Qyen?” tanya Albra.
Ian menggeleng. “Bukan, dia bukan suami Qyen, ataupun pacar, adik dan sebagainya,” jawab Ian dengan berbisik.
“Jadi dia siapa?”
Entah kenapa Albra sangat ingin tahu tentang hal ini, padahal pekerjaannya sangat banyak.
“Gue gak tau kenapa kasur yang udah kita kirim untuk Qyen, dikembalikan dengan nama pengirim yang berbeda apalagi dia tahu dimana perusahaan kita,” jawab Ian dengan lugas.
Albra mengangguk mengerti. “Kamu yang kirim langsung sekarang juga,” perintah Albra kepada Ian.
Albra terdiam sebentar, mengapa hal yang menyangkut Qyen kini sangat mempengaruhi pikirannya? Bahkan hal kecil seperti ini saja, membuat Albra berpikir beberapa kali, bahkan perasaannya sangat tidak nyaman.
Alan berlari kearah Ian ketika pamannya itu pergi. “Ian, kamu mau pergi ke rumah Qyen? Aku mau ikut,” kata Alan sambil berteriak.
“Alan, Ian tidak pergi kemana-mana, ia melanjutkan kembali pekerjaannya,” ingat Albra kepada Alan dan menghampiri anak kecil itu untuk menjelaskan keadaan yang ada.
Alan sedikit kecewa mendengar kebohongan ayahnya. Padahal dengan telinganya sendiri Alan mendengar jika Albra dan Ian membicarakan Qyen dibelakangnya.
“Padahal aku cuma mau ketemu Qyen …” keluhnya dengan sedih.
Di sisi lain, saat ini Qyen tengah menghitung pemasukan uangnya di minggu ini, ia sangat bersyukur karena banyak sekali pembeli yang membeli buahnya.
Sama seperti pagi hari sebelum-sebelumnya, pagi hari Qyen ketika membuka tokonya pasti akan disambut oleh kedatangan Fin, namun berbeda dengan hari ini, Fin datang dengan wajah yang tidak mengenakan dan sedikit berbicara kepada Qyen.
Bahkan saat ini pikiran Qyen terganggu dengan sikap Fin yang menyuruhnya untuk mengembalikan paket yang dikirimkan oleh Ian kepadanya. Fin tahu tentang paket itu, karena Qyen menyimpannya di depan toko, ia belum sempat memindahkannya sebab paket itu sangat besar.
Sedikit percakapan yang Qyen ingat ketika pagi tadi dengan Fin.
“Kembalikan paketnya. Kamu tidak akan tahu bagaimana sikap seseorang, apalagi kamu baru bertemu dengan mereka hanya beberapa jam saja. Saya tidak mau kamu berurusan dengan orang-orang tinggi seperti mereka.”
“Kenapa? Kayaknya ini Cuma hadiah kecil saja deh.” Qyen masih bisa menanggapi jika pemberian paket dari Ian adalah hadiah, namun sepertinya tanggapan Fin berbeda, ia terlihat cukup marah dan Qyen sangat aneh melihatnya.
“Tidak. Itu bukan hadiah, saya sudah berurusan dengan orang-orang tinggi seperti mereka dan mereka berbeda. Kembalikan saja, pakai nama saya.”
Seperti itulah cerita singkat percakapan antara Qyen dan Fin dipagi hari ini. Qyen merasa aneh, namun ia mencoba untuk bisa berpikir dengan positif. Sampai, lamunananya buyar karena ada seorang laki-laki muda yang datang menghampirinya dengan senyum lebar. Ya, Qyen ingat, dia adalah Ian, adik dari Albra.
“Hai, Qyen. Apa kabar?”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 80 Episodes
Comments