Setelah beberapa urusan telah selesai dan suasana di sekolah Alan mulai tenang, kini Qyen sedang mencari berbagai cara untuk bisa keluar dari keluarga Alan. Ia merasa tidak nyaman karena sedari tadi Albra, ayah dari Alan selalu melihat kearahnya, dirinya merasa sudah seperti pencuri yang tertangkap basah.
“Alan, kamu sekarang bisa pergi bersama Papa kamu,” bisik Qyen di dekat telinga Alan, karena kini posisinya Qyen berada di dalam mobil Albra sambil menggendong Alan dengan posisi Alan memeluk lehernya.
Qyen merasa canggung ketika ia berada dalam satu mobil dengan orang yang baru ia kenal. Walaupun di sini ada adik dari Albra yang bernama Ian, namun Qyen masih merasa canggung karena Alan tidak mau melepas pelukannya.
“Sorry ya, Qyen. Gue juga baru liat Alan sedekat ini sama orang baru,” kata Ian yang duduk di kursi depan dan berbicara sambil melihat kearah Qyen yang ada dibelakangnya, sedangkan kini yang duduk di kursi kemudi adalah Albra yang diam membisu tanpa mengeluarkan suara apapun.
“Aaa … iya tidak apa-apa. Sepertinya Alan merasa lemas,” kata Qyen untuk menjaga sopan santunya.
Ian mengangguk. “Gimana?” tanya Ian kepada Albra.
“Alan, sini dengan Papa. Kita ke rumah sakit terlebih dahulu, nanti bisa bertemu lagi dengan tantenya,” kata Albra yang membuat Qyen sedikit terkejut.
‘Tante? Tante siapa tante? Dasar om-om ya, seenak jidat manggil aku tante,’ suara hati Qyen berbisik karena kekesalannya.
Kini Qyen mendengar suara Ian menahan tawanya. “Kenapa kamu ketawa?” tanya Albra kepada Ian.
“Lo manggil orang sembarangan aja. Qyen keliatan masih kaya anak SMA, masa Lo panggil tante?” tanya Ian sambil menahan tawanya, dan kini ekspresi Albra sangat datar dan kembali fokus melihat ke dapan.
Mereka belum menjalankan mobilnya, karena mereka masih bernegoisasi dengan Alan untuk bisa melepaskan Qyen pergi ke kantor polisi tanpa Alan. Namun Alan tidak menjawab apapun ia masih asik memejamkan matanya.
“Alan …” panggil Qyen satu kali lagi.
“Hmm … sebentar saja, kepalaku pusing,” mendengar suara Alan yang sangat melemah, Albra tidak bisa apa-apa, ia pun tidak tahu harus merawat anak sedang sakit seperti apa karena selama ini jika Alan sedang sakit ia akan merawat Alan di rumah sakit, dan Albra tidak memiliki suster untuk merawat Alan secara khusus, semua hal yang menyangkut Alan ia yang urus, terkecuali ketika sedang sakit.
Qyen kini semakin panik lantaran ia merasakan leher sebelah kanannya merasakan panas yang luar biasa, dan panas itu berasal dari dahi Alan.
“Maaf, Pak. Alan belum saya beri obat, sekarang panas Alan semakin tinggi,” ucap Qyen memberanikan diri.
Ian yang sedikit kurang percaya, ia pun sedikit bangun dari duduknya untuk bisa meraih kening Alan dan mengecek suhu badan Alan. “Demam Alan tinggi, kita harus bawa dia ke rumah sakit,” kata Ian.
Albra mengangguk, ia pun menyalakan mobilnya dan mulai pergi meninggalkan sekolah Alan.
Qyen sedikit terkejut karena tiba-tiba saja mobil pergi, sedangkan Fin masih menunggunya diluar.
“Aish …” gumam Qyen yang merasa kesal.
“Kenapa?” tanya Albra tiba-tiba.
“Hah?” kini Qyen pun tak mengerti kepada siapa Albra bertanya.
“Kamu,” kata Albra yang melihat Qyen lewat spion mobil tanpa ekspresi.
“Hah?” Qyen masih belum mengerti apa maksud dari ucapan Albra itu.
“Ck! Kamu kenapa?” ulang Albra dengan suara yang lebih lembut diakhir kalimatnya.
“Emm … tidak ada apa-apa,” kata Qyen singkat. Kini ia harus bisa melatih degup jantungnya yang sangat kencang.
Melihat ekspresi Albra dan Qyen yang tidak biasa membuat Ian menahan tawanya. Bagaimana bisa ia dihadapi situasi yang sangat lucu seperti ini. Ia pun merasa gemas melihat sikap dingin Albra yang kini menghadapi sikap lugunya Qyen, wanita yang baru mereka temui kurang lebih satu jam yang lalu.
“Qyen ….”
Terdengar gumaman Alan diantara mereka. Albra sangat tidak tega melihat anaknya yang sangat-sangat lemas hari ini.
“Iya … kamu butuh sesuatu?” tanya Qyen dengan suara lembut, sambil mengusap kepala bagian belakang Alan.
Alan menggelengkan kepalanya untuk menjawab pertanyaan dari Qyen.
Tahu anaknya sedang kesakitan, Albra pun berbicara. “Sabar sayang, sebentar lagi kita sampai rumah sakit,” kata Albra sambil sesekali melihat kearah kaca spion. Bukan-bukan melihat Alan, lagi-lagi yang ia lihat adalah wajah kebingungan dan kekhawatiran Qyen, sambil sesekali mengusap rambut Alan dengan lembut. Melihat hal itu, entah mengapa hati Albra merasa nyaman, namun ia harus teringat dan kembali kepada kenyataan bahwa ia tidak akan bisa hidup berdampingan bersama wanita.
Tak beberapa waktu lama, akhirnya mereka pun sampai di rumah sakit, dan kini Albra memarkirkan mobilnya di gedung bagian belakang rumah sakit karena mereka akan langsung pergi melalui jalur VVIP.
Ian turun dan berlari untuk mengambil kursi roda dari beberapa perawat yang sudah menunggunya, sedangkan Albra ia pergi membukakan pintu mobil untuk Qyen.
Qyen turun dari mobil, tak sengaja matanya bertemu dengan mata dingin Albra yang terlihat sangat tajam, dan kini Qyen salah fokus karena ia sudah melihat dengan jelas ketampanan Albra yang tercetak jelas di depan wajahnya.
Untuk menghilangkan kegugupan itu, ia pura-pura melihat kearah lain agar terhindar dari pandangan Albra. Kursi roda sudah tersedia, Qyen mencoba menurunkan Alan untuk duduk di kursi roda, namun hasilnya nihil. Alan masih memeluk leher Qyen dengan sangat kencang.
“Alan, kita sudah sampai di rumah sakit, ayo duduk di kursi roda,” kata Qyen mencoba untuk membantu Alan.
Alan tidak menjawab, dan kini terdengar suara Albra. “Duduk saja, Alan tidak mau turun,” kata Albra.
“Saya?” tanya Qyen yang bertanya satu kali lagi.
Ian yang gemas, ia pun ikut berbicara. “Iya, Lo duduk aja, Alan pasti nangis kalau dipaksa,” kata Ian.
Qyen mengangguk dengan ragu, ia pun duduk di kursi roda sambil memangku Alan. Kursi roda pun mulai berjalan, tapi sebentar … ia melihat ada 3 orang perawat tadi, dan kini ke tiga perawat itu bersama Ian pergi berjalan didepannya. Lalu, siapa orang yang mendorong kursi rodanya? Tak sengaja, Qyen melihat bayangan dirinya dan juga Albra yang tengah mendorong kursi rodanya di kaca.
Entah mengapa, tanpa sebab jantung Qyen lagi-lagi berdetak lebih kencang. Mereka diantarkan menuju lantai 4, dimana lantai itu adalah lantai untuk pengobatan anak-anak, dan juga tersedia kamar rawat inap di lantai yang sama.
“Silahkan masuk, sebentar lagi dokter akan datang,” ucap seorang suster yang mempersilahkan mereka masuk ke dalam sebuah ruangan inap yang sangat besar, namun interior di dalam kamar ini dibuat untuk anak-anak.
Qyen sedikit takjub melihat kamar luas ini karena ia baru tahu jika kamar rawat inap anak-anak pun tersedia. Bahkan kamar ini lebih luas 5 kali dibanding kamarnya.
Qyen bangun dan kini meletakkan Alan yang sudah tertidur di atas kasur rumah sakit yang juga di design untuk anak.
Tak menunggu lama, dokter laki-laki yang masih terlihat muda pun datang dan langsung memeriksa Alan.
Qyen mencoba menjauh dari Alan karena ia tidak ingin menggangu dokter yang sedang memeriksa Alan, namun ternyata Alan sedikit menangis dan mencari Qyen.
“Kenapa menangis?” tanya Albra sambil mengusap lengan anaknya.
Alan menunjuk Qyen yang berada di dekat Ian, sambil memanggil namanya. “Qyen …” kata Alan.
Ian yang mendengar itu ia pun mengacungkan jempolnya kepada Alan, dan menarik tangan Qyen untuk mendekat kearah Alan dan juga Albra. Ian mundur, dan kini Albra berdiri bersebelahan dengan Qyen.
“Kamu tau aku akan disuntik? Bisakah kamu pegang tanganku, Qyen? Aku takut sekali,” kata Alan yang membuat semua orang di sana tertawa, termasuk Albra yang sedikit tersenyum.
“Kamu memanggil nama Mamamu dengan sebutan nama?” tanya dokter itu sambil memasukan jarum infus di tangan kanan Alan.
Albra terkejut mendengar pertanyaan dari dokter itu, namun ia penasaran dengan jawaban dari Alan.
“Mamaku? Ah … akupun berharap begitu Pak Dokter,” kata Alan dengan santai.
Ian sudah menahan tawanya melihat wajah Albra yang sangat canggung di sana, begitupun dengan Qyen yang hanya bisa tersenyum kecil saja.
“Aw … aw sakit sekali,” kata Alan tiba-tiba yang membuat Albra dan Qyen terkejut, sontak keduanya tak sengaja memegang kaki sebelah kiri Alan secara bersamaan. Tidak, tangan mereka tidak berdampingan, tapi tangan mereka bersatu di kaki kecil Alan.
Tak sengaja ternyata Albra memegang tangan kecil Qyen yang sedikit dingin, jika seperti ini judulnya, Albra bukan memegang kaki Alan, melainkan memegang tangan Qyen yang terlebih dahulu sudah memegang kaki kiri Alan.
Tahu dimana letak kesalahannya, keduanya pun langsung sedikit menjauh.
Alan yang kini sudah tidak merasa sakit, ia pun memperhatikan Qyen dan juga Albra ayahnya. “Papa? Qyen? Kalian baik-baik saja? Kenapa wajah kalian memerah?”
Lagi dan lagi dokter, perawat dan juga Ian tertawa, melihat wajah lugu Alan yang berbicara seperti itu kepada orang dewasa.
Pengobatan sudah selesai, kini Alan sudah tertidur karena pengaruh obatnya. Qyen kini tidak bisa beranjak dari duduknya karena itu adalah permintaan Alan sebelum tidur.
“Diminum.” Qyen melihat ada sebuah botol minuman isotonic di depan wajahnya dan yang memberi itu adalah Albra.
Qyen menerima botol itu dan mengucapkan terimakasih.
“Sepertinya ….”
“Kamu ….”
Keduanya pun berbicara bersamaan. Qyen terus saja merasakan degup jantungnya yang sangat kencang. Bagaimana bisa ia selalu saja dihadapi oleh situasi seperti ini.
“Silahkan berbicara,” kata Albra.
“Se … sepertinya saya harus pergi ke kantor polisi agar urusan saya selesai,” kata Qyen yang berbicara pelan agar tidak mengganggu tidur Alan.
“Alan bagaimana? Dia bisa marah kalau kamu pergi,” ucap Albra.
“Alan sudah bertemu dengan Bapak, waktunya saya pergi,” kata Qyen satu kali lagi.
Albra mengangguk. “Baiklah, akan saya antarkan kamu menuju kantor polisi. Ini sebagian dari tanggung jawab saya karena kamu sudah menolong anak saya.”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 80 Episodes
Comments