Kepergian Bapak

Malam itu Moya tidak bisa tidur, hanya duduk di ayunan usang yang terbuat dari ban truk dan di ikat pada batang pohon kasturi.

Ayunan itu dibuat untuk Moya kecil oleh Bapaknya, agar Moya tidak rewel jika wak Meru sedang kedatangan tamu untuk meminta pertolongannya. Kadang ketika pohon kasturi mulai berbuah, Moya akan memanjat pohon tinggi itu dan menikmati buah kasturi di atas pohonnya langsung.

Tak terasa matahari mulai menyingsing, Moya beranjak dari ayunan dan mengambil nasi dingin sisa semalam kemudian mencampurnya dengan segenggam dedak dan sedikit air, Moya membagi nasi dedak ke beberapa wadah dan dalam seketika ayam-ayam peliharaan Moya datang menyerbu.

Moya lanjut berkeliling di kebun sekitar rumahnya, dengan parang yang terikat di pinggangnya, Moya mulai memenggal satu persatu buah nanas yang sudah tua, dan menebas pohon pisang yang buahnya sudah pantas dijual.

Mooyaaa ... Moooya ... Moooyaaaa ...

Sayup-sayup terdengar suara perempuan memanggil nama Moya, Moya pun bergegas berlari menuju arah suara.

Terlihat Acil Idah yang merupakan istri dari paman Ibran berlari memasuki halaman rumah Moya.

"Ada apa cil?" tanya Moya dengan wajah pucat, karena sudah merasakan firasat tidak enak.

"Bapakmu Naaak." Tangis Acil Idah pecah.

Moya pun terduduk lemas di atas tanah yang masih dihiasi dedaunan kering yang belum sempat ia sapu.

"Ba-pak." Lirih suara Moya yang tercekat di tenggorokan.

Acil Idah pun memeluk Moya dan menepuk punggung perempuan muda itu.

Beberapa saat kemudian, rumah Moya sudah dipenuhi pelayat yang menunggu jenazah Wak Meru, Moya terduduk linglung di kursi yang ada di bawah pohon ramania, Kursi panjang yang terbuat dari kayu ulin itu adalah tempat favorit wak Meru untuk melepaskan penatnya sembari menikmati asamnya buah ramania.

Moya mengelus kursi itu, matanya berkaca-kaca, dada nya sesak seolah ada beban berat yang menindih.

Tak berselang lama mobil ambulan datang memasuki halaman rumah Moya, para pelayat pun berdiri membantu mengangkat jenazah Wak Meru kedalam rumah.

Moya berlari mendatangi tubuh Bapaknya yang sudah kaku, menatap wajah keriputnya untuk yang terakhir kalinya, batin Moya teriris melihat banyaknya luka lebam yang ada di wajah lelaki tua yang paling dikasihinya itu.

Moya memegang tangan Wak Meru yang sudah dingin, ada gemuruh di dada nya yang seakan membuatnya tak sanggup bernafas lagi.

...*********...

setelah tiga hari tiga malam tanpa tidur karena harus melaksanakan proses pemakaman sesuai adat di desa Nangtaruh, Moya merebahkan tubuh lunglainya di atas dipan kayu yang dialasi tikar purun. Moya mengedarkan pandangannya ke sekeliling dinding kamar wak Meru yang penuh dengan gantungan parang, mandau, sumpit beserta dameknya. Moya tiba-tiba teringat akan sesuatu yang janggal, Moya pun bangkit dan mulai mencari-cari barang yang dirasanya tak ada pada tempatnya.

"Kemana mereka??" gumam Moya.

Dengan tergesa Moya mengayuh sepedanya menuju rumah paman Ibran.

Paman Ibran melihat siluet Moya yang mengayuh sepeda dari kejauhan, dia pun bergegas meninggalkan rumahnya, dan tak lupa berpesan pada istrinya, "Nanti kalau Moya datang mencariku, bilang saja aku sedang angkut barang ke Lawakunde."

Tak berselang lama Moya sampai di halaman rumah paman Ibran, Acil Idah pun keluar menyambut kedatangan Moya dengan tersenyum.

"Cil, paman Ibran ada kah??" tanya Moya cepat.

"Tidak ada Nak, sudah pergi sejak tadi pagi angkut barang ke Lawakunde," sahut Acil Idah rikuh.

Moya yang menangkap gelagat aneh dari Acil Idah, memutuskan untuk segera pamit kembali kerumah.

"Ada apa sebenarnya? kenapa Paman Ibran menghindariku?" Batin Moya terusik.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!