Senyum kecil Qyen sedari tadi masih menghiasi wajahnya. Saat ini, ia masih duduk di atas kursinya, menemani Albra dan Alan yang sedang makan malam. Qyen merasa ini adalah hal yang baru ia rasakan pertama kali di dalam hidupnya, mungkin ini akan menjadi gambaran nanti jika dirinya menikah. Terlarut dalam hayalannya, Alan pun bersuara untuk mengambil perhatian ayahnya dan Qyen.
“Aku sudah selesai makan. Sepertinya aku ingin pergi tidur,” ucap Alan sambil menghabiskan minumnya.
Qyen bangun dari duduknya, ia membereskan piring bekas Alan, lalu mengelap mulut Alan dengan tissue yang tersedia di atas meja. “Tunggu lima menit dulu, biar makanannya turun, baru kamu boleh tidur ya,” kata Qyen dan membantu Alan turun dari kursinya.
Alan mengangguk dengan lucunya. “Pa, boleh aku mengajak Qyen masuk ke dalam kamarku? Aku ingin memperlihatkan mainanku di sana,” izin Alan kepada ayahnya, Albra.
“Mainan kamu? Memangnya ada?” tanya Albra. Ia hanya ingat jika koleksi mainan Alan ada di rumah Frans, sang kakek.
“Ada, boleh, Pa?”
“Iya,” jawab Albra.
Qyen hanya bisa memperhatikan percakapan keduanya. Kini Qyen baru sadar dirinya seperti bola voli yang di over kesana-kemari, oleh bapak dan anak ini. Bahkan Qyen tidak tahu apa fungsi dirinya berada diantara mereka.
“Kenapa kamu diam? Alan menunggu kamu dikamarnya,” ucap Albra ketika melihat Qyen hanya diam saja dihadapannya.
“Aku boleh kesana?” Qyen bertanya terlebih dahulu, bertujuan agar ia tidak bersikap berlebihan dan menyinggung baik Albra ataupun Alan.
Albra terkekeh sedikit. “Silahkan, kamu pasti sudah tahu bagaimana watak Alan jika tidak dituruti.”
Qyen tersenyum canggung, tidak ada pilihan lain, kini Qyen melepaskan celemeknya lalu pergi menuju kamar Alan yang tak jauh dari dapur.
Alan menunjukkan kamarnya yang berwarna putih, dengan kasur berbentuk mobil berwarna biru, juga kamar untuk anak kecil ini terlihat mewah. Bahkan sepertinya kamar Alan lebih besar 7 kali lipat dari kamar Qyen.
Selesai bercerita mengenai kamarnya, dan menggosok giginya ditemani oleh Qyen, kini anak kecil itu berbaring dikasurnya.
“Tidur yang nyenyak, Alan. Selamat malam,” ucap Qyen sambil mengusap rambut pirang Alan.
Qyen melihat Alan sudah menutup matanya, ia pun menyalakan lampu tidur dan mematikan lampu utama, hal itu sudah dikatakan Alan sebelum tidur kepada Qyen. Hendak keluar dari kamar Alan, Qyen mendengar ada suara yang berasal dari Alan. “Terimakasih, Qyen,” ucap Alan dengan pelan namun masih Qyen dengar.
Qyen tersenyum sangat lebar, ia pun membalas ucapan terimakasih Alan di dalam hatinya, lalu menutup pintu kamar Alan dengan pelan. Ternyata secuek apapun sikap Alan, seaneh apapun anak kecil itu, Alan masih memiliki sikap hangat dan baik hati.
Selesai dengan Alan, kini tujuannya untuk pulang ke rumah. Tak sengaja Qyen melihat jam dinding yang sudah menunjukkan pukul 11 malam, dengan terpaksa Qyen harus menaiki taksi, karena sepertinya sudah tidak ada angkutan umum malam ini. Tapi sebelum pulang, Qyen harus membersihkan dulu dapur apartemen Albra dan menyusun belanjaan ayah tunggal itu.
Ketika hendak berjalan menuju dapur, ternyata masih ada Albra yang duduk di kursi meja makan dengan gelas dan botol alkoholnya. Qyen merasa gugup karena malihat perubahan ekspresi wajah Albra yang sepertinya sedikit mabuk. Namun hal itu tidak menghilangkan ketampanan dan kegagahan Albra.
Qyen melangkahkan kakinya pelan untuk bisa melewati Albra dan berjalan menuju dapur. Ternyata piring kotor yang berada di atas meja kini sudah berada di dalam wastafel. Qyen pun mulai mencuci piring dan setelah itu ia kembali meneruskan membereskan belanjaan Albra yang belum tersusun dengan baik.
Tak butuh waktu lama, semua pekerjaannya pun selesai. Qyen melihat Albra kini menunduk dan menyimpan kepalanya dilipatan tangan. Tidak ingin membuang waktu karena hari semakin malam, Qyen mengambil kantung belanjaannya yang besar itu dan ia bawa menuju pintu keluar, namun pada saat baru saja hendak membuka pintu, suara pecahan gelas pun terdengar.
‘PRANK!’
Qyen tergelonjak kaget, tanpa berpikir panjang, Qyen menyimpan kantung belanjaannya dan pergi menuju sumber suara. Hatinya berkata jika itu adalah Albra, dan benar saja, Albra kini sedang berdiri dengan sempoyongan dan ada darah ditangannya.
“Pak Albra!” teriak Qyen karena terkejut.
“Hah? Saya tidak sengaja memecahkan gelas itu,” kata Albra yang berusaha membereskan pecahan beling yang berserakan.
Qyen memiliki situasi yang tidak mengenakan sekarang, karena ia tidak tahu harus bersikap bagaimana. Hanya ada dua pilihan saat ini, jika ia menolong Albra, otomatis ia harus berkontak fisik dengan Albra, dan akan ada konsekuensi yang akan ia terima. Namun jika ia tidak menolong Albra, ia merasa kasihan, apalagi Albra sedang mabuk.
“Aish! Pak Albra stop!” teriak Qyen yang merasa sangat frustasi.
“Hmmm …” hanya muncul gumaman kecil dari Albra.
Qyen menahan tangan Albra agar tubuhnya tidak ambruk terjatuh, ia tidak tahu seberapa banyak alkohol yang Albra konsumsi sampai mabuk berat seperti ini.
“Aduh … berat banget sih, Pak …” keluh Qyen yang kini membiarkan Albra untuk merangkul pundaknya. Qyen pun tidak ada pilihan lain selain membawa Albra masuk ke dalam kamarnya sendiri.
“Maaf ya, Pak. Aku masuk ke kamar kamu, kalau kamu tidur di luar sepertinya kamu akan sakit besok.”
“Hmm …” gumaman kembali Albra lontarkan.
“Gak usah mabuk, kalau kamu gak kuat,” ucap Qyen dengan nada jutek. Persetan jika Albra akan melihat dan mendengarnya di CCTV nanti, ia hanya merasa kesal kepada Albra hari ini.
Ketika masuk ke dalam kamar Albra, Qyen bisa mencium bau kemewahan yang berasal dari dalam kamar Albra ini. Interior yang ada didalamnya pun terlihat sangat-sangat mewah dan semua barangnya terlihat mahal.
“Stop, Qyen. Kamu bukan pencuri,” gumam Qyen disaat pikiran jahatnya kemana-mana.
Selesai membantu Albra untuk berbaring diatas kasurnya, Qyen pun menarik napasnya dalam-dalam dan menghembuskannya.
“Nyusahin banget sih jadi orang,” kesal Qyen lagi.
“Pak, Pak Albra.” Ia mencoba memanggil Albra yang kini matanya tertutup rapat. Qyen rasa, Albra benar-benar mabuk.
“Gak denger lagi. Haduh ….”
Qyen keluar dari kamar Albra untuk mencari kotak obat, agar ia bisa mengobati tangan Albra yang mengeluarkan darah cukup banyak.
“Di mana ya kotak obatnya?” Qyen mencari di seluruh laci yang ada di rumah ini, sampai akhirnya ia menemukan kotak itu di dalam sebuah kotak yang berada di dekat rak buku Alan.
Qyen kembali masuk ke kamar Albra, mencuci tangan Albra dengan air hangat dan mencabut beberapa pecahan gelas yang masuk ke dalam kulitnya. “Pak Albra, jangan suka nyakitin diri sendiri, kalau Alan tau kamu suka mabuk kaya gini, dia pasti kecewa. Anak kecil punya pandangan lain ketika melihat hal-hal buruk yang ada di sekitar mereka,” ucap Qyen yang telaten membersihkan luka Albra sambil duduk di atas kasur Albra.
“Oh ya?”
Qyen sangat luar biasa terkejut. “P … Pak?” tanya Qyen disaat melihat Albra yang membuka matanya yang sudah memerah dengan lebar dan segar.
“Saya tidak mabuk di depan anak saya,” jawab Albra.
Qyen mnetralkan ekspresinya, ia pun kembali mengobati luka di tangan Albra. “Iya, bagus kalau begitu. Maaf aku pegang tangan kamu, Pak. Aku harus obatin dulu luka kamu,” ucap Qyen yang tidak lagi melihat kearah wajah Albra. Mengapa orang yang mabuk sangat random sekali.
“Sepertinya ini kotak obat punya Alan?” pikir Qyen ketika melihat semua plester ini bergambar kartun dan juga buah.
Tidak memperdulikan hal itu, ia pun dengan cepat menempelkan plester bergambar kartun itu ke jari telunjuk dan jari jempol Albra yang sudah ia perban.
Selesai, ia pun membereskan kotak obatnya, dan melihat kembali ternyata Albra kembali menutup matanya. Ketika hendak berdiri dan kali ini ia benar-benar akan memutuskan untuk pulang, namun ada satu kejadian yang terjadi kembali.
Albra bangun dan memuntahkan semua isi perutnya, bahkan sampai mengenai baju yang Albra pakai.
Qyen ternga-nga melihat itu, ia pun meninggikan suaranya karena sangat kesal dengan kelakuan Albra yang sudah diluar batas. “Pak Albra!!”
“Huftttt … mimpi apa aku semalem,” rengek Qyen yang merasa terjebak di dalam sini.
Tidak tega melihat Albra yang terkulai lemas, mau tak mau Qyen pun harus membantu Albra untuk membereskan kekacauan ini.
“Aku harus gimana? Aku gak tau kalau orang mabuk gini harus dikasih apa,” ucapnya gusar.
Dengan wajah pucat, Albra kembali tertidur dengan piyamanya yang sudah terkena kotorannya sendiri. Qyen tidak sedikitpun jijik dengan hal itu, hanya saja ia lelah dan mengapa ia harus kembali terjebak dengan hal-hal aneh yang ada di sini, juga Qyen merasa kasihan melihat Albra yang wajahnya sudah pucat.
Satu cara yang harus Qyen lakukan adalah dengan membuka baju Albra. “Pak Albra udah gak sadar. Biarin deh, aku buka bajunya, besok aku tinggal minta maaf lewat Ian. Kalaupun dia salahin aku, dia sendiri yang salah.”
Qyen membuka satu persatu kancing piyama Albra, sampai semua kancing itu terbuka dan di waktu yang bersamaan, ia bisa melihat dengan jelas betapa seksinya perut Albra dengan pola kotak-kotak yang terhias di sana. Apalagi, ia melihat itu berbarengan dengan melihat wajah Albra yang sedang tertidur sangat pulas, dengan hidung mancung, bulu mata lentik dan bibir pink tebalnya.
Tangan Qyen sedikit bergetar, ia pun menelan ludahnya dengan kasar. Ia menahan napasnya sampai berhasil untuk membuka pakaian atas Albra.
“Huh … huh … huh … mimpi apa aku semalam tuhan ….”
Qyen yang tidak sanggup melihat badan Albra yang sangat menggoda itu, ia pun dengan cepat menutup tubuh Albra dengan selimut agar ia tidak lagi melihat hal-hal aneh yang membuat tubuhnya memanas.
Setelah membereskan kekacauan itu semua, tak sadar jam sudah menunjukkan pukul 1 malam, Qyen kini merasa takut untuk pulang sendiri ke rumah. Ia pun duduk di kursi ruang tamu Albra. Sepertinya ia memutuskan akan menginap di sini dan pulang ke rumahnya pukul 5 pagi nanti. Lagipun jaga-jaga, jika ada sesuatu yang terjadi di sini.
“Aish, kenapa ada noda darah di baju aku?” tanya Qyen sambil melihat kearah cardigannya. Sepertinya ini adalah darah Albra.
“Huft … kalau aku pulang sekarang, aku takut walaupun aku naik taksi. Oke, aku bakal izin Pak Albra buat tidur sebentar di sini sebelum aku pulang nanti pagi.”
Qyen memutuskan untuk meringkuk di atas sofa ruang tamu apartemen Albra yang cukup dingin ini. Kejadian yang Qyen alami hari ini, tidak pernah terlintas sedikitpun di dalam pikirannya. Bukannya lelah, tapi mengapa Qyen merasa senang?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 80 Episodes
Comments