Bab 13

Kami memilih kembali menuju ruang rawat inap Ayah. Beruntung tak banyak yang lelaki itu tanyakan, ia hanya menyayangkan mengapa aku tak mau menceritakan masalah keluargaku padanya.

Di depan ruangan ayah, hanya ada ibu tiriku yang sibuk memainkan ponselnya, entah pergi ke mana Nayla, mungkin dia sakit hati dan memilih pergi dari rumah sakit.

"Nayla mana Tante?" tanya Adam yang membuatku sebal, untuk apa dia menanyakan Nayla.

"Pulang, mau beberes," jawab ibu tiriku ketus. Wanita titisan Medusa itu hanya melirik sesaat lalu kembali sibuk dengan ponselnya.

"Kamu ngga kerja Dam?" kulupakan hal penting, saking seriusnya kami berbincang tadi.

"Aku udah izin masuk agak siangan. Hari ini mau ke perusahaan ASF Group, emmm ituloh perusahaannya Joan Alexander yang waktu itu ke perusahaan kamu," jelasnya.

Aku sedikit terkejut dengan nama perusahaan milik Joan, jadi aku hanya ber oh ria menjawabnya.

Sedikit penasaran aku mencoba mencari tahu tentang Joan lewat Adam, "Bergerak di bidang apa perusahaannya Dam?" tanyaku yang terlihat sekali nada penasarannya.

"Kamu ngga tau?" Jawabnya di sertakan sebuah kekekan yang menghina menurutku.

Aku memang tak pernah tau nama perusahaan itu, harus memang kita tau perusahaan apa aja yang ada di negara ini, geramku dalam hati.

"Banyak sih, batu bara, emas, sama perhotelan. Ya masih banyak lagi kayaknya. Mereka juga yang paling banyak mempunyai saham di perusahaan-perusahaan kecil. Kenapa emang? Sekali-kali kamu baca koran bisnis, biar luas pengetahuan kamu By," ledeknya.

Cih, untuk apa aku membaca majalah bisnis, bisa makan buat hari ini aja aku udah bersyukur.

"Keren ya Joan, masih muda udah punya perusahaan besar."

Sengaja aku memuji lelaki lain di depan Adam, tapi sepertinya pujianku tak berarti apa-apa sebab mungkin lelaki yang menjadi kekasih rahasiaku itu memang layak di puji.

"Keren sih, makanya aku kagum ma dia, sayangnya perusahaan itu masih punya neneknya, Joan cuma bekerja di bawah perintahnya, tapi berkat tangan dinginnya, perusahaan itu masuk ke lima terbesar di negara kita loh," kekaguman jelas tampak dari cara Adam menceritakan Joan.

Pantas saja dia tak cemburu, mungkin dia merasa lelaki seperti Joan adalah panutannya dan aku seperti dirinya yang hanya sekedar mengagumi saja.

Tak tau saja dia, jika lelaki yang sedari tadi jadi bahan perbincangan kami sudah kutaklukkan. Bolehkan aku menyombongkan diri.

"Mah, Mamah mau ikut aku nengokin rumah yang mau kalian tempat in?"

Ibu tiriku menengadah sebelum akhirnya dia bangkit. "Kamu masih peduli ma kita? Sekarang gimana sama biaya perawatan ayah kamu?"

"Ngga usah di pikirin, nanti aku kas bon ke perusahaan," jawabku jengah.

"Ras, ngga lebih baik mereka tinggal di rumah tetangga Mamahku aja? Rumahnya nyaman kok," tawar Adam.

Ada rasa tak rela jika Nayla nantinya akan dekat dengan keluarga Adam. Meski aku tak bisa menebak takdir, aku yakin orang seperti Nayla sangat mudah mencari simpati keluarga Adam.

Mampukah aku melepas Adam ke dalam pelukan Nayla, jika suatu saat kami berpisah? Sepertinya aku tak sanggup.

"Nah tuh, mending di sana ajalah, cape tau pindah-pindah mulu," sela Ibu tiriku.

"Kira-kira berapa di sana Dam?"

"Ngga tau, coba kita nanti ke rumah yuk! Sekalian ketemu Mamah, dia kangen juga ma kamu," ajaknya.

"Ngga bisa, mamah cape Ras dari semalem jaga ayah. Mamah mau istirahat, mending kamu gantian jaga Ayah di sini," sergah ibu tiriku yang bergegas mengambil tasnya dan berlalu pergi.

Adam melihat jam tangan yang melingkar di tangan kananya. Aku tau waktunya dia kembali bekerja setelah izin sementaranya.

"Aku ngga bisa nemenin kamu sekarang, janji deh nanti kalo dah selesai aku buru-buru ke sini gimana?" tawarnya.

"Ngga papa Dam, yang penting ayah udah di tangani Dokter, aku udah tenang sekarang, mending kamu kerja aja," pintaku.

Adam mengeluarkan dompet dari saku celananya. Dia menyerahkan salah satu ATM miliknya padaku.

"Apa ini Dam?" aku berusaha menolaknya. Sudah tak sanggup lagi aku menerima bantuannya. Aku yakin Tuhan tak akan pernah mau mengampuni dosaku yang telah banyak menyakiti hatinya.

"Aku tau kamu banyak pengeluaran By, aku mohon jangan di tolak, aku ngerasa jadi pacar yang ngga berguna kalo kamu nolak."

Kupeluk tubuhnya, melepaskan segala sesak di dada, hanya kata maaf yang berulang-ulang aku ucapkan.

'Maafkan aku Dam, maafkan untuk semua dosa dan kesalahanku, maafkan atas rasa sakit yang akan kamu terima nanti'

Ucapan yang tak sanggup aku utarakan. Hanya bisa memohon pada Tuhan, agar Dia mau memberikan lelaki ini penggantiku yang jauh lebih baik.

'Kau lelaki baik dan nyaris sempurna Dam, sungguh kau layak mendapatkan wanita baik-baik di luaran sana'

'Tuhan tolong per mudahkanlah hatiku agar bisa segera melepasnya, tak sanggup aku menyakitinya lebih dalam lagi'

"Hust ... Kok nangis gini? Aku ngga mau kamu sedih," Dia merenggangkan sedikit pelukanku, menatap intens wajahku yang pasti sudah sembab.

Adam tak tau keluarnya air mataku bukan hanya tanda terima kasih, tapi semua rasa bersalah yang tak bisa aku ucapkan, egoku tak ingin dia pergi dariku. Tapi nuraniku berharap masa depan yang bahagia untuknya.

"Pinnya tanggal lahir kamu," jelasnya.

"Dam—" dia langsung menutup bibirku dengan telunjuknya, dia tau aku ingin mengucapkan terima kasih padanya.

"Ngga ada kata terima kasih di antara kita By, aku selalu berharap jadi lelaki yang selalu bisa kamu andalkan dan sebagai rumah tempat kamu ingin pulang," sungguh ungkapan yang sangat menenangkan hati.

Adam kembali memeluk erat tubuhku setelah itu dia mencium keningku.

"I Love You," hanya kata itu yang sanggup aku katakan saat ini untuknya.

"I Love You More," dia tersenyum sambil membelai pipiku dan semakin mendekat ke wajahku.

Dia mencium bibirku lembut, hangat, rasa yang berbwda jika aku melakukannya dwngan Joan. Meski bukan ciuman pertama kami, tapi Adam jarang sekali mencium bibirku, dia lebih memilih kening atau pipiku untuk menumpahkan rasa sayangnya.

Ciuman kami tiba-tiba memanas, aku pun membalas dengan tak kalah dalamnya. Tangan Adam mencengkeram erat pinggangku.

Adam tak pernah menciumku sedalam ini, hanya sekedar kecupan kecil atau sesaat yang dia berikan. Tapi kali ini sepertinya dia kehilangan kendali diri dan aku tak menolaknya, justru sangat menikmatinya.

Tiba-tiba dia menghentikan pagutan kami, menempelkan kening kami saat kami berusaha meraup oksigen sebanyak-banyaknya.

Matanya terbuka dan menatap lekat diriku, "Maaf By."

Begitulah lelakiku, dia selalu mengucapkan kata maaf yang mungkin telah melukai harga diriku sebagai seorang wanita, dia tidak tau saja jika aku bahkan telah menyerahkan mahkotaku kepada lelaki lain.

Mungkin begitulah rasa yang seharusnya aku rasakan jika bersentuhan karena rasa saling mencintai, bukan karena kewajiban seperti hubunganku dengan Joan.

Setelah itu Adam memilih pergi meninggalkanku sendiri dengan debaran hati yang berbunga-bunga, aku sangat yakin dia sangat mencintaiku.

Saat sedang berbalik, tak sengaja aku melihat siluet hitam di lorong dekat ruang rawat ayahku.

Bentuk tubuhnya seperti Joan, apa dia Joan atau pengunjung rumah sakit lainnya?

.

.

.

Tbc.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!