Richard memacu kendaraan dengan kecepatan tinggi agar segera sampai ke tujuannya. Seharian di hina oleh orang-orang yang hanya melihat sisi luar, membuatnya murka. Dia sungguh butuh pelampiasan kemarahan kali ini.
Tidak perlu waktu lama mobil tersebut pun mulai memasuki kawasan terpencil di mana tidak ada bangunan lain di sekitar. Setibanya di tempat itu, Rich langsung menuju ke ruang bawah tanah dan sang wanita langsung mengikuti di belakangnya.
"Berapa orang yang kalian bawa ke sana?" Rich bertanya sambil memasang sarung tangan dan juga masker. Tidak banyak yang tahu siapa dia sesungguhnya, bahkan sang paman. Jika saja mereka tahu jati dirinya yang asli, untuk menatap matanya pun pasti tidak akan berani, apalagi menantang maut dengan menghinanya.
"Delapan orang. Satu orang ketuanya."
Wanita itu membuka pintu. Aroma khas ruang bawah tanah sudah tercium di sana. Di tambah suasana remang dan bau anyir, menyebabkan bibir Rich melengkung menikmatinya dengan mata terpejam sejenak. Dia pun duduk di sebuah kursi khusus untuknya. Rich menatap sinis para pria yang kini tidak bisa lagi berkutik.
“Hei! Siapa kalian? Kenapa menangkap kami, hah?” teriakan salah satu pria yang menyerang Richard terdengar begitu jelas. Kini mereka duduk terikat di kursi dengan penutup kepala di sebuah ruangan. Delapan orang berhasil ditangkap tanpa mereka tahu apa alasannya.
"Buka penutup kepala mereka," perintah Rich.
Anak buah Rich membuka penutup kepala para penyerang itu, memerlihatkan wajah-wajah pria dengan kulit hitam dan brewok panjang di dagu yang menambah kesan mengerikan. Ada juga yang memiliki beberapa bekas sayatan luka, terlihat begitu jelas di wajah mereka. Akan tetapi, tidak masalah bagi Richard.
"Tuan, siapa Anda? Kami tidak punya masalah apapun dengan gangster lain. Apalagi … kalau kalian adalah mafia," ucap pria itu sambil melihat orang-orang di sekitar mereka.
"Benarkah? Apa sebegitu mudahnya kau melupakan aku?" Mata elang yang menyalang dengan aura mengerikan, ditambah seringai di kala tangan Richard membuka masker yang menutup wajahnya, berhasil membuat jantung mereka berhenti berdegup saat itu juga.
"Kau?" Masing-masing orang yang mengenal wajah itu sontak membelalakkan mata. Baru beberapa jam yang lalu mereka berpisah, tetapi tampaknya Rich tidak berniat untuk melepaskan mereka sedetik pun.
"Masih mengenaliku?" Suaranya yang datar menyebabkan aura yang dikeluarkan Richard sungguh berbeda dengan sebelumnya.
Namun, tampaknya para penyerang itu masih tidak menyadari jika nyawa mereka kini berada di ambang batas antara hidup dan mati. "Dasar pengecut! Beraninya menyerang dari belakang!" Teriak salah satu pria sambil berusaha meludah ke arah Rich.
Sebuah tawa menggelegar memenuhi ruangan. Bak iblis yang siap menjerumuskan manusia ke dalam neraka, Richard terlihat semakin mengerikan. Bagi mereka yang tidak menyadari, mungkin hanya mengira itu tawa meremehkan.
Akan tetapi, tidak untuk ketua kelompok tersebut. Dia sungguh sadar, kalau pria di depannya bukanlah sosok biasa, seperti orang-orang yang dia hadapi sebelumnya.
Tawa Richard di akhiri dengan sebuah helaan napas panjang. "Sayang sekali jika kalian masih belum menyadari situasi ini." Dia lantas berdiri dari posisinya, melangkah mendekat sambil memasukkan kedua tangan ke dalam sakunya. "Tapi sepertinya ketuamu bukanlah orang yang bodoh," ucap Rich lirih penuh intrik dan ekspresi bak boneka Chucky.
"Apa yang kau inginkan?" tanya ketua kelompok itu tanpa basa-basi ketika wajah keduanya hanya berjarak beberapa senti.
Kali ini sebuah tepuk tangan dari Richard terdengar begitu jelas. Dia berbalik dan tersenyum. "Aku suka dengan kecerdasanmu."
"Ketua, kenapa harus takut dengan orang sepertinya, hah? Dia hanyalah pria tidak berguna yang beraninya menyerang dari belakang." Teriak seorang pria lainnya. Dia merasa berbangga diri karena sebelumnya sudah berhasil melukai Rich. Dalam hatinya berpikir jika Rich bukanlah apa-apa kalau tanpa orang-orang di sekitarnya yang kini menangkap mereka.
"Benar begitu. Teruslah menghinaku agar aku tidak perlu lagi alasan untuk menghabisimu. Tapi, bersabarlah sebentar! Aku akan bermain-main denganmu setelah ini," kata Rich pada orang itu. Dia lantas kembali melihat sang ketua kelompok itu. "Aku akan memberikan kalian satu kesempatan. Biasanya aku bukanlah orang yang berbaik hati. Tapi, mau bagaimana lagi. Sepertinya aku harus beramal baik hari ini. Katakan! Siapa orang yang membayar kalian untuk menyerangku malam ini? Akan ku pertimbangkan lagi bagaimana masa depan kalian nanti." Pria tersebut menatap tajam ke arah mereka. Bukan Rich namanya jika takut hanya dengan melihat wajah-wajah pria di depannya.
Wajah-wajah meremehkan, tetapi berubah menjadi kucing liar yang kelaparan ketika nyawa mereka sudah di ambang batas.
"Kau hanyalah pria miskin yang tak berguna. Apa yang bisa kau lakukan pada kami, hah!" Seorang pria lagi-lagi berteriak mengejek pada Rich. Berhasil di saat sekali menyerang terlalu membuatnya sombong, padahal Richard sesungguhnya sengaja membiarkan dirinya terluka saat pertarungan tadi.
Wanita di samping Rich yang geram dengan ejekan pria tersebut pun sontak memukul wajah pria yang berbicara kasar pada Richard kuat-kuat. "Jaga bicaramu! Mulutmu terlalu kotor."
"Akan aku tunjukkan seperti apa rasanya menjadi pria miskin yang tak berguna!" Rich mendekat ke arah pria itu dengan sebuah senyum seringai mengerikan. Dia membuka belati lipat yang dibawa dan mengarahkan ke wajah pria tersebut seakan membelainya. "Mulutmu terlalu kecil untuk berbicara, bagaimana jika aku melebarkannya? Kita lihat saja apa nanti kau bisa berbicara lebih banyak lagi?"
Suara teriakan kesakitan pria itu menggema di seluruh ruangan. Darah segar seketika keluar di kala pisau itu mengoyak kulitnya dengan perlahan. Rasa sakit membuat tubuh pria tersebut bergetar hebat karena tidak mampu menahan penyiksaan. Hal yang tidak pernah dia bayangkan, di saat Richard tanpa berkedip memegang wajahnya dan mengoyak sudut bibirnya begitu saja.
Para pria lain bergidik ngeri menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri, wajah mereka pucat pasi, pemandangan di depannya terlalu mengerikan jika dibandingkan dengan film horor. Mereka menganggap pria di depannya bukanlah manusia. Lebih mirip dengan jelmaan iblis berwujud manusia.
"Bagaimana? Apa kau sudah bisa berbicara lebih banyak kali ini? Oh iya, mulutmu itu sangat kotor, biarkan dia membantumu membersihkannya." Richard berbalik sambil mengusap darah yang menempel di belati dengan kain. "Siram dia dengan air cuka!" Perintahnya pada sang anak buah.
Seorang pria langsung menyiram orang itu dengan seember air cuka. Suara teriakan terdengar semakin keras memenuhi ruangan tersebut hanya dari seorang pria. Sementara itu, teman-teman yang melihatnya merasa ngeri mendengar kesakitan teman mereka. Tidak ada satu pun orang yang berani menelan ludah, bahkan untuk bernapas pun seakan tidak lagi mampu.
"Jika kalian tidak mengatakan siapa dalang dari penyerangan tadi. Jangan harap bisa keluar dari sini!" Richard berbicara dengan santai sambil minum whiskey yang ada di meja. Penyiksaan yang baru saja terjadi seakan tidak menimbulkan kesan apa-apa bagi Richard dan hanya layaknya angin lalu. Tidak menjijikkan apalagi mengerikan baginya.
"Kami hanyalah orang bodoh yang berusaha merampok tanpa mengenal siapa Anda, Tuan. Mohon maafkan kecerobohan kami," ucap Ketua itu berbohong.
"Haruskah ku potong pusakamu? Aku tidak butuh omong kosongmu. Kau pasti tahu apa yang aku maksud." Suara tegas Rich membuat beberapa anak buahnya langsung merobek celana pria itu. Belati sebelumnya masih bermain di tangan Rich, sedangkan sang ketua merasa sudah salah bicara kali ini.
"Tuan Ben." Sang ketua menyebut nama ayah Rachel di saat tangan Richard sudah semakin dekat dengan tujuannya.
"Aku suka kejujuranmu. Cih, seharusnya kau mengatakan itu sejak tadi. Jadi tenggorokanku tidak akan kering karena berteriak. Katakan apa saja yang kalian lakukan untuknya!" Rich kembali memundurkan langkah dan duduk di kursi sambil kembali minum whiskey. Pendengaran sudah dia siapkan untuk segala informasi yang akan dia dapatkan kali ini.
Berulang kali Richard mengangguk ketika sang ketua bercerita. Sesekali ekspresinya berubah, tetapi masih mampu menahan emosi dengan mengepalkan tangan.
Helaan napas panjang terdengar begitu berat. Richard sejenak terdiam memikirkan bagaimana rencananya ke depan.
"Tu—tuan. Segala informasi yang kami ketahui sudah saya ceritakan. Anda tidak akan membunuh kami 'kan?" tanya ketua itu sedikit gugup.
Richard sedikit memanyunkan bibir, seolah sedang berpikir. Dia memanggil salah satu anak buah dan memberikan isyarat. "Lepaskan mereka, kecuali dia!"
Sebuah kartu Richard berikan di samping tangan ketua itu. "Namanu Alex, benar?"
Pria itu pun mengangguk sebagai jawaban.
"Di dalam sana ada sejumlah uang yang bisa kau gunakan untuk apa pun. Aku tidak peduli. Lakukan pekerjaanmu seperti biasa! Dan katakan sebagaimana seharusnya pada pria tua itu. Aku akan membiarkannya, lagipula aku sudah terluka, dia pasti cukup puas dengan kinerja kalian. Tapi untuk setiap informasi yang aku inginkan nanti, kau harus menyiapkannya. Biarlah dia puas menghinaku, sampai pada akhirnya, dia jugalah yang akan menangis darah karenaku."
Pandangan Rich beralih kepada pria yang sudah dia siksa sebelumnya. "Dia! Lemparkan saja ke rawa buaya di belakang, aku tidak butuh orang yang banyak bicara. Lagian, kasian Coco, sudah beberapa hari ini belum mendapatkan jatah daging segar." perintah Rich pada anak buahnya.
"Baik, Tuan," jawab anak buah Rich.
Tubuh Richard hendak berbalik, tetapi kepalanya menoleh sekilas.
"Jika ingin membocorkan tentangku kepada orang lain atau berkhianat, silakan saja! Tapi, jangan salahkan aku jika kau tidak bisa bertemu dengan putri kecilmu. Tidak percaya? Coba saja!"
Alex sontak membelalak mendengar ancaman Rich. Baru beberapa jam yang lalu kelompok mereka ditugaskan untuk memberinya pelajaran, tetapi ternyata pria itu bahkan mengetahui kelemahannya dengan sangat cepat. "A—aku mengerti."
"Berpura-pura kita tidak pernah bertemu malam ini." Rich kembali melanjutkan langkah, meninggalkan ruang bawah tanah itu. Dia mengeluarkan sebuah cerutu ketika tiba di luar, sambil menikmati semilir angin malam. Hanya ada sang wanita yang masih mengikutinya dari belakang.
"Apa rencanamu kali ini?" tanya wanita itu sambil menyerahkan sebutir pil pada Rich.
"Kau akan tahu nanti."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 85 Episodes
Comments
Putri Ilham
masih penuh teka teki... lanjut kak
2023-01-06
0