Bab 12

Adam menengahi perseteruan kami dengan mengajakku pergi ke kantin rumah sakit.

Kulihat raut wajah cemburu dari wajah Nayla. Dasar titisan pelakor, kemarin dia bilang dengan penuh percaya diri kalau aku hanya salah paham atas kedekatan mereka berdua, nyatanya saat ini, wajahnya memerah seperti kepiting rebus.

"Kamu semalam ada di mana?" pertanyaan pertama yang Adam lontarkan setelah kami memesan kopi.

Bahkan seteguk air putih pun belum membasahi kerongkonganku, sedari pagi. Karena rasa khawatirku akan keadaan ayah.

"Aku nginep di rumah temenku, Dilla," dustaku.

Terlihat sekali raut wajah Adam berubah tak suka, Adam memang mengenal Dilla dan sedikit tau kelakuan Dilla, oleh sebab itu dia tak ingin aku terlalu dekat dengannya. Takut aku terjerumus ke pergaulan bebas menurutnya.

Dia saja yang tidak tau bahwa Dilla-lah yang selalu membantuku di masa-masa sulit menjadi seorang simpanan. Aku juga tau bagaimana penilaian Adam terhadap perempuan seperti kami ini.

Oleh sebab itu aku tak pernah terlalu berharap hubungan kami akan berakhir bahagia. Hanya saja, cara aku mengakhirnya yang kutakutkan.

Sejujurnya aku berharap suatu saat dia tak membenciku karena lebih memilih meninggalkannya. Lantas bagaimana cara mengakhiri hubungan kami tanpa harus melukai perasaannya.

"Aku ngga masalah kamu mau berteman sama siapa aja Ras, tapi kalo sama Dilla, bisa ngga sih kamu dengerin aku sekali aja. Please jangan terlalu deket ma dia," pintanya.

Kutarik napas keras dan kuhembuskan secara perlahan, itu adalah cara bahwa aku jengah dengan permohonannya.

Adam menggenggam jariku, isyarat tanda permohonan bagiku.

"Ras ...," masih mencoba memohon.

"Kamu ngga kenal baik dia Dam, tolong jangan hakimi dia karena penampilannya," jelas saja aku akan membela Dilla mati-matian.

Apa ini salah satu cara agar Adam muak padaku dan meninggalkanku? Hatiku berdenyut nyeri membayangkan berpisah dari lelaki yang sangat aku cintai ini.

"Kenapa kamu ngga cerita sama aku sih By? Kamu ngga anggap aku penting?" keluhnya.

Kualihkan pandangan menuju taman di depan kantin rumah sakit ini, tak sengaja netraku menatap sosok Nayla yang berdiri di dekat salah satu tiang di rumah sakit.

Apa dia mengikuti kami? Mengawasi Kami? Ya ampun, lama-lama dia seperti penguntit.

"Ngga semua hal harus kamu tau Dam, terkadang aku malu karena masalah keluargaku," jelasku.

Adam bangkit dan memilih pindah tempat duduk di sebelahku.

Kaos dengan warna biru muda di padu padankan dengan celana khaki terlihat sangat pas di tubuh atletiknya, aku yakin bentuk tubuhnya tak berbeda jauh dengan Joan.

Kugelengkan kepala saat nama Joan terlontar dari pikiranku, mengapa di saat sedang bersama Adam, nama Joan selalu hadir membuat buyar segalanya.

"Kamu kenapa? Pusing?" ujar Adam yang salah mengartikan gerakan defensifku.

Aku hanya menggeleng untuk menjawab pertanyaannya. Selanjutnya kuseruput es kopi yang sedari tadi ingin sekali kuminum untuk melegakan tenggorokanku.

"Aus?" kekeh Adam saat melihat aku menghabiskan sekali sedot minumanku.

Lagi-lagi aku hanya mengangguk memberi jawaban. Adam kembali memesankan minuman untukku, kali ini dia memilihkan segelas jus jeruk.

Adam mengusap kepalaku, dari sudut mata kulirik Nayla yang pergi berlalu dari sana sambil berlari. Ah malangnya nasib adik tiriku, aku yakin dia patah hati.

"Maafin aku By, bukan maksud mengontrol pertemanan kamu, aku cuma takut aja kamu terjerumus sama kebiasaan buruknya Dilla," jelasnya.

Terjerumus? Memangnya apa yang di ketahui oleh Adam? Dia hanya tau kalo Dilla itu seorang perokok dan juga pecandu alkohol, seperti itu saja sudah membuat Adam menilai negatif sahabatku.

Bagaimana jika ia tau kalau Dilla adalah seorang wanita simpanan para laki-laki berkantong tebal. Tanpa bisa di kompromi aku yakin Adam akan memintaku untuk menjauhinya.

Dari dulu Adam selalu bertanya bagaimana awal perkenalanku dengan Dilla. Adam tak pernah tau jika aku pernah bekerja di dunia hiburan malam, walau hanya sebatas pelayan, dia hanya tau jika aku bekerja di sebuah pabrik yang tak jauh dari tempat bekerjaku yang sebenarnya.

Jam kerjaku yang di mulai tengah malam tak pernah membuat Adam curiga, sebab kami hanya bertemu di sore hari saja.

Aku selalu berdalih jika Dilla adalah rekan kerjaku di pabrik. Tak sepenuhnya aku berbohongkan? Kami memang rekan kerja, meski bukan di pabrik tentunya.

Adam terlihat tak percaya dengan jawabanku kala itu, memang penampilan Dilla yang selalu mengenakan barang bermerek tak terlihat meyakinkan jika dia hanya seorang buruh pabrik.

Dengan tenang Dilla berkata jika orang tuanya termasuk orang berada di desanya, meski hanya seorang petani, begitulah dalihnya.

Jadi karena dia hanya lulusan SMA, dia beralasan hanya pekerjaan menjadi buruh pabriklah yang mau menerima lulusan sepertinya. Benar-benar pembohong handal, meski tak bisa membuat Adam yakin sepenuhnya.

"Mending kamu ceritain apa yang sebenernya tarjadi sama keluargaku Dam, aku yakin kamu tau semuanya."

Lebih baik membicarakan hal yang penting saat ini, salah satunya mengenai bagaimana Adam membantu keluargaku.

Mengalirlah ceritanya, di mana dia terkejut saat mendapatkan telepon dari Nayla malam tadi. Sudah kuduga pasti Nayla yang meminta tolong pada Adam.

Adam menyipitkan matanya padaku saat melanjutkan ceritanya, "Semalaman Nayla telepon kamu, tapi ngga ada jawaban, karena panik akhirnya dia minta tolong sama aku," ucapnya sambil menghela napas.

"Aku kaget pas dateng ke rumah mereka, banyak lelaki berbadan besar lagi ngeluarin barang-barang dari rumah Nayla," jelasnya.

"Sampai segitunya?"

"Kamu ngga percaya?"

"Maaf, bukan ngga percaya sama cerita kamu, aku cuma heran aja, bukan baru kali ini aja aku telat bayar sewa. Apa sampai segitunya perlakuan Bu Ratna?"

"Aku ngga tau, soalnya baru juga aku mau tanya sama orang yang mungkin bernama Bu Ratna itu, tau-tau ayah kamu pingsan. Jadi mau ngga mau aku urus dulu ayah kamu."

"Ngga salahkan kalo aku minta penjelasan sama Bu Ratna?"

Adam menghela napas, "Mendingan kamu mikirin kesehatan ayah aja sama keluarga kamu. Yang udah berlalu lupain aja," tawarnya.

Apa dia bilang? Lupain? Engga bisa, aku penasaran kenapa Bu Ratna bisa sekejam itu, meskipun belum pernah bertemu, aku yakin bukan masalah telat bayarnya, pasti ada masalah lain.

"Sekarang, kamu tau di mana Mamah sama adik-adik aku tinggal Dam?"

"Di sebelah rumah Mamahku ada yang kosong, untung kuncinya di titipi ke mamah, jadi sementara mereka tinggal di sana dulu. Kalo cocok Mamah saran in buat mereka sewa aja. Biar Mamah ada temennya," jelas Adam.

Bisa gawat jika Nayla tinggal berdekatan dengan orang tua Adam. Meskipun Adam sudah memiliki tempat tinggal sendiri, tapi aku yakin Nayla pasti bakal cari perhatian ibu dari kekasihku.

Rasa cemburu benar-benar tengah menguasaiku. Aku yakin ibu tiriku akan memaksa agar aku menyewa rumah itu.

"Mending kamu juga kembali tinggal sama mereka Ras, biar bisa deket sama calon mertua," kelakarnya.

Glek, kutelan kasar salivaku, meski hanya sebuah guyonan, aku yakin itu adalah hal yang Adam impikan atas hubungan kami ini.

"Kamu tau bagaimana hubunganku sama keluargaku 'kan Dam?" sergahku dan seketika membuat tawa Adam terhenti.

Aku tetap berencana menemui Bu Ratna, ingin meminta penjelasannya.

.

.

.

Tbc.

Terpopuler

Comments

Baihaqi Sabani

Baihaqi Sabani

duh raras mnfing putus aj ma adam...kn kmu dh trlnjur jd sugar baby joan...lanjutkn... biar adam ma nayla n adam tahu nayla licik...munafik

2022-10-26

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!