Bab 3

Nayla saat ini tengah sedang melaksanakan magang di kantor Adam, kekasihku.

Aku tau ada yang tidak beres dengan tatapan adik tiriku itu pada kekasihku. Dia menyukai Adam, tebakku, meski yang kulihat Adam tak peka akan hal itu.

Cemburu? Tentu saja, aku dan Adam sudah menjalin kasih saat kami sama-sama masih SMA. Hubungan yang sudah berjalan hampir lima tahun dengan masa putus sambung layaknya hubungan remaja pada umumnya, sudah kami lalui.

Meski aku tak bisa menjanjikan masa depan dengan lelaki sederhana itu, tapi hati kecilku tak dapat melepasnya.

Aku tau, diriku yang hina ini tentu saja tak layak bersanding dengannya. Banyak pertanyaan yang selalu bertengger di benakku saat kami bersama.

Bisakah dia menerimaku yang kotor ini, atau, bisakah aku jujur padanya saat malam pertama kami nanti?

Meski belum ada pembicaraan yang menjurus ke jenjang yang lebih serius, aku yakin suatu saat dia pasti akan menanyakan kelanjutan hubungan kami.

Lalu sanggupkah aku menjawabnya? Persetan, lebih baik aku tak memikirkannya saat ini. Biarkan diri ini merasakan dengan rakus kebahagiaan yang semu itu.

Hingga suatu saat nanti mungkin aku akan merelakan ia dengan wanita lain.

Tiba-tiba dadaku terasa nyeri, entah secemburu apa aku pada wanita yang berhasil memikat kekasihku itu. Aku yakin dia lebih baik segala-galanya dariku.

Dan yang pasti dia adalah gadis beruntung yang bisa bersanding dengan lelaki yang memiliki sifat sabar dan lembut seperti Adam.

Kuparkirkan mobil di tempat khusus para karyawan. Sebelum keluar aku memutuskan untuk sejenak membaca pesan dari Adam yang sejak tadi kuabaikan.

"Hei, aku merindukanmu," aku terkekeh meski ada air mata yang juga mengiringinya. Bahagia tercampur dengan ironi pastinya.

Dia merindukanku di saat aku tengah melayani lelaki lain. Ironi bukan.

Adam sedang mengetik, sepertinya ponsel itu selalu di tatapnya, hingga dia tau jika pesannya telah terbaca.

"Kenapa belum balas? Kamu ngga kangen aku?" di akhiri dengan emoticon sedih.

Kini aku tertawa, dia membuat pagiku sedikit lebih cerah. Kali ini dia segera meneleponku, mungkin tak sabar mendengar jawabanku.

"Hai, kamu baik-baik aja 'kan?" nada cemas itu benar-benar menghangatkan hatiku.

"Baik, cuma kecapean aja. Aku baru mau ngetik kamu udah bales mulu," ucapku pura-pura kesal. Di seberang sana dia terkekeh, sepertinya perasaannya sudah melega.

"Makan siang bareng?" Ajaknya.

Ini yang aku suka dari Adam, dia selalu bertanya. Tak pernah memaksaku, aku tau dia merindukanku, tapi dia selalu memberiku pilihan.

Kugigit bibir ini, tentu saja aku sangat merindukannya, akhir pekan kemarin aku tak bisa bertemu dengannya karena terkurung oleh Joan.

Tapi ingatanku melayang akan pesan Joan, akankah lelaki itu mau menemuiku saat makan siang nanti? Meski sangat jarang, tapi terkadang lelaki itu tiba-tiba mengajakku untuk makan bersama, meski setelahnya harus berakhir dengan berbagi peluh.

Aku tau Joan tak akan keberatan jika aku bertemu dengan kekasihku. Entah bagaimana dia percaya saja jika aku dan Adam tak akan melakukan hubungan suami istri seperti syarat dari perjanjian kami.

Mungkin dia memiliki mata-mata yang akan selalu mengikutiku? Mungkin saja, tak ada yang tak mungkin bagi seseorang seperti Joan bukan? Aku tak peduli, asal mereka tak mengganggu kebersamaanku dengan Adam.

Bisa juga Joan tau jika Adam bukanlah lelaki breng*sek sepertinya.

"Ras?" panggilan Adam membuatku kembali dari lamunan.

"Ya, maaf Dam," jawabku bingung.

"Kira-kira kapan kita bisa ketemu?" suaranya mendadak lesu, sepertinya dia salah mengartikan jawabanku.

Aku tertawa "kita bisa makan siang bareng Dam, aku juga kangen kamu."

Aku hanya bisa berharap, semoga Joan tidak mendadak mengajakku bertemu, aku berharap dia segera menghabiskan waktu bersama tunangannya dan aku bersama kekasihku. Rumit sekali memang hubungan kami ini.

Karena bisa di pastikan jika waktu mereka berbenturan, tentu saja aku harus menyakiti Adam. Kenapa? Karen itu juga termasuk salah satu syarat di surat perjanjian yang kami buat. Dia harus di prioritaskan, begitulah jika aku tak salah ingat.

"Padahal cuma ngga ketemu dua hari tapi kayaknya laaamaaa ... banget," keluhnya.

Aku kembali terkekeh mendengar gerutuannya. Hati kecilku kembali tersentil saat teringat aku telah membohonginya. Sudah tak terhitung berapa banyak kebohongan demi kebohongan yang selalu aku berikan.

Banyaknya luka dan rasa kecewa yang sepatutnya tak di rasakan Adam membuatku tak urung ingin melepasnya agar bahagia. Akan tetapi, aku terlalu egois, terus terang aku sangat membutuhkan pundaknya untuk bersandar.

Hanya dia yang bisa membuatku merasa masih berarti ada di dunia ini, meski yang lain mungkin berharap aku lenyap.

"Ras ..." ucapnya ragu-ragu. Dan seperti seorang peramal aku tau apa yang akan kembali ia ucapkan.

"Kamu berantem sama Nayla?" tepat seperti tebakanku. Adik tiriku itu pasti langsung mengadu tentang pertengkaran kami pagi tadi.

Kesal? Tentu saja, aku merasa Nayla sengaja mencari perhatian kekasihku itu.

Terkadang terbesit pikiran untuk membiarkan keduanya menjalin kasih, aku yakin Nayla gadis baik-baik. Namun, ingatan buruk akan ibu tiriku yang tiba-tiba hadir dalam kehidupan rumah tangga orang tuaku, membuatku tak ingin Nayla bahagia begitu saja.

Aku selalu merasa ibu tirikulah penyebab kematian ibuku. Meski saat itu aku tak begitu mengetahui permasalahan kedua orang tuaku.

"Dia sudah mengadu?" cibirku. Mendadak moodku langsung anjlok.

"Ras," Adam menghela napas "Bolehkan aku bantu dia?" Aku tau dia lelaki baik, dia selalu memberitahu aku apa pun kegiatannya. Meski kebaikan itulah yang menjadi penyebab adik tiriku menatap penuh minat padanya.

Menyebalkan.

"Dam, jangan manjain Nayla!" geramku.

"Aku tau maksud kamu baik, tapi itu jadi kebiasaan buat dia. Saat aku ngga bisa kasih dia uang, dia bakal meringik ke kamu," ucapku ketus.

Adam terkekeh, “Ras, Nayla ngga pernah minta bantuanku, aku aja yang inisiatif sayang," bujuknya.

Cih, aku tau maksudnya, yang aku sayangkan adalah, itu menjadi andalan Nayla, entah seperti apa gadis itu berbicara. Mungkin awalnya hanya bercerita dengan di bumbui kesedihan, membuat kekasihku—Adam yang memang memiliki sifat tak tegaan lantas membantunya.

"Kamu keberatan?" Aku seperti seorang penjahat jika diberi pertanyaan seperti ini.

Bukan aku tak sanggup memberi Nayla uang, hanya saja gadis itu sering sekali meminta uang, aku tak ingin membuat ibu tiriku curiga dari mana aku memiliki banyak uang.

Kehidupan mewah yang biasa di berikan ayah kami saat sehat tak ingin di lepaskan oleh ibu tiriku begitu saja. Bagi wanita itu, harga dirinya harus tetap di junjung tinggi, dia tak ingin teman-teman sosialitanya memandang rendah dirinya.

Itulah yang menyebabkan aku harus terjerumus ke lembah kelam seperti sekarang.

Terlebih saat aku harus memenuhi semua kebutuhan mereka semua.

"Nayla kan punya gaji dari kantor kamu Dam, biarkan saja, aku hanya ingin mendidiknya agar bisa mengatur keuangan," kuberikan alasan yang masuk akal agar Adam berhenti mengkhawatirkan Nayla.

"Terlebih, hidup ini ngga semua yang dia inginkan harus dia dapatkan Dam, ngertikan kamu?"

Adam menghela napas, mungkin ia ingin membantah. Namun aku tau ia pasti mengerti jika ucapanku ada benarnya.

"Baiklah, tapi kayaknya itu kebutuhan kuliahnya Ras," ternyata dia masih juga kekeh dengan pendapatnya.

"Terserah!" ujarku kesal lantas segera kumatikan panggilannya.

.

.

.

Tbc.

Terpopuler

Comments

Nafiza

Nafiza

sepertinya adam bakalan sama nayla deh...

2025-01-05

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!