Aku duduk di kursiku. Sedangkan si bos lagi anteng sama kertas-kertas yang masiih aja numpuk.
Moon maap nih, kita duduk dimari kayak pajangan aja ya. Ini pak bos, belum ngasih kerjaan apa-apa loh daripagi selain bikin kupi.
"Nanya nggak yah?" gumamku dalam hati.
Tanganku gatel daritadi, nulis nggak adabyang mesti ditulisin, mau ngetik nggak ada yang bisa diketikin, mau ngitung nggak ada duit yang bisa aku itungin.
Ngedoprok aja disini, diem-dieman sama si bos. Mau nanya takut dibentak. Belum siap mental aing ngadepin bos galak begini, kecuali udah jadi bini, eh.
Aku mendekat, berdiri dengan canggung di depan mejanya pak Raga.
"Pak, ada yang mau saya tanyakan," ucapku sopan.
"Tanyakan saja," ucapnya cuek.
"Saya dari pagi belum absen. Saya tidak tau meain absennya dimana---"
"Disini," ucapanya menunjuk wajahnya, dia melihatku.
"Maksud Bapak?"
"Kamu setor muka aja ke saya!" dia kembali fokus dengan dokumen yang ada di meja.
"Bapak jangan kurang ajar, ya? walaupun sayaa asisten Bapak. Bukan berarti Bapak boleh bertindak seenaknya sendiri, Pak. Saya juga punya harga diri!" ucapku penuh emosi.
Walaupun kita rakyat jelata, tapi jangan mau diinjek- injek sama orang kaya.
Pak Raga yang tadinya fokus sama kerjaannya sekarang duduk dengan kaki ditumpangin kaki satunya, terus tangannya dia lipet di dada sambil nampilin satu senyuman mengejek, "Hah, otakmu itu isinya apa sih sebenernya?"
"Tadi Bapak kan bilang kalau---"
"Saya bilang kamu setor muka sama saya, artinya kamu hanya perlu datang di ruangan ini. Tidak perlu pakai mesin absen karena saya sendiri yang akan menilai pekerjaanmu, mengerti?" ucapnya.
"Oh ya, ketika sudah seleaai jam kerja, itu berarti kita menjadi sepasang kekasih. Dan itu artinya kamu wajib memanggil aku dengan sebutan Sayang, babe, honey, tapi jangan sweety karena itu seperti merk pampers bayi!" ucapnya lagi.
Gimana gimana, jadi secara nggak langsung aku kerja 24 jam dong. Kerja jd asisten dan habis itu jadi pacar pura-pura.
"Jangan khawatir, saya akan membayarmu dengan jumlah yang sepadan..."
"Untuk berapa lama? Maksudnya sampai kapan saya harus menjadi pacar pura-pura anda, Pak?"
"Sampai nenekku kembali ke Belanda!" ucap pak Raga.
"Lalu, pekerjaan apa yang harus saya lakukan sebagai asisten?"
"Menyiapkan semua keperluan saya, dan menemani saya kemana pun saya pergi. Dan satu hal lagi, saya tidak suka dengan orang yang suka terlambat!" ucapnya.
"Bawa dokumen ini dan berikan pada Erna!"
"Semua dokumen ini?"
"Ya, semua. Cepat kerjakan!" tunjuk pak Raga pada setumpuk dokumen.
Aku mengangkat dokumen yang setinggi gunung itu.
"Ya ampun, ada gila-gilanya nih bos kalau nyuruh," akubngedumel dalam hati.
Pas di depan pintu aku berhenti, "Maaf, Pak. Bisa tolong bukakan pintunya? saya kesulitan," ucapku dengan dokumen yang hampir menutupi wajah.
"Aaiishhh, kau sangat merepotkan!" pak Raga bangkit dan jalan sambil ngedumel.
Lalu dia bukakan pintu buatku, "Terima kasih, Pak!"
Duuh, jalan ke mejanya mbak Erna ini loh ya susah ampun deh ah.
"Mbaaak? mbak Erna, ini mau ditaruh dimana?" tanyaku pada mbak Erna yang lagi duduk.
Tapi si mulut cabe malah diem-diem bae. Astogehhh, sing sabar ya Rachel. Ngadepin orang setengah waras emang susaah.
"Mbak ini dari pak Raga loh!" ucapku.
"Taruh di meja sana," ucap mbak Erna. Aku taruh nih tumpukan dokumen di tpat yang dia bilang tadi.
Dia tuh nggak bilang makasih atau sejenis ucapan basa-basi gitu. Emang bikin gedeg nih perawan tua.
Mau balik ke ruangan pak Raga, tapi aku dapet callingan panggilan alam. Ac di ruangan itu dinginnya kayak kulkas, bikin aku pengen beser mulu.
Mumpung di luar, aku ke toilet dulu aja. Walaupun di dalam ruangan itu juga ada toiletnya tapi masih canggung lah. Secara disitu ada pak Raga, nggak enak aja.
Aku pergi ke toilet yang ada di ujung lorong. Di lantai ini lumayan sepi. Di lantai ini cuma ada ruangannya pak Raga dan satu ruang pertemuan yang luas banget. Pokoknya yang masuk kesini yancuma yang berkepentingan aja.
Aku masuk ke salah satu bilik. Jadi bilik toiletnya yang bawahnya bolong tuh. Jadi kita bisa tau kalau di bilik itu ada orangnya atau nggak. Cuma ada 3 bilik di toilet ini. Aku masuk yang di tengah-tengah.
Pas aku udah masuk, dan lagi duduk di kloset. Eh ada yang buka pintu. Mungkin mbak Erna pikirku.
"Hemmm hemmm hmmm," dia bersenandung, tapi kalau dari suaranya bukan mbak Erna nih.
Ah, mungkin itu tamunya pak Raga atau bisa jadi para direktur yang lagi tepe-tepe sama pak Raga, tebar pesona gitu. Secara yang masuk ke lantai ini bukan orang sembarangan.
Tapi nih orang kayaknya berhenti didepan bilik aku, ya udah aku teriakin aja.
Di dalem ada orang, di sebelah aja ya. Bilik di samping kosong tuh," ucapku yang kemudian mencet flush.
Dan setelah benerin baju dan lain-lain, aku buka pintu. Dan aku liat perempuan itu jalan tapi jalannya lok aneh, pas diliat ke bawah. Nggantung cuy!
"Kabuuur!" aku ngibrit keluar. Di lorong yang sepi ini aku lari-larian dan ngebuka ruangannya pak Raga gitu aja tanpa ketok pintu.
Dan tau nggak di ruangan itu ada siapa? Ada mbak Erna. Ngedeprok, nglembruk di lantai.
"Kamu darimana saja, Rachel..?!!" pak Raga gregetan.
"Eh nganu, Pak..."
"Nganu-nganu apa? ngomong yang bener?" pak Raga naik satu oktaf.
"Dari toilet yang ada diujung lorong," jawabku.
"Astaga, di dalam sini itu ada toilet. Ngapain kamu keluar? bikin susah aja!".
Moon maap nih, pak Raga mrepeeet mulu ngomel. Nih mbak Erna gimana nasibnya? Dilalerin dia yang ada.
"Ini Mbak Erna kenapa, Pak? kok glosoran di bawah? Bapak nggak lagi---" tanyaku.
"Jaga pikiran kamu, Rachel!" ucap pak Raga.
Dia nunjuk pakai tangannya, "Angkatin ke sofa,"
"Lah kok saya, Pak? mana saya kuaat?" ucapku.
"Terus harus saya juga yang angkat?" pak Raga marah-marah.
"Ya udah sih, Pak. Jangan ngegas mulu, ntar cepet tua baru rasa," gumamku sambil mencoba ngangkat mbak Erna
"Kamu bilang apa Rachel?"
"Saya cuma bilang, Mbak Erna berat, Pak. Lama-lama pinggang saya encok ini," ucapku dengan susah payah mindahin mbak Erna ke sofa.
Kebanyakan dosa nih mbak Erna. Kok ya berat banget, dan akhirnya aku berhasil mindahin tuh orang duduk di sofa.
"Hhh ... edun ah, berat banget?!" ucapku yang mundur beberapa langkah.
Tapi tiba-tiba.
Klekkk?!!
Kakiku terkilir.
"Aaaaaaaaaawwwhhh?!!" aku memekik.
"Makanya jangan pecicilan?!" pak Raga bukannya bantuin tapi malah ngomelin.
"Amsyooonggg, apes banget aku ya Allah!" ucapku dalam hati.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 145 Episodes
Comments
Kamiem sag
Erna kenapa mak
2024-01-10
0
Zuhril Witanto
🤣🤣🤣🤣🤭
2023-12-25
0
Alice Hartn
kata kata nya itu loh bikin ngakak🤣
ini cerita seperti real,
2023-06-07
1