7 Tahun yang lalu
POV STELLA
Namaku Stella Aubrey. Usiaku sama seperti murid lain yang saat ini masuk ke sekolah favorit unggulan. Bedanya adalah status sosialku yang berasal dari kalangan miskin. Bukan menengah kebawah lagi. Tapi yang paling bawah.
Ayahku yang hanya seorang buruh bangunan hanya bisa memberikan tempat berteduh beratapkan kardus di kolong jembatan. Tapi aku tetap bersyukur setidaknya kami masih punya tempat berteduh dari sengatan matahari dan dinginnya angin malam. Kami tak perlu khawatir atap kardus kami hancur terkena hujan karena kami berada tepat dibawah jembatan jalan.
Ibuku yang sangat cantik dalam fotonya meninggalkan kami saat usiaku masih menginjak 5 tahun. Tak ada yang bisa ayah sembunyikan dariku karena pertengkaran mereka tepat berada didepan mataku.
Yang kini ku tahu jika ibuku pergi karena ayah miskin.
Aku gak tau kenapa ibuku memberikan nama sebagus itu. Menurutku.
Tapi lain halnya dengan teman teman sekelasku yang kemudian menyebar ke satu sekolah, yang katanya namaku tak sebanding dengan diriku yang menjadi kotoran pada mata mereka.
Aku tak peduli.
Yang kupedulikan adalah membuat ayahku bangga karena aku berhasil masuk ke sekolah favorit unggulan karena prestasi nilai nilaiku yang nyaris sempurna.
Di kelas sepuluh (X) ini aku tak punya teman. Tak ada yang mau mengajakku berkenalan, dan tak ada yang mau menjadi teman sebangku ku.
Kata mereka aku bau. Padahal seragamku yang hanya kupunya 1 stel ini selalu ku cuci sepulang sekolah agar tak bau, dan aku menyisihkan uang jajanku untuk membeli pelicin pakaian yang harganya 500 perak 1 sachetnya agar wangi.
Meski tak punya setrika, aku berusaha agar seragam itu tak tampak kusut.
Tetap saja hasilnya berbeda dengan mereka yang mempunyai alat pelicin pakaian yang membutuhkan listrik untuk memanaskannya.
Aku tak pernah mengeluh. Agar ayah tak sedih. Meski selalu kudengar isakan darinya sambil mengusap kepalaku lembut saat aku pura pura tidur.
Betapa malangnya ayahku. Apakah aku menjadi beban untuknya.
"Perhatian anak anak... anak anak tolong jangan dulu bubar.."
Senin pagi setelah upacara bendera selesai, salah seorang guru mengambil alih mic dan memberikan pengumuman.
"Tahun ini sekolah kita seperti biasa mengikut sertakan murid murid berprestasi kedalam lomba sains yang diselenggarakan kementrian pendidikan nasional antar sekolah se Indonesia.
Dan tahun ini, dengan bangga kami selaku para pendidik mengumumkan bahwa sekolah kita yang menjadi juara umumnya"
Suara riuh dan tepuk tangan menyelimuti lapangan upacara.
"Dan inilah pahlawan kita. Mari kita sambut...
STELLA AUBREY dari kelas X IPA 1, silahkan maju ke depan Stella"
Euphoria itu mendadak hening saat namaku disebut.
Dengan gugup aku melangkahkan kaki kecilku sambil menundukkan wajahku. Aku yang selalu berbaris paling belakang butuh waktu cukup lama agar segera sampai di podium.
Saat aku berhasil melewati barisan teman teman sekelasku, suara riuh kembali terdengar. Namun itu adalah suara riuhnya para murid yang menyoraki ku, bukan mengapresiasi.
"Harap tenang anak anak. Mohon hargai perjuangannya mengharumkan nama sekolah kita" ucap tegas guru yang sedari tadi memegang mic.
"Huuuuu.... bauuuu...."
Suara riuh yang menyorakiku itu serempak berkumandang. Untungnya aku yang sudah ditempa dalam pahitnya hidup tak memperdulikan hinaan mereka.
Kenyataan bahwa otak mereka yang ekonominya jauh diatasku itu ternyata tak sebesar cacian dan kebencian mereka padaku.
Itulah salah satu yang menjadi motivasiku untuk menjadi yang terbaik.
Saat ini mungkin mereka berada diatasku, tapi besok lusa, dengan kemampuan otakku, mungkin mereka akan berada dibawah kakiku.
Aku selalu memotivasi diriku sendiri.
Bapak kepala sekolah memberikan piala yang cukup besar, aku sempat kewalahan menerimanya. Meski itu hanya simbolis untuk dokumentasi prestasi sekolah yang kemudian piala itu disimpan pihak sekolah. Sedangkan aku hanya membawa sertifikat untuk menambah daftar portofolio ku kelak.
Waktu istirahat tiba
"Heh cewek udik, belagu lo. Baru ikutan begituan aja udah bangga. Udah ngerasa jadi orang hebat lo. Denger ya, elo itu jangan banyak tingkah ya. Kita semua disekolah ini gak ada yang suka sama lo. Sampe kapanpun lo gak ada apa apanya. Sekali udik, selamanya udik" cewek yang paling ditakuti di sekolah ini menghardikku dengan membawaku ke suatu sudut di sekolah ini, dibantu teman temannya dengan mudah dia menindas para siswi yang tak sejalan dengannya.
Bahunya dengan keras menyenggol bahuku setelah puas mencaciku. Membuat tubuh lemah ini terdorong kebelakang.
"Ehm.. kesian kamu sampe keringetan gini. Pasti haus ya, nih minum" salah satu anteknya dengan senyum manis menyodorkan minuman dingin berwarna merah dalam botol. Tanganku gemetar ragu ragu menerimanya.
"Ayolah, aku hanya kasihan padamu" pintanya lagi dengan ramah.
Aku pun akhirnya mengangkat tanganku untuk menerimanya. Tapi tanganku melayang diudara kala perempuan itu menariknya kembali.
"Aku suapin aja ya"
Dia lantas membuka tutupnya dan langsung menyiramkannya pada wajahku.
Aku tersentak, lalu kulihat kearah seragamku.
Menangis. Aku menangis melihat seragam putihku yang kini berubah warna menjadi pink tua. Aku lansung berlari ke kamar mandi meninggalkan mereka dan tawa mereka.
Ku coba membersihkannya dengan tisu namun tetap tak mengurangi kadar warna.
Air mata ini tak hentinya mengalir.
Setelah aku menghabiskan waktu istirahatku di kamar mandi untuk menangisi seragamku satu satunya.
Biasanya aku mengisi waktu istirahatku di perpustakaan, kini aku harus absen.
Pasrah dengan kondisi seragamku, akupun menyeret kaki ini keluar kamar mandi. Entah bagaimana caraku membeli yang baru. Yang paling ku takutkan adalah ayahku yang akan sangat khawatir. Dia pasti mencari pekerjaan tambahan untuk bisa membeli seragam baru. Dan aku tak mau ayah seperti itu. Aku ingin ayah bahagia. Aku ingin membahagiakan ayahku.
"Awaaas..."
bugg
Sesuatu menghantam wajahku saat aku melangkah gontai kearah kelasku.
Kaca mata, aku meraba raba mencari kaca mataku. Dan saat kudapatkannya dan kembali kukenakan, kacamata itu juga patah. Satu lagi musibah yang bisa membuatku menjadi anak durhaka karena terlalu banyak membebani ayah.
Terasa cairan hangat mengalir dari hidungku, lalu pandanganku seketika memburam.
"Stella.. Stella.. bangun Stella.. buu.. ibuu..."
Hanya itu yang kudengar saat aku tiba tiba kehilangan kesadaranku. Samar samar kulihat wajah tampan meski buram, apakah itu malaikat pencabut nyawa ku? kenapa tampan sekali?
"Enghh.. apa aku sudah sampai?"
"Kamu sudah sadar, Stella?" tanya bu Fany, guru BK yang sangat perhatian padaku.
"ini.. ini dimana?" tanyaku yang lantas meraba meja sebelahku. Kuraih kaca mataku dan kupakai.
"Uks?"
"Iya kamu di UKS, nak. Kamu gak sengaja kena bola basket. Gimana, masih pusing?" tanya bu Fany sambil menyodorkan teh manis hangat padaku.
"Sedikit. Terima kasih bu"
Kupijat sedikit kepalaku lalu aku cukup terkejut.
"Seragamku, kaca mataku.."
Kenapa mereka kembali ke semula?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 116 Episodes
Comments
Rusmini Rusmini
apa segitunya kereka benci pd Stella..
2025-02-04
0
💗vanilla💗🎶
hmmm ... jahatnya
2023-11-17
0
fifid dwi ariani
Trus sehat
2023-11-10
1