Moya Si Anak Dukun
Kriiiiiet ... kriiiettt ... kriiiiet ...
Suara pedal sepeda Moya memecah keheningan Desa Nangtaruh di pagi buta.
Moya terhenti sejenak di tengah perjalanan dan duduk mengamati se ekor ular sepanjang lima meter sedang menyebrangi jalan.
"Habis makan kau ya??" ucap Moya pada si ular.
Ular yang belum bisa berbahasa manusia itu pun tetap berlenggok menyeret badan beratnya ke semak belukar di seberang jalan.
Moya pun melanjutkan perjalanannya yang tertunda.
Setelah satu setengah jam mengayuh sepeda bututnya, akhirnya Moya sampai ke tempat tujuannya, sebuah pasar tradisional tempat dia menjual ayam kampung peliharaannya.
"Bagaimana kabar bapak kau Moya??" sapa seorang pria tua si tengkulak ayam, sambil melihat-lihat ayam kampung yang dibawa Moya.
"Baik Wak," jawab Moya singkat.
"Berapa ekor ini semua??" tanya si tengkulak lagi.
"Sepuluh ekor Wak," sahut Moya lagi.
Wak Tandir mengeluarkan uang seratus ribuan sebanyak empat lembar, dan dengan senyum genit Wak Tandir meraih tangan Moya dan menyerahkan uangnya dengan cara menggenggam tangan Moya.
Moya pun terlihat risi, dan segera menarik tangannya dari genggaman tangan Wak Tandir, serta buru-buru pamit meninggalkan lapak Wak Tandir.
Setelah membeli beberapa barang titipan Bapaknya, Moya kembali mengayuh sepedanya melewati jalan setapak yang dipenuhi pepohonan di sekitarnya. Desa Nangtaruh memang di kelilingi hutan, dan hanya dihuni oleh lima puluh kepala keluarga, bahkan jarak satu rumah dengan rumah lainnya bisa sampai satu kilo meter.
Moya menyandarkan sepedanya di bawah pohon rambutan yang ada di halaman rumahnya.
"Laku berapa Nak??" tanya Wak Meru pada putri semata wayangnya itu, sembari mengupas buah kelapa yang akan digunakan Moya untuk memasak sayur.
"Tadi Wak Tandir kasih empat ratus ribu pak untuk sepuluh ekor," jawab Moya.
Moya lanjut berjalan ke sungai kecil yang ada di belakang rumahnya, dan mengambil beberapa seroak yang dia pasang semalam.
tiga buah seroak terisi penuh dengan ikan saluang dan dua buah seroak yang lain terisi dengan ikan kehong berukuran sedang.
Moya memasukkan ikan tangkapannya ke dalam ember, dan lanjut mencari buah cempedak muda untuk diolah menjadi sayur.
"Besok subuh Bapak mau ke seberang, kemungkinan pulang larut malam," jelas Wak Meru pada putrinya.
"Dijemput siapa pak?" tanya Moya.
"Paman Ibran," sahut Wak Meru.
"Memangnya siapa yang sakit pak??" tanya Moya lagi sembari membereskan piring bekas makan mereka.
"keluarga Paman Ibran yang di seberang katanya sakit parah, minta Bapak supaya liat."
Di tengah obrolan mereka, tiba-tiba mereka dikejutkan oleh beberapa orang yang mendatangi rumah mereka sambil membawa anak kecil yang kejang dengan nafasnya yang sudah tersendat-sendat.
Sang ibu dari si anak mulai menangis karena mencemaskan si anak.
"Wak Meru ... saya minta tolongin anak saya," ucap Ibu si anak kepada Wak Meru.
Bapak Moya memang seorang dukun yang sering dimintai pertolongan oleh warga kampung sekitar, karena jauhnya rumah sakit dan lembaga kesehatan lainnya serta susahnya akses, membuat mereka lebih sering minta tolong ke dukun daripada pergi berobat ke dokter.
Wak Meru mulai komat kamit merapalkan sesuatu yang Moya pun tak paham, tangannya menyentuh kepala si anak, dan meniup ubun-ubun si anak sebanyak tiga kali, dan dalam sekejap si anak langsung sadar dan bernafas dengan normal kembali.
"Terimakasih Wak Meru, Tarimakasih sekali." Ucap Ibu si anak dengan tangis yang tersisa di sudut matanya, sambil menyelipkan uang kertas dua puluh ribuan ke tangan Wak Meru.
Sepulangnya orang-orang dari rumah Moya, Wak Meru menyerah kan uang kertas dua puluh ribuan yang diterimanya tadi kepada Moya.
"Ini disimpan baik-baik." Wak Meru menyodorkan uangnya kepada Moya.
Moya pun menyambut dan memasukkan uang itu ke dalam kaleng bekas biskuit yang telah usang.
Moya memang hanya hidup berdua dengan Wak Meru, sedangkan ibunya telah pergi meninggalkan Moya sejak Moya masih berusia satu tahun.
Keesokan hari nya Moya menyiapkan segala keperluan Wak Meru, tak lupa Ia mengemas nasi dan lauk yang dibungkus daun pisang untuk bekal makan di perjalanan, karena jarak dari desa Nangtaruh ke kampung seberang memakan waktu yang cukup lama.
...***...
Di tengah malam Moya terbangun oleh gemuruh angin dari pepohonan yang mengelilingi rumahnya.
Moya membuka jendela, dan menatap keadaan sekitar yang sunyi sepi dan hanya ada lampu kecil sebagai penerangan halaman rumah Moya.
"Kenapa bapak belum pulang??" gumam Moya sendirian.
Tiba-tiba ada segerombol burung gagak terbang mengelilingi rumah Moya, Moya pun kembali menutup jendela rumahnya.
Burung gagak itu takhenti-henti nya berteriak seolah hendak mengabarkan sesuatu.
Perasaan Moya mulai tak tenang sembari menunggu kepulangan bapaknya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments
Danie a
mantap👍👍 lanjut
2022-12-16
1