Sosok pria itu perlahan mengayunkan kaki mendekati Diana. Dengan wajah yang juga memancarkan aura kemarahan, pria itu mencengkram bahu Diana sangat kuat.
Sampai Diana meringis kesakitan tapi pria itu sama sekali tak peduli.
"Anton, sakit," kata Diana berusaha melepas tangan Anton, mantan kekasih Diana.
"Aku dengar kamu akan menikah. Apa itu benar, Diana?" desis Anton tanda dia sedang marah besar.
"Iya, lalu kenapa?"
Anton mengguncang tubuh Diana. Api amarah semakin berkobar di dalam diri pria yang sudah menjalin kasih dengan Diana selama empat bulan.
"Harusnya aku yang tanya kenapa. Kenapa kamu menolak menikah denganku, lalu setelah itu aku mendengar kabar kamu akan menikah dengan pria lain?" Anton meraung sambil terus mengguncangkan tubuh Diana.
Sekali lagi Anton berteriak kencang, "Kenapa?"
Semua karyawan yang bekerja di butik milik Diana itu menatap sang majikan dengan tatapan kasihan, tapi mereka juga tidak bisa berbuat banyak karena wajah Anton yang begitu menakutkan.
Sekuat tenaga Diana menghempas tangan Anton dan mengusap bahu bekas cengkraman pria itu yang terasa perih.
"Ini sudah menjadi pilihanku dan sudah aku katakan, hubungan kita sudah berakhir jadi jangan pernah temui aku lagi!" kata Diana penuh penekanan.
Kemudian, tanpa disadari Anton, Diana memberi kode pada karyawannya untuk memanggilkan security. Karyawan itu menganggum setelah mengerti maksud Diana, dan segera menghambur keluar
Sedangkan secepat kilat, Anton menghimpit tubuh Diana ke tembok.
Anton yang sudah dikendalikan amarah dan nafsu pun mulai menggerayangi tubuh Diana. Membuat wanita berambut ikal itu merasa risih.
"Apa yang kamu lakukan? Hentikan!" Diana berteriak takut.
"Setidaknya sebelum kamu disentuh oleh suamimu, aku yang lebih dulu meninggalkan jejak di tubuhmu," kata Anton dengan mata yang telah dibutakan kabut gairah.
"Hentikan!"
Diana berteriak. Hanya itu yang bisa dia lakukan karena kedua tangannya dicekal dan tubuhnya dihimpit kuat oleh Anton.
Diana menutup mata, dan dia tidak merasakan sesuatu terjadi pada tubuhnya.
Hingga perlahan dia membuka mata dan terkejut kala Darell yang sudah menarik kerah baju Anton dan meninju wajah mantan kekasihnya.
Anton tersungkur jatuh ke lantai tapi dia segera bangkit kembali dan melayangkan tatapan tajam pada pria yang baru saja datang.
"Siapa kamu?"
"Aku calon suaminya Diana," Darell meremas kerah baju Anton. "Berani sekali kau mencoba melecehkan wanitaku."
Ada perasaan bahagia mendengar Darell menyebut sebagai wanitanya. Meski mereka menjalin hubungan palsu, tapi ucapan Darell terlihat tulus dari hati.
Detik selanjutnya, perkelahian pun tak dapat dielakkan antara Darell dan Anton. Dua pria itu saling memukul yang berakhir saat petugas keamanan datang memisahkan mereka.
Diana mendekati Darell, merapikan kaos yang berantakan akibat perkelahian tadi, serta mengusap darah yang mengalir di ujung bibir Darell dengan begitu lembut.
Diana melakukan itu semata-mata untuk memperlihatkan pada Anton di mana posisinya sekarang.
"Kurang ajar. Berani kamu merebut Diana," Anton kembali berteriak sekaligus memberontak.
Jika saja Anton tidak ditahan oleh dua petugas keamanan, pasti perkelahian babak kedua akan terjadi.
Diana dan Darell hanya diam ketika Anton diseret keluar. Lalu Diana menoleh pada Darell.
"Kenapa kamu bisa ada di sini?"
"Aku diminta Eyang Ranti untuk menjemputmu pulang."
Diana hanya ber-oh pelan. Kemudian membereskan pekerjaannya sebelum akhirnya pulang bersama Darell.
Mereka berdua pulang dengan Darell yang menyetir mobil Diana. Sepanjang perjalanan, sesekali Darell melirik pada Diana yang duduk sambil melamun memandang pemandangan luar jendela.
"Apa dia benar mantan pacarmu?" Darell melontarkan pertanyaan yang sejak tadi membuatnya penasaran.
Diana menoleh pada Darell sebelum menjawab, "Iya, memangnya kenapa? Kamu cemburu?"
"Aku tidak cemburu? Aku hanya heran," jawab Darell memandang lurus ke depan.
"Heran kenapa?"
"Kalau kamu punya mantan kekasih yang ingin menikah denganmu, kenapa kamu tidak menikah saja dengan pria tadi?"
Diana berdecak kesal seraya memutar bola matanya malas.
"Kamu lupa pada salah satu poin di surat perjanjian? Kita dilarang mencampuri urusan masing-masing," kata Diana ketus dan membuang muka.
Darell terdiam sejenak. Dia memang tidak hafal semua poin yang ada di surat perjanjian yang sudah mereka tandatangani, tapi rasa penasaran Darell sungguh besar pada wanita yang sebentar lagi menjadi istrinya.
"Waktu itu, kamu bilang ingin melupakan trauma yang terjadi di masa lalu. Apakah pria itu yang membuatmu mengalami trauma?" Darell kembali bertanya menghiraukan wajah Diana yang memberengut tidak suka.
Meskipun begitu, Diana hanya menghela nafas serta menggelengkan kepala.
"Bukan. Bukan dia. Tapi memang Anton membuat rasa takutku menjadi bertambah besar," sahut Diana dengan tatapan kosong.
Darell melirik Diana melalui ekor matanya agar dapat melihat raut wajah yang mengisyaratkan kesedihan.
"Apa yang kamu takutkan?"
Diana kembali berdecak. "Jalankan saja mobilnya dan tidak usah banyak tanya. Kita dilarang mencampuri urusan masing-masing, kamu ingat?"
Sepanjang sisa perjalanan, Darell dan Diana saling terdiam. Tak ada lagi obrolan di antara mereka.
Pikiran Diana terbang melayang pada kenangan masa kecilnya.
Flashback on.
Prang.
Suara piring pecah di malam hari membuat Diana kecil terbangun dari mimpi indahnya. Dia menoleh pada Tiara yang belum usianya belum genap satu tahun.
Tiara tidur sangat pulas tanpa terganggu sedikitpun oleh suara berisik dari arah dapur. Tapi tidak dengan Diana. Dia menyibak selimut dan turun dari ranjang.
Perlahan langkah kaki membawa Diana menuju tempat di mana sang ibu tergeletak di lantai sambil menahan isak tangis.
Manik mata Diana melebar dan segera dia menghambur pelukan ke tubuh ibunya.
"Ibu, ibu tidak apa-apa?"
Ibu Diana mendongak. Di tengah rasa sakit yang diderita, wanita itu masih bisa tersenyum mengusap pipi putri kecilnya.
"Ibu tidak apa-apa, Nak. Kamu tidur lagi saja. Jaga Tiara!"
Diana tidak menggubris ucapan ibunya. Dia menoleh pada pria yang berdiri tak jauh dari mereka dengan cambuk berada di tangan kanan.
"Ayah, jangan sakiti Ibu lagi!" teriak Diana.
Gadis berusia enam tahun itu merentangkan tangan seolah ingin menghalangi cambukan yang hendak dilayangkan sang ayah.
"Cambuk aku saja. Jangan sakiti Ibu lagi!"
"Baik. Terima ini, setan kecil."
Tak ada rasa kasihan ayah Diana mencambuk putrinya sendiri. Beberapa kali ujung cambuk mengenai punggung Diana dan meninggalkan bekas merah di sana.
Diana meringis kesakitan, serta badannya ambruk ketika cambukan ke sepuluh.
Tubuh Diana dipeluk oleh sang ibu yang tak henti-hentinya menangis.
"Cukup, Mas. Dia anak kita."
"Kalian berdua, rasakan ini."
Flashback off.
Diana menangis dengan kedua mata terpejam. Semantara Darell yang sudah menghentikan mobil di depan halaman rumah Suryo, memalingkan pandangan pada Diana.
"Diana, kita sudah sampai."
Diana membuka mata. Secepat mungkin menghapus jejak air mata yang membasahi pipi.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 73 Episodes
Comments
Yana Rizky
yes
2023-08-28
0
Yana Rizky
yes
2023-08-28
0
tria sulistia
sepertinya tidak
2022-10-29
0