Di dalam sebuah kamar gelap, ada sebuah lilin kecil menyala untuk menerangi kegiatan dua orang manusia yang tengah melakukan makan malam sederhana. Mereka adalah Qyen dan Alan, mereka bisa makan dengan nikmat dan tenang walaupun di dalam suasana listrik tengah padam.
“Alan, aku enggak tau kalau kamu di rumah, kamu makan apa. Mungkin makanan malam seperti ini kurang untuk ….”
“Syut … jika sedang makan, Papa bilang mulutnya tidak boleh berisik,” kata Alan santai tanpa melihat kearah Qyen. Lagi dan lagi, Alan selalu saja memotong pembicaraannya. Qyen kini curiga jika Alan adalah manusia renkairnasi dari raja terdahulu, karena ia masih merasa tidak percaya jika ucapan itu keluar dari mulut anak kecil ini.
“Ya … kamu selalu menang dalam hal apapun,” kata Qyen yang kini menyerah untuk berbicara kepada Alan.
Mereka pun kembali makan dengan tenang. Menu makan malam kali ini adalah nasi hangat, telur goreng, dan juga pangsit goreng, karena hanya ada bahan makanan itu saja yang aman di makan oleh anak-anak. Sisanya Qyen hanya memiliki makanan pedas siap saji, ia tidak mungkin memberikan makanan itu kepada Alan, atau Alan akan bersabda nantinya.
Qyen membereskan peralatan makan mereka. Dalam hatinya ia sedikit mendumel karena masih kesal dengan anak kecil bernama Alan itu.
“By the way, aku tidak tau siapa nama kamu,” kata Alan yang kini sudah berada di atas tempat tidur Qyen.
“Kamu tidak perlu tahu siapa namaku. Panggil saja ‘kak’,” jawab Qyen yang tak mau kalah dari Alan.
“Masih kecil sombongnya minta ampun. Dia gak tau kalau ibu ayahnya lagi kelimpungan cari dia …” ucap Qyen pelan sambil pergi menuju dapur.
Ketika sesampainya di dalam kamar dan Qyen ingin mengambil selimut di dalam lemarinya, ia pun mendengar Alan berbicara. “Hey, aku belum tau siapa nama kamu. Papaku bilang, tidak sopan jika berkenalan tapi tidak tahu nama,” kata Alan.
Qyen yang merasa terpancing dengan anak bule itu, ia pun mendekat kearah Alan dan menjulurkan tangannya. “Namaku Qyen. Sudah? Kamu hanya perlu memanggil aku Kak Qyen. Okey, Alan?” mereka pun berjabat tangan dan Alan pun menganggukkan kepalanya.
“Okey, Qyen,” jawab Alan tanpa rasa berdosa.
Kali ini kekesalan Qyen memuncak, di atas kepalanya Qyen bisa merasakan api yang sangat besar menyambar. Bahkan hal itu berbarengan dengan datangnya kilatan petir yang cukup terang dan setelahnya suara petir pun terdengar. Untuk meredakan kekesalan itu, ia pun menarik dan membuang napasnya dengan perlahan. Sepertinya ia harus lebih bersabar menghadapi anak milenial yang pinter berbicara seperti Alan ini.
“Boleh aku buka tas kamu? Untuk mencari informasi dimana rumah kamu, agar aku bisa mengantar kamu sampai ke rumah esok hari,” kata Qyen. Pikirnya, kini lebih baik ia harus mencari jalan untuk mengembalikan anak ini kehabitatnya, maksudnya kepada keluarganya. Qyen yakin jika keluarga Alan pasti sangat khawatir karena anak pintar mereka ini hilang begitu saja.
“Sure, Qyen. Boleh aku tidur terlebih dahulu? Mendengarkan suara hujan seperti ini rasanya mataku mulai ngantuk,” katanya yang lagi-lagi berbicara seperti orang dewasa.
Qyen mengangguk, sepertinya membiarkan Alan tidur akan membuat dirinya sedikit tenang hari ini. “Ya, tidur saja. Jangan lupa baca doa.”
Alan megangguk, Qyen bisa melihat jika Alan mulai mencari posisi tidur ternyamannya di atas satu-satunya kasur yang Qyen miliki. Malam ini sepertinya Qyen harus tidur di sofa dengan selimut tipisnya. Tidak apalah, ia harus mengingat jika ini adalah salah satu kemanusiaan untuk menolong orang di cuaca rawan bencana seperti ini.
Setelah menyiapkan selimut, kini Qyen duduk di sofa yang terlihat sudah sedikit usang. Ia pun mengambil tas Alan yang berwarna biru, menyalakan satu lilin agar ia bisa melihat dengan jelas apa saja yang ada di dalam tas Alan.
Setelah mengeluarkan benda-benda yang ada di dalam sana, ia pun melihat ada 3 buku bacaan, kotak pensil, botol minum, kotak bekal, dan satu name tag bertali, juga Qyen bisa melihat jika semua benda itu berwarna biru. Tidak ada benda lain yang tersimpan di dalam tas Alan yang bisa memberikan informasi untuk Qyen.
“Orang tua macam apa yang tidak menyediakan payung di tas anaknya?” gumam Qyen untuk memecah keheningan.
Suara hujan masih terdengar sangat jelas bahkan kini angin pun semakin berhembus dengan sangat kencang. Sebenarnya hati Qyen merasa khawatir karena takut jika Alan akan menangis di malam hari dan meminta dirinya untuk mencari orang tuanya dimana. Namun sepertinya tidak, dari sini, Qyen bisa melihat jika Alan tidur dengan sangat damai.
“Alan … Alan … mimpi apa aku kemarin bisa bertemu sama anak pintar kaya kamu,” ucap Qyen lagi. Tak sadar bibirnya membentuk senyuman, jika dilihat-lihat ia bisa mengakui Alan sangat-sangat tampan dan juga lucu. Tapi balik lagi dengan melihat kenyataan, jika sifat Alan tidak selucu wajahnya, karena Alan sangat menyebalkan.
“Fokus, Qyen … kamu harus bantuin Alan besok …” kata Qyen yang kini mulai membuka buku-buku Alan.
“Max Alan …” gumam Qyen melihat sebuah nama tercetak jelas di buku sampul Alan.
“Name tag ... name tag ….”
Kini Qyen beralih mengambil name tag Alan, di sana terlihat jelas ada sebuah foto yang memperlihatkan Alan dengan seorang laki-laki dewasa. “Sepertinya … ini ayahnya deh,” kata Qyen yang tidak terlalu peduli dengan siapa laki-laki itu.
“Children International School?” tanya Qyen kepada dirinya sendiri.
Ia kini mencari ponselnya untuk mengetahui dimana letak sekolah itu, agar esok hari ia bisa mengantarkan Alan menuju sekolahnya. Setelah menemukan ponselnya, Qyen baru tersadar jika malam ini sedang ada pemadaman listrik, dan tidak ada satu koneksi internet pun yang tersedia.
“Aku tau daerah sekitar sini, tapi aku gak tau dimana letak sekolah Alan. Sepertinya besok pagi aku harus cepat-cepat mencari informasi di internet,” kata Qyen.
Jam sudah menunjukkan pukul 22.00 sudah cukup malam. Qyen membereskan barang-barang Alan, lalu ia bersiap-siap untuk tidur. Tak lupa ia memastikan jika Alan terselimuti dengan benar karena cuaca kali ini sangat-sangat dingin, ia pun mengusap kepala Alan dengan lembut sambil mengucapkan, “selamat malam, Alan. Tidur yang nyenyak ….”
Setelah itu, ia mematikan lilin dan tertidur, agar esok ia bisa bangun lebih pagi.
Di sisi lain, dua laki-laki dewasa tengah berada di dalam mobil dan kembali menelusuri jalanan untuk mencari dimana keberadaan Alan. Ada Albra dan Ian, kini Albra yang menyetir mobilnya, dan Ian yang memperhatikan jalanan.
“Gue yakin banget Alan pasti baik-baik aja,” kata Ian yang masih menyemangati dirinya.
Melihat situasi yang tidak memungkinkan, kini pikiran Albra menjadi kacau. Ia semakin khawatir dengan anak sematawayangnya itu.
“Polisi lagi nyari kearah kota, sebaiknya kita pergi ke jalan menuju sekolah Alan,” kata Ian yang melihat maps diponsel canggihnya. Kini pencarian mereka dibantu oleh polisi dan beberapa pengawal Frans agar Alan cepat ditemukan.
Jam sudah menunjukkan pukul 23.49 Albra hampir menyerah untuk mencari Alan malam ini karena hal ini tidak memungkinkan.
“Sepertinya kita belum bisa mencari Alan malam ini. Hujan semakin deras, kondisi jalanan tidak stabil, dan tingkat kecelakaan semakin tinggi, dan juga … saya yakin Alan tidak akan ada dijalanan,” ucap Albra yang merasa ikatan batinnya masih kuat terjalin dengan baik kepada anaknya.
Ian mengangguk. “Alan anak mandiri, dia pasti melakukan segala cara biar bisa bertahan hidup,” tambahnya.
Kini mereka diselimuti keheningan, ketika melewati sekolah Alan, Albra memutuskan untuk pergi ke sekolah Alan dan kembali mencari informasi sebanyak-banyaknya di sana. Walaupun batinnya percaya jika Alan akan baik-baik saja, namun pikirannya masih kacau.
Mereka disambut baik oleh penjaga sekolah dan juga ada beberapa guru yang turut membantu memonitori pencarian Alan, karena sekolah ini adalah titik terakhir yang merekam keberadaan Alan.
“Selamat malam tuan Albra, kami tidak tau kejadiannya akan seperti ini. Sepertinya kami harus membenahi sistem keamanan di sekolah kami,” ucap salah satu guru yang notabenenya adalah wali kelas Alan.
Albra mengangguk. “Tidak sepenuhnya salah sekolah. Saya kesini hanya ingin memastikan jika ini adalah lokasi terakhir anak saya terlihat,” kata Albra yang kini melihat beberapa monitor CCTV yang sedang mengulang kejadian tadi siang.
“Bu, ada laporan jika dua anak perempuan selain Alan juga baru ditemukan tadi jam sepuluh di sebuah toko usang oleh polisi. Keduanya dalam keadaan baik dan mereka menangis kencang,” ucap seorang guru lainnya sambil melapor.
Mendengar hal itu, jantung Albra rasanya hampir copot. Seketika ia menjadi panik karena yang ditemukan hanya dua orang anak perempuan saja, lalu … kemana perginya Alan?
Kini Albra benar-benar tidak bisa diam saja, ia sudah mendapatkan gambar mobil yang sudah membawa Alan, ia pun bergegas pergi dengan terburu-buru bahkan ia meninggalkan Ian sendiri di dalam sekolah Alan. Kini pikirannya sudah tidak teratur, yang ada di dalam pikirannya saat ini hanya Alan.
Albra mengendarai mobil dengan kecepatan diatas rata-rata, ia menghiraukan badai hujan yang menghujami mobilnya. Bahkan kini pengelihatan di jalanan hanya berjarak 5 meter saja, tapi Albra tidak memperdulikan akan hal itu.
“Alan … kemana kamu, Nak …” gumam Albra yang tidak bisa berkata apa-apa lagi.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 80 Episodes
Comments