Seorang laki-laki dengan wajah tegas tanpa ekspresi, sedang membereskan berkas-berkas di atas mejanya. Ada banyak sekali pekerjaan yang harus ia selesaikan hari ini, dan jam sudah menunjukkan pukul 14.00, hampir 1 jam lamanya ia telat menjemput sang buah hati disekolahnya.
Tak lama, pintu kantornya pun terbuka, dari arah depan ia bisa mendengar suara siul seorang laki-laki muda dan juga suara langkahnya yang terkesan berisik.
“Ketuk pintu dulu kalau masuk,” ucap laki-laki dengan wajah tegas tanpa ekspresi itu.
“Sorry, Papa nyuruh Gue buat ngasih ini ke Lo,” kata laki-laki yang bersiul itu, sambil memberikan sebuah kotak hitam berukuran sedang.
“Papa? Apa isinya?”
Ditanya seperti itu, laki-laki muda yang memiliki nama Max Ian Sander pun menggeleng dan mengangkat bahunya, “entah, Gue gak tau isinya apa.”
Kakaknya mengangguk, ia pun menerima kotak itu dan memasukkan ke dalam laci meja kerjanya. Hari ini, terhitung sebagai hari ke 5 setelah kakak beradik itu mencoba untuk berdamai dan melakukan visi dan misi yang sama.
“Bisa jemput Alan sekarang? Kamu gak liat saya lagi apa?” tanya Max Albra.
Ya, seseorang yang berbicara dingin sedari tadi itu adalah Max Albra, kakak tiri dari Ian. Mengapa mereka dikatakan adik kakak tiri? Karena mereka dilahirkan dari ibu yang berbeda. Albra dilahirkan dari seorang wanita bayaran pertama, dan Ian dilahirkan dari wanita bayaran kedua ayahnya.
Ayah Albra dan Ian bernama Adule Frans Max, laki-laki berumur 65 tahun dan tidak memiliki istri. Frans menghabiskan umurnya tanpa ada seorang wanita, ataupun ibu disampingnya. Sebenarnya Albra dan Ian adalah anak pilihan dari beberapa wanita bayaran yang mengandung anaknya. Mengapa demikian? Karena Albra dan Ian adalah laki-laki yang bisa meneruskan perusahaannya.
Terhitung ada 5 wanita bayaran yang mengandung anaknya, dan 3 diantaranya melahirkan anak perempuan dan Frans tidak mengakui anak itu sebagai anaknya, lagi dan lagi hal itu bisa terjadi karena dikendalikan oleh uang. Berbeda dengan 2 wanita lainnya yang berhasil melahirkan laki-laki, yaitu Albra dan Ian.
“Alan? Bukannya mau dijemput sama Papa?” tanya Ian yang kini duduk di sofa sambil mengangkat satu kakinya.
“Bukannya kamu baru bertemu dengan Papa? itu tandanya Papa tidak menjemput Alan,” ucap laki-laki berusia 32 tahun itu.
“Hmm … Alan-kan punya supir sendiri …” ucapnya karena sangat malas.
“Bisa kamu mendengarkan saya terlebih dahulu?” tanya Albra dengan suara dingin andalannya.
“Ya – ya …” kata Ian sedikit kesal.
“Siapa yang pakai supir Alan tadi?” tanya Albra.
“Iya-iya, Gue jemput Alan.”
Albra berdiri dari duduknya, ia melipat tangannya sambil menatap wajah Ian dengan tatapan mata elangnya.
Merasa nyalinya ciut ditatap seperti itu oleh kakak tirinya, Ian pun bangun dari duduknya dan memasukkan ponselnya ke dalam saku celana. “Kenapa? Ada yang salah?”
Albra menggeleng. “Jangan nangis kalau dipukulin Alan,” kata Albra dan langsung pergi dari hadapan Ian untuk pergi ke toilet.
Melihat Albra pergi, Ian yang merasa kesal, ia pun tak sengaja mengekspresikan rasa kekesalannya itu kepada meja yang ada didepannya, alhasil, kakinya kini terasa sakit.
“Aw! Dasar Albra gak berguna. Papa lagi, kenapa nyuruh Gue sama beruang kutub kaya gitu baikan,” kesal Ian.
“Udah punya anak, gak tanggung jawab sendiri,” kesalnya lagi sambil berjalan keluar dari kantor Albra. Sebenarnya Ian merasa sedikit takut juga karena ia tidak sengaja sudah meminjam mobil Alan dan alhasil supirnya Alan telat untuk menjemput Alan.
“Bisa habis Gue dihantam tu bocah,” gumam Alan yang saat ini mulai melajukan mobilnya untuk pergi kesekolah Alan.
Butuh waktu 30 menit untuk akhirnya Ian sampai di sekolah Alan. Sebenarnya menuju tempat ini dari kantor Albra tadi, hanya membutuhkan waktu 15 menit, hanya saja Ian mendapat kesulitan karena ia tersesat gara-gara petunjuk maps yang tidak benar.
“Kenapa berita tiba-tiba ngasih kabar kalau sekarang bakalan ada badai? Mana sekolah Alan udah di tutup,” ucap Ian yang kini turun dari mobil lalu bergegas menuju pos satpam untuk menanyakan sesuatu.
“Hah? Semua murid sudah bubar?” tanya Ian terkejut.
“Iya, tuan. Dua jam yang lalu semua murid sudah bubar. Tuan mencari siapa?”
“Saya mencari Alan, Max Alan. Bapak tahu?” tanya Ian, dan perasaannya sudah mulai tidak enak.
“Saya kenal, dan saya melihat tadi tuan Alan sudah menaiki mobil hitam bersama seorang supir berseragam hitam juga,” ucap satpam tersebut.
Ian yang sudah kalap dengan pikirannya, karena pasalnya mobil Alan, ia pakai sampai saat ini. Lalu mobil siapa yang menjemput anak itu? Tanpa menunggu lama, ia pun menghubungi ayahnya untuk menanyakan apakah Alan sudah ada bersamanya di rumah atau belum. Jika Alan hilang sudah dipastikan, ayahnya itu akan mengamuk dan sepertinya akan terjadi perang dunia kesekian kalinya karena mengetahui cucu satu-satunya itu hilang.
“Pa? Alan dimana?” tanya Ian tanpa basa-basi.
“Alan? Ya sudah pasti dengan Papanya, kamu kenapa bertanya dengan Papa? Gak jelas kamu,” ucap Frans diujung telpon.
Jantung Ian berdegup sangat kencang bukan main. Bagaimana bisa ayahnya itu mengatakan jika Alan bersama dengan Albra, bahkan Albra sendiri yang menyuruh dirinya untuk pergi menjemput Alan.
“Papa yakinkan gak nyuruh orang buat jemput Alan?” tanya Ian satu kali lagi untuk memastikan.
“Iya, ada apa? Alan tidak ada? Bagaimana bisa Alan sampai hilang seperti ini? Papa gak mau tahu, kamu cari Alan sampai ketemu.” Telpon itupun terputus dengan cepat.
“Aish … Alan kemana ya? Gak mungkin dia di culik. Siapa juga yang mau culik anak bawel kaya Alan,” ucap Ian di sela-sela kekhawatirannya.
“Ada, tuan?” tanya satpam tadi memperhatikan.
“Tidak ada. Bisa tolong saya untuk mengirimkan CCTV di depan sekolah? Tolong kirim ke alamat email ini. Saya tunggu, terimakasih,” ucap Ian yang memutuskan untuk mencari Alan disepanjang jalan menuju pulang sekaligus melapor kepada Albra tentang hilangnya Alan.
Disepanjang jalan, Ian disambut oleh gerimis, angin kencang dan petir yang bersahutan. Kabut pun sedikit-sedikit mulai menghalangi jalan. Sekolah Alan memang terletak sedikit di ujung kota, dengan dikelilingi oleh jalan yang sepi.
“Alan … Alan kemana sih ….”
Disamping itu, Ian sudah menghubungi Albra jika Alan tidak ada sisekolahnya, dan Frans tidak menjemput cucunya. Albra yang kini masih berada di kantor sangat terkejut mendengar hal itu, dan Albra menyuruh Ian untuk kembali ke kantor karena kondisi jalanan sedang tidak baik. Untung saja, dibalik sikap dan sifat Albra yang sangat dingin, ada hati hangat yang ia simpan untuk keluarga dan anaknya.
Sesampainya Ian di kantor, ia tidak peduli bajunya basah, yang kini ia pedulikan hanyalah informasi mengenai Alan, keponakan satu-satunya yang ia miliki, dan cucu satu-satunya penerus keluarga Max nanti adalah Alan, sibocah 4 tahun ini.
“Al, Gue gak tau kenapa Alan gak ada disekolahnya,” ucap Ian dengan napas memburu.
Albra yang juga merasa panik, ia pun mencoba tenang. Ia percaya dengan anaknya yang pintar dan cerdas, ia yakin, Alan pasti aman disuatu tempat saat ini.
“Tenang, kita cari dia dengan kepala dingin,” ucap Albra yang kini sedang melihat rekaman CCTV di depan gerbang sekolah Alan.
“Papa udah tau. Papa pasti bakal marah sama Gue,” ucap Ian yang sudah sangat panik.
“Kamu juga yang salah, kenapa harus pakai mobil Alan,” kata Albra menatap Ian dengan sengit.
Ian pun menundukkan wajahnya. “Mobil Gue-kan lagi di service …” gumam Ian pelan.
Albra bangun dari duduknya. “Laki, cengeng banget,” sindirnya sambil menepuk bahu Ian.
“Gue gak cengeng. Gue gak bisa bayangin betapa sulitnya penculik disana ngadepin Alan anak super bawel itu. Gimana kalau Alan di buang di jalan-jalan. Anak umur 4 tahun, ya tuhan ….”
Albra merasa kesal mendengar ucapan Ian, ia pun menepuk kepala belakang Ian. “Sembarangan kamu kalau ngomong. Alan tahu, dia pintar, dia gak mudah buat dibohongin. Kamu liat CCTV-nya.”
Ketika mereka sedang sibuk melihat rekaman CCTV di laptop Albra, tak lama Frans datang dengan jalan terburu-buru. “Kenapa Alan bisa hilang?” tanya Frans langsung dihadapan kedua anaknya.
Ian yang tidak berani melihat ayahnya akan marah hanya bisa menunduk, sedangkan Albra yang pandai menyembunyikan perasaannya ia pun terlihat tampak tenang.
“Albra lagi lihat kemana Alan pergi.”
“Kamu, Ian. Kenapa harus pakai mobil Alan buat pergi?” tanya Frans melihat kearah Ian yang nyalinya kini sudah ciut.
“Ada rapat mendadak tadi, Pa. Papa-kan tau kalau mobil aku lagi di bengkel. Jadi aku pakai mobil Alan,” ucapnya.
Frans yang merasa kesal, ia pun hendak memukul tangan Alan namun ditahan oleh Albra. “Biki malu saja kamu!” ucap Frans yang masih kesal dengan Ian.
“Sudah, Pa. Alan anak pintar, dia gak gampang dibodohin orang lain,” ucap Albra mencoba untuk menenangkan Frans.
“Itu Alan, mundur ke lima detik yang lalu,” ucap Ian yang melihat tas biru kesukaan Alan yang masuk ke dalam mobil hitam.
Albra, Frans dan Ian pun mendekat kearah layar laptop. Mereka memperhatikan pergerakan orang aneh yang mengajak beberapa anak masuk ke dalam mobil, termasuk ada Alan didalamnya.
“Ini gak bisa dibiarkan. Panggil keamanan dan lapor polisi,” ucap Frans kepada sekertarisnya.
Sekertarisnya pun berlari, dan tak lama, lampu perusahaan mati beberapa detik saja dan kembali hidup. Setelah itu, mereka bisa melihat kerah jendela jika diluar sangat gelap dan hanya ada lampu jalan saja yang menerangi jalanan.
“Sedang ada pemadaman listrik. Sepertinya polisi tidak bisa dimintai bantuan saat ini.” Albra yang merasa tidak bisa diam saja, ia pun bergegas pergi untuk bisa mencari Alan, anak semata wayangnya di tengah badai hujan dan pemadaman listrik ini.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 80 Episodes
Comments