POV AUTHOR
"Kamu.."
"Makasih.." ucap Stella sambil menunduk. Sebelah tangannya ia gunakan untuk meraba seragam yang tadi dicengkeram lalu merapikannya.
Stella bergegas masuk ke bilik untuk mengatur nafasnya. Beruntung seragamnya tak rusak. Keajaiban tak mungkin datang dua kali bukan. Itu yang menjadi pikirannya.
Stella segera menuntaskan hajatnya karena bell tanda masuk sudah terdengar.
"Stella.." panggil siswi tadi yang menolongnya saat Stella baru saja keluar toilet dan hendak berlari.
"Ya?"
"Apa kamu.. mau berteman denganku?" tanyanya tiba tiba membuat kaki Stella terpaku.
"Apa.. t..teman?" ucapnya lirih.
"Gak mau ya. Ya udah-"
"Mau.. aku mau jadi temanmu" ucap Stella bersemangat lantas berlari ke kelasnya sambil sesekali melihat kebelakang dengan senyum mengembang.
"Namaku Lusi. Pulang sekolah aku tunggu disini" teriak Lusi saat Stella mulai menjauh.
"Oke" balas Stella berteriak.
'Teman? aku punya teman?' batin Stella selama menyusuri lorong hingga kelas. Beruntung guru belum datang.
Selama pelajaran hatinya berbunga bunga. Dia lebih bersemangat mengingat setelah 1 semester baru mendapat teman meski berbeda kelas. Jantungnya berdebar, dia yang tak pernah mempunyai teman tiba tiba ada yang mengajaknya berteman. Benar kata sang ayah, 'bersabarlah, maka hal baik akan menghampirimu'.
"Baik anak anak, yang sudah selesai boleh pulang" seru guru pada seisi kelas yang masih sibuk saling mencontek.
Stella bergegas merapikan meja dan memberikan lembaran jawaban soal yang guru berikan. Tanpa berlama lama dia langsung melesat kearah tempatnya janjian dengan teman baru nya.
Namun dia belum terlihat disana.
Stella lupa jika dia selalu selesai 30 menit sebelum bel pulang berbunyi.
Tapi dia bertekad menunggunya.
30 menit berlalu sejak bel pulang berbunyi. Namun siswi yang bernama Lusi tak kunjung terlihat.
"Hhhh... Ya ampun, ayah.." Stella menghela lalu teringat harus segera menyiapkan makan untuk sang ayah yang mungkin sudah pulang.
"Assalamu'alaikum"
"Wa'alaikumsalam, baru pulang?" tanya ayah setelah membalas kata salam dari Stella sambil membolak balik nasi yang baru matang.
"Ayah, maafkan Stella" ucap Stella yang merasa bersalah karena pulang terlambat.
"Gak apa apa, sayang. Bersih bersih dulu gih, kita makan bareng" ucap ayah seperti biasa tak pernah marah sedikitpun pada Stella.
Stella membersihkan diri di belakang rumah kardusnya yang ditutupi seng setinggi dada orang dewasa. Mereka menampung air hujan dalam drum kaleng yang ditutupi kain agar kotoran debu tak bercampur. Selain itu mencegah nyamuk berkembang biak.
Seperti biasa, Stella akan langsung mencuci seragamnya agar hilang bau keringatnya dan besok bisa dipakai lagi.
"Kamu ganti kaca mata?" tanya sang ayah yang menaburkan garam pada nasi yang masih mengepul. Bagi mereka, bisa makan nasi sudah lebih dari cukup meski lauknya hanya taburan garam.
"Enggak" jawab Stella mantap. Dia memang tak merasa mengganti kaca matanya. Uang dari mana dia untuk membeli kaca mata?
Namun sejenak dia terdiam.
Mengingat jika dia merasa kaca matanya sempat patah karena timpukan bola basket sebelum jatuh pingsan.
Juga seragam putihnya.
Dia ingat betul warna terakhir yang dia lihat pada seragamnya yang berubah menjadi pink tua.
"Kenapa bentuknya jadi lebih kecil?" lanjut ayah bertanya dengan menilik kacamatanya.
"Masa sih, yah?" Stella lantas membuka kacamatanya. Karena pandangannya yang bermasalah dia kurang bisa membedakan. Hanya saja ukurannya memang sedikit lebih lonjong.
Tak ingin membahas lebih jauh, Stella mengeluarkan amplop putih dari tas nya lalu selembar kertas tebal yang baru didapatnya tadi pagi saat pengumuman setelah upacara.
"Ayah, terimakasih do'a nya. Stella dapat juara umum nasional. Dan ini, hadiah untuk ayah" Stella memberikan sertifikat berikut amplop berisi uang sebanyak 200 ribu rupiah. Tentu saja uang itu didapatnya dari mengumpulkan uang jajannya selama 3 bulan. Tapi dia tak memberitahukan sang ayah yang selalu khawatir terhadapnya.
Dia ingin memberikan sesuatu pada sang ayah karena telah bersusah payah dan bersabar dalam mengurusnya.
"Masha allah, nak.. kamu.. kamu hebat.. ayah bangga.." sang ayah tergugu. Dia sangat terharu dengan sifat sang anak yang menyayanginya meski dia tak bisa membahagiakannya dengan gelimangan harta.
Meski ayah tahu jika itu bukanlah uang hadiah lomba, tapi dia menerimanya untuk menghargai niat sang anak. Hal inilah yang lebih membuatnya terharu.
Ayah lantas memeluknya sambil terisak.
"Maafkan ayah, nak. Ayah belum bisa membahagiakan kamu" ucapnya disela isakannya.
"Apa maksud ayah? Stella bahagia masih punya ayah yang sangat menyayangi Stella. Stella berharap ayah terus mendampingi Stella sampai Stella sukses suatu hari nanti" pinta Stella menghiba.
"Iya, nak. Ayah pasti akan mendampingimu sampai kamu menikah"
Stella terdiam.
Menikah.
Kata itu yang tak pernah terlintas dalam daftar rencana masa depannya.
Mengingat perpisahan orang tuanya yang menyakitkan dan menjadikan sang anak sebagai korban, bukan itu tujuan akhirnya.
Dia hanya ingin membahagiakan sang ayah. Hanya itu tujuannya.
Keesokan pagi
Stella bersiap berangkat sekolah setelah menghangatkan nasi yang semalam. Dia ingin memastikan sang ayah berangkat kerja dalam keadaan perut terisi.
"Assalamu'alaikum" sapa seseorang dari depan pintu rumah kardusnya.
"Waalaikum- salam" jawab Stella yang sempat terputusbkala mendapati beberapa gurunya mendatangi rumah sangat sederhananya.
"Bapak, ibu.. ada apa ya?" tanya Stella herang dengan kedatangan 3 orang gurunya. Stella mencium takzim setiap guru yang matanya berkaca kaca.
"Stella, apa ayahmu ada, nak?" tanya bu Fani.
"Ada siapa, nak?" tanya sang ayah yang sudah siap dengan pakaian kuli nya.
"Ayah, ini guru guru Stella, yah"
"Assalamu'alaikum, bapak. Boleh mengganggu waktunya sebentar?"
"Waalaikumsalam. Iya silahkan. Tapi.. disini saja ya, saya takut.. bapak dan ibu tak nyaman dengan rumah sederhana kami"
"Tidak apa apa pak. Kita ngobrol di dalam saja"
Akhirnya salah satu guru memutuskan untuk masuk dan mengajak Stella ikut duduk. Sementara 2 guru lain tampak menyeka air mata yang jatuh dipelupuk beberapa kali.
"Begini, pak. Kami perwakilan sekolah SMA Harapan, sangat bangga dan berterimakasih pada prestasi nilai Stella yang mendapat juara umum mewakili sekolah. Untuk itu, kami ingin menyampaikan rasa terimakasih kami mewakili sekolah, sebagai bentuk apresiasi pihak sekolah pada usaha Stella mengharumkan nama sekolah. Mohon bapak terima ungkapan terimakasih kami. Tolong jangan lihat nominalnya, tapi niat tulus kami untuk menghargai usaha Stella" guru itu menyodorkan amplop berwarna coklat berisi uang sekitar 5 juta rupiah.
"Masha Allah, tapi.. tapi saya sudah terima kemarin dari anak saya" jawab polos sang ayah.
Guru itu melirik Stella yang sedang menggelengkan kepala lalu mengangguk.
Sang guru mengerti.
"Itu hanya ganti ongkosnya saja pak. Yang ini tolong diterima juga ya. Untuk Stella, bapak harap kamu terus semangat belajarnya ya nak. Pertahankan nilai dan prestasimu. Kami semua yakin, kelak kamu akan menjadi orang yang sukses dengan usaha kamu sendiri"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 116 Episodes
Comments
Rusmini Rusmini
untung gurunya paham dgn keadaan Stella
2025-02-04
0
Neng Alifa
nasi anget dikepal'' inget jamanku kecil
2024-03-03
0
Rohayani Yani
ngandung bawang thor ini/Sob/
2024-03-02
0