Bab 7

Selepas pulang kerja, kukendarai mobil menuju hunian di kawasan yang cukup Elit.

Enggan sekali sebenarnya aku kembali ke sana. Tapi ayah memintaku untuk mengunjunginya, meski aku tak yakin ia yang mengirim pesan itu.

Bukan aku tak tau jika ayah juga merindukanku, tapi dari sorot matanya aku tau dia sedang menghukum diri karena dosa yang pernah ia lakukan dulu padaku.

Hingga dia lebih memilih membebaskanku pergi, dan menjalani kehidupanku sendiri.

Meski begitu, lagi-lagi aku menjerumuskan diri pada siasat ibu tiriku. Siapa lagi yang bisa aku tuduh jika bukan wanita tua tak tau diri itu.

Aku yakin kata 'ayah ingin bertemu' adalah siasat agar aku mengunjungi rumahnya dan memulai drama agar aku kembali mencukupi kebutuhan gaya hedonnya.

Kuparkirkan mobil tepat di sebelah kendaraan milik adikku, "hemmm ... Sepertinya drama kali ini cukup menarik" gumamku sambil tersenyum miring.

Nayla jarang sekali berada di rumah jika aku sedang mengunjungi kediamannya. Dia lebih memilih menghindar dari pada harus mendengar keributan antara aku dan ibunya.

Sepertinya, kali ini akan melibatkan dirinya. Karena uang yang ia minta pastinya, mungkin juga karena dia gagal menggait kekasihku agar bisa membantunya. Licik sekali bukan.

Apa yang akan mereka lakukan? Tentu saja menyalahkanku, apalagi. Mereka sering tak bercermin bagaimana sikap mereka selama ini, selagi ada yang bisa di salahkan tentu mereka lebih memilih melempar batu itu kepada orang lain.

Suara kenop kunci terbuka membuatku tak perlu bersusah payah mengetuk.

Marsha—adik tiri keduaku yang membuka pintu dengan wajah cueknya. Gadis remaja itu lebih fokus menatap layar ponselnya yang berada di tangan kanannya.

Aku mencibir cara berpakaian gadis yang masih mengenakan seragam sekolahnya.

Baju ketat dengan rok berempel kotak-kotak jauh di atas lututnya. Dalam hati berpikir apa begitu aturan berpakaian di sekolah Elitnya?

"Bagus banget seragammu Mar," ledekku dengan tatapan mencemooh pastinya.

"Emang begini! Sekolahku kan beda sama sekolah Negri!" ketusnya, lalu meninggalkanku dengan mengentak-entakkan kaki.

"Wah bagus banget, sepetinya bulan depan Gue ngga perlu bayar Spp nih!" ancamku yang membuatnya berhenti seketika.

Memang anak dan ibu tak tau diri, aku yang membiayainya agar bisa bersekolah di sekolah Elit itu tapi dia tak pernah bersikap sopan padaku.

"Maaaah ..." rengeknya kepada ibu tiri Cinderella.

"Udah masuk sana!" titah ibu tiriku pada putri bungsunya.

Marsha menutup dengan keras pintu kamarnya, menunjukkan otoritasnya. Oh dia ingin bermain-main denganku ternyata.

Okkelah, gadis itu akan menjadi pemanasan untuk awal pertengkaran kami selanjutnya.

"Keluar kamu! Enak banget lu banting pintu, emang lu pikir ini rumah nenek moyang lu!"

"Bisa ngga lu ganti tuh pintu kalo rusak! Apa mau di usir dari sini HAH!"

"Ngga usah belagu vangsat! Mampus kalian kalo gue ngga bayar nih rumah sekarang! Ngga peduli gue kalo kalian tidur di kolong jembatan!"

Makiku di luar kamarnya. Dadaku naik turun karena bersuara lantang.

Ibu tiri Cinderella mendekat, tatapan matanya penuh dengan sorot kebencian padaku, tapi dia berusaha bersikap lembut.

Cih! Aku tau akal bulusnya, karena hari ini batas waktu akhir dia harus membayar rumah sewa.

"Maafin Marsha Ras, dia kecapean kar'na banyak tugas," belanya.

Aku menjatuhkan bokong di sofa terdekat. Pintu kamar adik tiriku terbuka, gadis yang tadi bersikap arogan hanya bisa menunduk sambil berjalan mendekati ibunya. Meminta tolong pastinya.

"Ada apa sih Ka?" itu suara Nayla yang juga ikut keluar dari kamarnya.

Memangnya dia tak mendengar makianku dari tadi? Apa kamarnya ada peredam suara?

"Kamu sekarang menjadi semakin kasar! Apa mentang-mentang kamu membiayai hidup kami Ras?" pertanyaan yang dilontarkan dengan nada tajam itu akhirnya keluar dari mulut ibu tiriku.

"Kasar? Bukankah aku belajar darimu?" balasku.

"Bisa ‘kan kamu ajari, putri-putrimu sopan santun? Se-enggaknya kasih tau mereka berdua, akulah orang yang ngisi perut mereka dan membuat mereka bisa berpakaian!"

"Itu adalah tanggung jawabmu."

"Anggaplah itu sebagai balas budi karena aku ngga membuangmu dulu," ejeknya.

Balas budi katanya? Ingin sekali aku robek mulutnya saat ini juga, sedari kecil aku di perlakukan semena-mena olehnya, tak mendapatkan hak kasih sayang ayahku sendiri, dan dengan gampangnya dia berkata balas budi.

"Memangnya apa yang pernah kau lakukan untukku? Kalo ngga senang silakan tinggalkan ayahku, sudah tidak ada yang bisa kamu peras darinya, aku akan senang hati menerimanya,” tantangku.

Dia bergerak gelisah, ancamanku tepat sasaran, dulu aku rela melakukan apa saja perintahnya karena takut dengan ancamannya yang selalu akan memisahkanku dengan ayah.

Namun tidak sekarang, setelah aku memiliki uang, akan kubalik keadaannya. Jika dia membuang ayah maka dengan senang hati aku akan merawatnya.

Aku yakin dia tidak akan berani, mungkin dia menganggapku bodoh, aku tau kelakuan busuknya di luar sana, berusaha mencari mangsa agar bisa menggantungkan diri pada bandot-bandot tua, sayangnya semua incarannya hanya ingin bermain-main saja dengannya.

"Kamu selalu mengancam seperti itu, memangnya kamu pikir ayahmu mau membuang darah dagingnya? Pasti ayahmu lebih memilih tak mau jauh dari Nayla dan Marsha," balasnya dengan percaya diri.

Aku tau itu, ayah memang menyayangi kedua putri dari rahim ibu tiriku itu. Ayah juga menyayangiku, meski dia juga membuatku terluka karena sikap pilih kasihnya.

Dia tidak pernah berlaku kasar dan berkata kasar padaku, tapi dia tidak pernah peka pada diriku yang tersiksa hidup dengan ibu tiri dan saudara tiriku.

"Apa sudah ada duitnya? Nanti Mamah telepon Bu Ratna supaya ketemu—"

"Ngga ada duitnya," potongku.

"APA!" pekiknya

"Ini udah batas akhir Raras! Gimana kalo Bu Ratna mengusir kami?"

"Ya mau gimana lagi, duitnya emang ngga ada," ucapku santai.

Tentu saja aku berbohong, aku memiliki simpanan yang mungkin akan membuat bola matanya lepas jika melihat buku rekeningku.

Dari gajiku di kantor? Tentu saja bukan, itu uang yang aku dapatkan dari Joan tentunya.

Mengapa aku tetap meminta uang dua puluh juta tadi pagi, jika aku memiliki simpanan.

Jawabannya karena aku tak ingin tabunganku berkurang, itu adalah investasiku yang akan kugunakan suatu saat jika dia membuangku.

Ibu tiriku menghela napas kasar, sambil menopang kepalanya. Tak lama dia kembali menatapku dengan tatapan penuh harapan.

"Bukannya kamu ada duit berobat ayah? Mending buat bayar sewa aja," ucapnya tanpa rasa bersalah.

"Mah!"

"Mah!"

Aku dan Nayla kembali membentaknya bersama. Hanya Marsha yang duduk diam menatap kami.

"Semua dari uang berobat ayah! Apa kamu ingin ayahku lekas mati?"

"Baguslah, lebih baik seperti itu bukan, agar aku tak perlu bersusah payah mencukupi kebutuhan kalian," cibirku.

Tubuh ibu tiriku bergetar, tentu dia ketakutan, ancamanku jelas akan merugikannya di kemudian hari. Aku yakin dia tak akan siap menghadapi kerasnya hidup tanpa ada inang yang menyokongnya.

.

.

.

Tbc

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!