"Ya ampuun!" aku deg-degan, diem jadi patung.
Mataku membulat saat aku denger dengan telingaku sendiri kalau ada orang yang jalan dan suaranya semakin dekat.
"Yassalaaaaaammmm, cobaan apa lagi ini ya Allah!"
"Heh, kamu tidak dengar? saya bilang minggir!" orang itu berdiri dibelakangku, duh kepriben.
Dengan berat hati aku noleh, dengan muka yang nggak bisa dikondisikan sebelumnya. Dan berdirilah sosok pak Raga di depan mata. Cool, gagah, galak dan jauh dari tipe cowok-cowok rumpi. Maap-maap aje ye, cowok sekarang kan emang suka begitu. Muka boleh ganteng, badan boleh keker tapi mulutnya suka pada julid ngalah-ngalahin ibu-ibu komplekan gitu.
Pak Raga masih ngeliatin, aku nggak ndongak.
"Maaf, motor saya mogok. Saya dorong dulu kalau begitu, Pak. Permisi..." Aku ngangguk bentar, dan pas mau dorong motor, tau-tau pundakku di tepok sama dia.
"Tunggu! aku sepertinya familiar dengan motor ini!" ucapnya.
"Mo-motor saya pasaran, Pak. Sudah jelas Bapak pasti familiar, motor seperti ini kan pasti suka seliweran di jalan..." aku ngeles. Padahal jelas-jelas dia emang pernah naikin nih motor, jadi udah pasti familiar.
"Motornya memang pasaran, tapi tidak dengan helm dengan sticker anak ayam berwarna kuning ini..." Pak Raga ngetuk helm ku yang ada stikernya.
"Jadi, kamu karyawan di perusahaan ini?" Pak Raga masukin dua tangannya di saku celana dan dia condongin badannya ke arahku. Aku otomatis mundur.
"Eeh, iya..." aku gugup, takut kena SP.
"Dunia begitu sempit ternyata, sekarang minggirin motor kamu karena mobil saya mau lewat!" pak Raga tegakin badannya dan pergi gitu aja.
"Huufh!" aku bisa bernafas lega sekarang.
Tin!
Tin!
Tin!
Pak Raga menurunkan kaca mobil dan mengeluarkan tangannya, dia kibaskan seolah memberi isyarat kalau aku harus cepat minggir karena udah ngehalangin jalannya.
"Ya ampun nolongin juga nggak! malah disuruh minggirin motor," aku dengan susah payah mendorong motorku supaya memberi akses mobil mewah itu bisa lewat.
Dan wuzzzzz!
Mobil berwarna hitam itu akhirnya pergi juga.
"Dasar bos nggak sabaran!"
Akhirnya aku bisa mengumpatnya dengan bebas.
Kebetulan nggak jauh dari perusahaan ada bengkel motor. Setelah ngedorong motor lumayan pegel, aku taruh tuh motor di bengkel biar di benerin dan aku pesen taksi online buat ke rumah mbak Gita.
Sebelum nyampe tujuan, aku minta berhenti dulu untuk membeli beberapa camilan untuk Nayla. Aku hafal jajanan yang dia suka. Setelah semuanya dapat, aku baru melanjutkan perjalanan menuju rumah mbak Gita.
"Makasih ya, Pak!" aku sodorin uang buat bayar ongkos.
"Oh ya, makasih juga, Mbak! dicek dulu, Mbak takut ada barang bawaan yang ketinggalan," kata si supir taksi.
"Nggak ada, Pak. Maksih..."
Aku keluar dari mobil dan berjalan menuju rumah mbak Gita.
Namun...
PRANG!
Suara benda seperti piring jatuh.
"Kamu ngapain aja daripagi, hah?" suara Bram membentak.
"Mamaaaaa!" Nayla memanggil mamanya dengan isakan tangis.
"Ada apa lagi ini?" gumamku. Aku tinggalkan belanjaanku di teras, dan masuk buat nyari tau ada keributan apa di dalem rumah kakakku.
Dan ya, apa yang ada di meja makan semuanya berhamburan di lantai.
"Mbak Gita?" aku mau lari tapi mbak Gita segera teriak.
"Jangan kesini, Dek! ada banyak pecahan piring di bawah!"
"Ini lagi simulasi gempa bumi apa gimana, Mbak?" aku nyindir mas Bram yang emang temperamen.
"Bereskan!" suruh mas Bram. Dia ngeloyor pergi gitu aja keluar sambil banting pintu.
Braaaaakkkk!
"Astagfirllah, kesambet dimana
sih tuh orang?" gumamku.
Aku celingukan nyari sapu atau apa gitu buat ngumpulin nih piring yang udah dibikin melayang.
"Chel, udah. Biar Mbak ajaaah!" cegah mbak Gita.
"Nggak apa-apa. Mbak tenangin Nayla aja dulu, kasian dia..." ucapku.
Mbak Gita narik satu kursi di meja makan dam duduk sambil mangku anaknya.
"Nay takut," ucap Nayla.
"Jangan takut, Sayang. Ada mama disini, ya..." ucap mbak Gita dengan linangan air mata.
"Udah, Dek! nanti biar mbak aja..." kata Mbak Gita nyuruh aku buat berhenti.
"Aku bukan kuda lumping yang nyemilin beling!"
"Nanti kamu luka, kamu kan nggak pernah ngurusin kayak begituan!" ucap mbak Gita.
Tapi aku nggak dengerin, aku ambil kantong keresek dan masukin tuh pecahan beling ke dalamnya, "Udah santuy aja! ini udah selesai, tinggal pel dikit..."
"Aku jarang ngepel loh, Mbak. Jadi mbak harus beruntung hari ini tangan adek mbak yang sehalus kulit bayi ini mau nginem di rumah, Mbak..." kataku sok nyairin suasana sambil sesekali benerin kacamata yang melorot.
"Kacamata kamu kegedean itu, Dek!" ucap mbak Gita. Dia ngomentarin kacamataku supaya dia ngalihin rasa sedihnya kali ya.
"Aku nyoba pakai soft lens kemarin tapi kayaknya nggak cocok, Mbak! lebih nyaman pakai kacamata, kalau capek tinggal taruh aja!"
Kelar urusan beres-beres. Aku bawa tuh belanjaan buat aku kasih ke mbak Gita.
"Kok kamu malah repot-repot sih?"
"Dih nggak lah. Ini kan buat ponakan aku yang cantik," kataku pada Nayla.
"Kita ke kamar Nayla aja, Chel..." kata mbak Gita.
Kita bertiga pindah ke kamarnya Nayla. Aku ngeliat mbak Gita lebih kurus dari sebelumnya. Mungkin karena capek banget ngelakoni tugasnya jadi ibu rumah tangga ditambah suaminya modelan kayak Bram yang bikin emosi tiap hari. Tapi mbak Gita orangnya nerimaan, dia nggak suka berdebat dan nggak suka ngelawan.
"Nayla ngantuk?" tanya mbak Gita setelah nutup pintu.
Nayla mengangguk. Mbak Gita yang udah hafal banget kalau Nay udah ngantuk tinggal modal tiup dan isik-isik punggung aja udah jadi mantra ajaib pun langsung melakukan kebiasaan itu.
"Ya elah, gampang banget molornya tuh anak!" gumamku.
"Alhamdulillah Nay nggak rewel jadi anak, Chel..."
"Nggak kayak bapaknya ya yang banyak tingkah?" aku sindir suaminya mbak Gita.
"Jangan gitu, Dek! kayak gitu juga suami Mbak,"
"Aku curiga mbak Gita ini kena peletnya mas Bram. Kok ya bisa orang kayak gitu masih dibelain! dengerin ya, Mbak! Mbak Gita itu berhak bahagia, berhak punya suami yang mencintai mbak Gita..." kataku sok paling mengerti soal rumah tangga.
"Mbak bahagia kok..."
"Aku nggak yakin itu," ucapku.
"Rumah tangga bahagia darimana kalau tiap marah suaminya suka banting-banting barang dan ngomongnya kasar? makanya aku nggak minat buat ngejalin hubungan ya kayak gini, Mbak! takut salah milih orang!" kataku yang emosi ngeliat mbak sendiri dikasari sama suaminya.
"Ssshhh, nggak baik ngomong gitu. Kamu juga butuh pasangan, buat nemenin mamu sampai tua nanti..."
"Aku milih nggak daripada tau-tau pas lagi apes dan dapet yang model dan typenya sama kayak mas Bram gitu..." ucapku. Mbak Gita cuma gelengin kepala aja denger ucapanku yang udah paling bener sejagat raya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 145 Episodes
Comments
Kamiem sag
Gita
2024-01-10
0
Zuhril Witanto
Rachel maksudnya 🤭
2023-12-25
0
Zuhril Witanto
kasian mbaknya gita
2023-12-25
0