Bab 5

Di dalam lift kami hanya berdua, aku berada di depannya. Bagaimana keadaan jantungku? Tentu saja berdebar keras.

Sedangkan Joan kudengar dia terkekeh pelan. Tak lama terdengar langkahnya mendekat, benar saja, aroma parfum mahalnya tercium semakin dekat.

Dia mencium tengkuk leherku, "Gue ngga suka dandanan lu," protesnya lirih. Masih dengan sibuk menciumi leher ini.

Glek, kutelan kasar salivaku karena gugup.

Dia bodoh atau apa, ini adalah aturan perusahaan, seenaknya saja dia memprotes.

"Jangan seperti ini Tuan—"

Ucapanku terpotong saat tiba-tiba dia memelukku, karena terkejut aku pun memekik seketika.

Joan masih menikmati leher jenjangku. Ya Tuhan semoga dia tak membuat tanda kepemilikan lagi.

"Berenti manggil gue Tuan, kalo kita cuma berdua!" titahnya dengan suara dingin.

"Please babe, kamu ngga mau jadi bahan gunjingan 'kan?" bujukku. Astaga bagaimana jika pintu lift terbuka dan ada karyawan lain melihat kami.

Dia melepas pelukannya, gegas kurapikan kembali pakaian dan perasaanku yang bercecer tadi.

Ting.

Sampailah kami berdua di lantai ruangan atasanku, aku berjalan melewati beberapa ruangan pegawai lain.

Dahiku sedikit mengernyit, saat melihat meja sekretaris atasanku kosong. Mau tak mau aku mengetuk tanpa seizinnya. Toh atasanku yang memintanya.

Tak ada jawaban, tapi pintu di buka dari dalam, senyum merekah menghiasi wajah Denish atasanku.

Lelaki dengan umur tiga puluh lima tahun itu juga tampan, pembawaannya kalem. Banyak karyawan wanita memujanya. Meski harapan tinggal harapan, karena bos kami sudah memiliki istri.

Dia pun hanya bekerja di perusahaan ini, aku tidak pernah tau siapa pemilik utama perusahaan ini. Aku pun tak peduli, asal gajian lancar, siapa pun atasanku tak masalah.

Denish menjabat tangan Joan, aku hendak permisi saat suara bosku menghentikan langkahku.

"Masuklah Ras, temani tamuku," dia berlalu meninggalkanku dengan berbagai pertanyaan.

Tak lupa menepuk bahu sebagai tanda semangat sepertinya. Sebenarnya Joan itu tamu siapa? Aku atau dia? Gerutuku.

Belum selesai keterkejutanku, Joan sudah menarik tanganku hingga menubruk tubuhnya.

Tak lupa dia mengunci pintu ruangan ini. Astaga, apa yang akan dia lakukan, dan pertanyaan paling penting apa bosku tau hubungan kami?

Joan sudah tak sabar, tangannya sudah bergerilya di tubuhku, bahkan pagutannya seakan memaksa balasan dariku yang masih kaku.

"Au," refleks aku menjauhkan wajahnya saat dia dengan gemas menggigit bibirku.

"Beib, kamu kenapa?" tanyaku bingung.

Sedetik kemudian dia menatapku nyalang, terlihat sekali dia tak senang kegiatannya terganggu.

"Gue pengen Lu! Apa salah?"

"Jo ..." ucapku frustrasi, 'pengen?' maksudnya dia ingin memadu kasih di ruangan atasanku?

Gila! Makiku dalam hati, jika bisa, ingin sekali kubanting tubuh yang sejak tadi sibuk membuka pakaiannya.

Aku sudah panik, ini benar-benar gila, aku tak tau apa yang sedang dia alami, atau entah apa yang membuatnya marah hingga harus melampiaskannya padaku.

"Kenapa di sini? Lebih baik kita ke hotel saja," tawarku dengan menahan dada bidangnya.

Gemuruh di dalam dadaku semakin kencang, antara gelisah bercampur takut pastinya. Aku tak ingin menjadi bahan gunjingan di kantor, cukup bagaimana aku berusaha menutup telinga saat mereka mencibir bagaimana aku bisa di terima di perusahaan ini, aku tak ingin ada skandal yang pastinya akan merugikan Joan dan aku nantinya.

Kenapa lelaki ini tak takut sama sekali, seperti bukan dirinya.

"Hei, slow babe, kau tau ini akan menjadi skandal," napasku sudah terengah akibat hasrat yang tak kuasa kutahan.

Dia menatapku bengis, tak peduli akan penolakanku.

"Lu tenang aja! Gue tau apa yang gue lakuin."

Setelah itu tubuhku tiba-tiba sudah tak menyentuh tanah. Dia menggendongku, berjalan menuju sudut ruangan yang terdapat pintu lainnya. Mungkin itu ruangan pribadi atasanku.

Persetan, aku yakin Joan akan membereskan kekacauan yang dia perbuat. Aku harus kembali kepada tugas utamaku, menyenangkannya. Menjadi wanita pemuasnya.

Dia menghunjam tubuhku kasar, aku sangat tak menikmatinya. Apa lelaki itu lupa jika aku masih terluka akibat perbuatannya pagi tadi? Aku benar-benar tersiksa.

Aku sangat mengenal Joan, jika hanya ingin menyalurkan kebutuhan biologisnya, dia akan memperlakukanku dengan lembut. Namun, jika dia sedang menyalurkan amarah atau pikiran yang mengganggunya, dia akan sangat beringas menyentuhku.

Setelah semua posisi di nikmati olehnya, dia melemas dan berbaring di sampingku.

Kuseret tubuhku agar berada di atas dada bidangnya. Mengusap perut terbentuknya.

"Kenapa hemm?" ucapku dengan nada manja. Beginilah aku bekerja, menjadi pelipur lara, meski dalam hati aku memakinya.

"Gue ngga suka lu ngomong kaya pagi tadi. Lu milik gue tau kan?" jawabnya ketus.

"Oh ayolah, aku kan cuma bercanda sayang," kusanggah badanku dengan siku agar bisa menatapnya.

"Bukannya kamu mau ketemu Lita? Ini sudah lebih dari enam bulan sejak terakhir kalian bertemu. Kamu harus menghabiskan banyak waktu untuknya," nasehatku.

Baik bukan? Aku bukan ingin merebut lelaki yang sesaat tadi telah menikmati tubuhku. Aku sadar diri, diriku hanya wanita bayarannya, tak pernah terlintas untuk menjauhkan laki-laki itu dari kekasihnya.

Ah, kekasih. Membuatku mengingat Adam. Rasa bersalah selalu muncul sesaat setelah aku melakukan dosa besar ini.

Terlebih lagi kami akan bertemu nanti, mampukah aku menatap matanya? Mengatakan betapa aku sangat mencintainya dan tak ingin kehilangannya.

Ingin sekali aku mencurahkan segala sesak di dada, menangisi kehidupanku yang kelam ini. Namun, apakah ia akan menerima diri yang hina ini.

"Kenapa?" Joan mengusap lembut pipiku, tak lupa kubalas dengan mengecup tangannya lembut. Hanya membalas perlakuannya, tak lebih.

Sepertinya dia menebak jika pikiranku saat ini sedang berkelana, ke mana-mana.

"Aku mau ketemu Adam," itu bukan pertanyaan, tapi sebuah pernyataan, aku hanya ingin memberitahunya saja, karena itu juga salah satu syarat yang harus aku penuhi.

Semua kegiatanku, wajib aku melaporkannya, sedangkan dia? Aku tak berhak tau kehidupannya.

Tiba-tiba rahangnya mengeras, apa dia kesal? Karena apa? Biasanya dia tak mempermasalahkan pertemuanku dengan kekasihku itu.

"Kapan?"

"Dia ngajak aku makan siang," Joan tersenyum mengejek.

"Lu yakin mau ketemu dia saat keadaan lu kaya gini?"

Sial! Aku tau maksudnya, aku sedang berpikir alasan apa yang akan kukatakan pada Adam jika dia bertanya mengapa aku susah berjalan.

Tanpa rasa malu, Joan bangkit tanpa sehelai benang pun melekat pada tubuhnya, meninggalkan aku yang sedang termenung memikirkan ucapannya.

Lelaki itu berjalan menuju ruang membersihkan diri, benar-benar tak tau malu, dia berlaku seolah-olah ini perusahaan miliknya sendiri.

Setelah lelaki itu keluar, mau tak mau aku pun melakukan hal yang sama dengannya. Merapikan diri, entah alasan apa yang akan kukatakan pada Seza mengapa aku begitu lama meninggalkannya.

Joan kembali masuk dan meletakkan salep yang benar-benar sangat kubutuhkan, sepertinya dia sudah memprediksi keadaanku.

Setelah selesai menuntaskan hasratnya, kami berjalan meninggalkan ruangan atasanku. Tak ada siapa pun di depan ruangan ini, sepertinya Denish sengaja menugaskan sekretarisnya untuk pergi menjauh.

Kuhela napas, semoga tak akan ada gunjingan lagi, aku benar-benar sangat takut. Pengecut memang.

Kali ini kami tak berjalan beriringan, lelaki itu berjalan di depanku, dengan senyuman puas yang menghiasi wajahnya.

Langkahku seketika terhenti saat melihat hal yang menakutkan tak jauh dari meja kerjaku.

.

.

.

Tbc.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!