Kedua bola mata Rich semakin membulat sempurna, di kala pandangannya membaca setiap baris kalimat yang tertera pada kertas di tangannya. "Apa maksudnya ini, Paman?" tanya Rich dengan wajah begitu syok.
"Seperti yang kau lihat! Apa aku masih harus menjelaskannya? Kupikir untuk lulusan S2 terbaik sepertimu tidak akan terlalu bodoh dalam memahami setiap kata yang tertera di sana." Sinis Reymond.
Days yang merasa penasaran dengan pembahasan putra serta cucunya lantas meraih kertas tersebut dan ikut membaca. Entah apa yang ingin Reymond lakukan kali ini, tetapi sebagai orang tua, dia jelas tahu jika putranya hanya melakukan hal yang akan berguna bagi masa depan Richard nanti.
"Kau mau mencabut semua fasilitasku? Lalu bagaimana aku akan hidup?" protes Rich.
"Hanya ada dua pilihan. Kau bisa membaca di lembar selanjutnya," jawab Reymond santai.
"Paman, kau bercanda 'kan?"
"Apa aku pernah bermain-main denganmu?" Dengan santai Reymond mengambil sebatang rokok dan menyalakannya. Sudah waktunya bagi Rich mengerti jika hidup tanpa uang, maka wanita tidak akan ada yang bersedia mendekatinya nanti.
"Jika kau tidak bersedia bekerja menjadi OB di perusahaan. Maka sebaiknya kau angkat kaki dari sini sekarang tanpa sehelai benang pun. Apa yang kau gunakan saat ini adalah milik keluarga Days. Bahkan nama yang selalu kau gunakan juga berasal dari keluarga ini."
Asap tebal mulai mengepul ke udara dari mulut Reymon, sedangkan Rich menatap memelas ke arah kakeknya, berharap pria tua itu membelanya kali ini. "Kakek, bukankah Paman sudah sangat keterlaluan?"
Sayangnya tidak ada respons pembelaan dari sang kakek, hingga Rich pun menatap tajam ke arah sang paman. "Paman, apa kau sengaja berencana menguasai harta dengan menyingkirkan aku?"
"Kenapa? Apa tidak boleh? Lagi pula aku juga keturunan asli Papa, sedangkan kau. Kau pasti sudah tahu jawabannya." Sebuah perkataan yang menyakitkan sengaja Reymond lontarkan. Getaran di tangan Rich tampak begitu jelas, menyebabkan sudut bibir Reymond sedikit terangkat akan reaksi keponakannya. "Lagi pula, daripada kau menghamburkan uang bersama sembarangan wanita di luar sana. Lebih baik aku mendonasikan segera dengan beberapa panti asuhan. Mungkin hal itu lebih berguna, andai saja malaikat maut lebih berniat menjemputmu dibandingkan aku dan papa."
"Kakek." Rich berusaha memelas. Selama ini dia selalu hidup berkecupan. Bagaimana bisa tiba-tiba menjadi miskin. Bisa-bisa terbongkar sudah semua sifat aslinya nanti.
"Ah satu lagi. Kau harus boleh tinggal di tempat yang sudah kupersiapkan. Jangan menginap di sini tanpa seizinku! Kalau kau ingin pergi ke tempat para wanitamu itu, silakan! Itu pun jika mereka masih menganggap mengenal dirimu setelah tahu kau tak memiliki apa pun."
"Paman!" Rich berdiri dari posisinya. Emosi jelas menyelimuti diri pria itu. Namun, sang paman tampak tak peduli sedikitpun dengan reaksinya saat ini.
"Waktu terus berjalan. Kau punya waktu sepuluh detik untuk berpikir. Dihapus dari daftar keluarga Days atau turuti perintahku dalam jangka waktu yang tidak ditentukan." Rey melirik jam yang melingkar di pergelangan tangannya. "Lima, empat, tiga—"
"Baiklah! Aku akan bekerja di perusahaan," ucap Rich dengan kesal.
"Jack!" Panggil Reymond.
"Ya, Tuan."
Reymond hanya memberikan isyarat, tetapi Jack segera memahami maksud maksud majikannya.
"Hei! Apa yang kalian lakukan!" Protes Rich di kala satu per satu barang branded yang melekat di tubuhnya di lucuti begitu saja oleh Jack.
"Sesuai perjanjian. Kau hanyalah pria biasa saat ini. Aku sarankan agar tidak membongkar siapa dirimu sebenarnya. Karena aku menjamin, mereka hanya akan menertawakanmu," ucap Reymond memperingatkan. "Bawa dia!"
"Sekarang?" Ucap Rich dengan kedua mata yang terbelalak. "Haruskah aku pergi sekarang?" Rich meronta-ronta, berusaha melepaskan diri dari para pengawal yang kini menggiringnya. "Hei, Paman. Bukankah kau terlalu kejam?" teriak Rich ketika mereka semakin menjauh.
Days yang menyaksikan keputusan putranya hanya bisa menghela napas panjang. "Bukankah kau terlalu keras padanya, Rey?"
"Sudah waktunya Rich belajar kerasnya hidup, Pa. Jangan terlalu membelanya. Kita tidak tahu kapan mereka mulai bergerak. Kita tidak mungkin membiarkan Rich kalah dalam pertarungan itu nantinya."
___________
Di sisi lain, seorang wanita dan asistennya juga tengah gusar memikirkan keputusan sang ayah. Bak jatuh tertimpa tangga hidup yang dia jalani. Kehilangan kekasih hati, kehormatan dengan pria asing, kini malah di paksa menikahi pria yang jelas tidak akan dia suka. Tidak mungkin baginya menerima pinangan dari pria tua beristri banyak itu.
Dia baru saja selesai mengisi sebuah acara, tetapi hal pertama yang menyambut di ponselnya adalah pesan dari sang ayah supaya tidak terlambat pulang ke rumah, karena si tua bangka akan melamar hari ini juga.
"Sis, menurutmu bagaimana jika aku melarikan diri saja?" tanya Rachel ketika mereka sudah tiba di mobil.
"Tidak mungkin kau bisa lari dari Daddynmu, Rach. Kau tahu dia bisa melakukan apapun untuk menyeretmu kembali. Lagi pula tidak mungkin selamanya kau bersembunyi, bagaimana dengan pekerjaanmu?" ucap Siska—sang asisten.
"Benar juga." Batin Rachel kesal, dia lantas melihat ke arah luar mobil yang bergerak. Satu per satu pepohonan berlalu begitu saja tanpa meninggalkan kenangan. Akankah hidupnya juga hambar?
"Akh!" Hanya dengan memikirkan masa depannya yang akan suram saja membuat Rachel merasa frustrasi. Dia mengacak-acak rambutnya dengan kesal dan menendangkan kaki ke depan.
"Putar balik. Antar aku ke klub malam."
"Tapi, Rach. Daddymu akan murka kalau sampai tahu kau tidak segera pulang."
"Sis, ku mohon kali ini biarkan aku melepas masa lajangku dulu. Kau tahu seberapa ketatnya jika aku hidup di kalangan orang kaya. Mereka akan menuntut lebih, kebebasanku hilang sekejap mata. Setidaknya biarkan malam ini aku bersenang-senang," ucap Rachel memelas sambil menangkupkan kedua tangan.
Siska hanya bisa menghela napas berat. "Baiklah, terserah kau saja. Tapi aku tidak mau menanggung kemarahan daddy mu nanti. Lebih baik kau cari alasan sendiri yang masuk akal."
"Kau memang yang terbaik."
Rachel keluar dari mobil dengan mengenakan kaca mata hitam, masker, topi, serta hoody. Dia menghentikan taksi, demi menghindari para penguntit yang masih berkeliaran.
Satu hal yang pasti, jangan sampai dia mabuk malam ini atau masalah yang dihadapi akan lebih besar nanti.
Sesaat kemudian, Rachel tiba di klub malam. Dia mengedarkan pandangan ke segala arah, mencari posisi sembunyi terbaik. Namun, sepertinya tempat favoritnya sudah digunakan oleh seorang pria yang berusaha mabuk karena begitu banyak botol minuman di depannya. "Tunggu, aku sepertinya pernah melihat dia."
Tanpa ragu, Rachel bergerak mendekati pria yang duduk seorang diri itu sambil sesekali mencoba menutupi wajahnya.
"Boleh aku bergabung." Tanpa malu, Rachel merebut gelas pria itu dan langsung duduk di sampingnya begitu saja.
"Kau!" Dengan segera Rachel membekap mulut pria di depannya.
"Jangan keras-keras! Banyak paparazi di sini!" bisik Rachel sambil menoleh ke kanan dan kiri.
"Menyingkirlah! Jangan ganggu aku!" Kesal Richard mengambil kembali gelas miliknya.
"Tidak! Aku akan tetap di sini. Lagi pula kulihat kau juga sama menyedihkan seperti diriku." Tangan Rachel memberikan isyarat kepada pelayan agar mengambilkannya gelas juga. "Seharusnya aku yang kesal karena dia sudah berani mengambil keperawananku. Tapi kenapa dia malah terlihat lebih gila daripada aku saat ini?" Batin Rachel.
Tidak ingin berdebat sebab suasana hati yang buruk, Rich pun membiarkan Rachel bertindak sesukanya.
"Sudahlah bukan urusanku juga. Setidaknya aku bukan menyerahkan kehormatanku kepada pria brengseek bermulut manis itu," ucap Rachel dalam hati.
Rachel yang tadinya berjanji pada diri sendiri untuk tidak mabuk, kini malah berbalik dan minum cukup banyak. Menyebabkan dia berceloteh ria sejak tadi tanpa henti.
"Kau tahu, seharusnya kau merasa terhormat karena sudah menikmati keperawananku. Dunia ini sangat tidak adil bagi orang sepertiku. Di saat pria yang kucintai di ambil oleh adikku sendiri, Daddyku malah menjodohkanku dengan rekan bisnisnya yang tua. Cih, menyebalkan. Dia bahkan sudah memiliki sembilan istri," celoteh Rachel setengah sadar bercerita keluh kesahnya pada pria asing yang bahkan namanya saja dia tak tahu.
"Cih, haruskah aku berterima kasih padamu karena memberikan kehormatan itu?" Sekilas Rich melirik wanita di sampingnya itu. Tampak bukan lagi usia muda seperti wanita lainnya. Di mana kebanyakan dari mereka sudah kehilangan harga diri di usia dini. "Entah harus bersyukur atau tersungkur karena harus bergumul dengan wanita tua sepertimu. Namun, terkadang hidup memang tak adil. Tapi, setidaknya kau kaya," ucap Rich kembali menenggak minuman.
"Aku memang kaya. Tapi, tak punya kebebasan."
"Apalah artinya kebebasan tanpa uang?" Tanpa sadar keduanya saling bercerita, membayangkan hari-hari mereka ke depan dalam pikiran masing-masing.
"Huft, seandainya saja aku bisa membuat pria tua bangka itu menyerah menikahiku," ucap Rachel mengembuskan napas panjang.
"Sewa saja gigolo untuk menjadi suami sewaan."
Sontak Rachel menatap tajam pria di sampingnya. Kenapa pula dia tidak terpikirkan hal itu sejak tadi. Jika dilihat-lihat, pria di sampingnya lumayan tampan. "Bagaimana kalau kau saja yang menjadi suamiku? Asalkan kau bisa membuat pria bakotan itu menyerah, aku akan membayar berapa pun yang kau mau."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 85 Episodes
Comments