Bab 2

Andai aku tak malu akan dosa diri, bolehkah saat ini aku menyebut nama Tuhan agar Dia bisa menolongku.

Joan merendahkan kepalanya, menyusuri leherku. Napasnya menggelitik kulit, membuatku meremang. Ada hasrat yang tiba-tiba muncul. Bagaimana pun kami biasa melakukan itu bukan? Jadi wajar aku jadi berhasrat saat ini.

Kecupan-kecupan kecil ia berikan, seakan kurang memenuhi tubuh ini. Padahal di bagian dadaku sudah di penuhi oleh tanda kepemilikan miliknya. Bahkan ada yang sudah berwarna keungu-unguan.

Hasrat itu kembali hilang tergantikan kesal. Jika boleh, ingin sekali aku membanting tubuh itu, aku ingin bertemu Adam kekasihku. Bagaimana jika dia melihat tanda itu, meski aku bisa menutupinya dengan alas bedak, tapi hal itu sungguh merepotkan.

Dalam kelengahan tiba-tiba dia sudah bergerak di atasku, perih sudah pasti itu yang kurasakan. Tanpa aba-aba dia menghujamku yang belum siap. Aku diperlakukan layaknya binatang.

Ingin sekali aku menangis dan meminta tolong. Namun tak bisa, yang aku bisa lakukan adalah berpura-pura menikmati dengan hasrat palsu, agar dia segera menuntaskan hasratnya.

Nada dering di ponselnya membuat Joan seketika menoleh, lelaki di atasku menggeram kesal, hingga tak lama lahar panas aku rasakan. Dia sudah mencapai klimaksnya, meski terlihat itu tak membuatnya puas.

Segera dia lepas pergumulan kami, dan berjalan cepat menuju tempat membersihkan diri lagi.

Vangsat! sumpah serapah kuucapkan untuk lelaki itu. Sepertinya semua hewan yang ada di kebun binatang aku absen satu-satu.

Kucoba menurunkan satu demi satu kakiku.

"Ishhh," rintihan lolos begitu saja, ini benar-benar sakit.

Dia kembali keluar dari kamar mandi, tapi tak memintaku untuk mengeringkan rambutnya. Sepertinya dia terlambat. Salah sendiri.

Aku masih duduk dengan selimut tipis melilit diri ini, menatap lelakiku yang mondar-mandir mengacak-ngacak isi lemari.

Hingga tak lama dia melempar dasi tepat ke wajahku lagi. Tentu saja mau tak mau aku harus bangkit.

"Shhh," kembali aku tak dapat menahan rintihan itu. Saking takutnya aku menatapnya, dia hanya melirik sekilas dan tak peduli.

Kami seperti pasangan suami istri jika orang melihatnya, di mana aku mungkin terlihat seperti seorang istri yang tengah memakaikan dasi suamiku.

Lucu memang, tapi inilah kebiasaanku saat bersamanya. Bahkan aku sampai harus kursus agar bisa memasangkan dasi dengan rapi.

"Aku akan tetap mencari waktu untuk menemuimu, jadi jangan merasa bebas."

Dingin, kata-kata yang keluar dari mulutnya adalah sebuah ancaman yang mengikat kebebasanku.

Tapi apa yang bisa aku lakukan? Tentu saja tersenyum bodoh seperti biasa, seolah-olah aku senang dengan perkataannya.

"Sure, tapi aku tetap harus pulang, bolehkan?" pintaku manja.

Terkadang aku tertawa dalam hati saat mendengar ucapanku sendiri yang tengah merayunya. Dengan nada yang dibuat manja, aku sendiri merasa jijik, entah bagaimana dia. Tapi sepertinya dia menyukai sikap manjaku. Jadilah aku jadikan itu sebagai senjata pamungkas untuk merayunya.

Benar saja, tatapan mata itu melembut, meruntuhkan sikap tiraninya, dia memelukku, mengusap punggung ini dengan lembut.

"Gue transfer nanti, kalo Lu ngga nyaman, buruan balik, jangan sampe mabok di club," titahnya. Aku hanya bisa mengangguk tanda setuju.

Dia melepaskan pelukannya dan mengecup singkat dahi ini lantas berlalu pergi.

Setelah kepergian lelaki itu, kujatuhkan kembali tubuh ini di ranjang, memeriksa aset berhargaku yang semakin perih.

Nada pesan di ponselku masuk, gegas kusambar dan tersenyum kecut. Kenapa aku terburu-buru melihat pesan itu, karena aku tau siapa yang tengah mengirim pesan padaku.

Sengaja memang aku memberikan nada panggilan khusus agar aku tak membuatnya menunggu lama.

Dia mengingatkan aku di mana obat oles yang biasa aku gunakan ketika aku kesakitan seperti ini.

Bahagia? Tentu saja tidak, dia yang membuatku seperti ini.

Dengan langkah tertatih kudekati lemari penyimpanan obat. Aku harus segera mengobati lukanya agar tidak infeksi. Lagi pula aku tak ingin menjadikan alasan sakit untuk tak masuk kerja.

Ya, meski aku sudah memiliki banyak uang dan barang-barang mewah dari hasil menjual diri. Namun aku juga memiliki pekerjaan halal lainnya.

Meski banyak yang bilang pekerjaanku saat ini hanya sebuah kamuflase untuk menutupi pekerjaanku yang sebenarnya aku tak peduli.

Setidaknya hanya segelintir orang yang tau apa pekerjaan utamaku. Ya sebagai pemuas Tuan muda Joan Alexander tentunya.

Aku bangga dengan pekerjaanku, meski hanya tamatan Sekolah Menengah Atas, aku bangga bisa bekerja di kantor, meski hanya menjadi seorang resepsionis.

Meski gaji yang di dapatkan jauh dari uang yang di berikan Joan, tapi aku sangat menghargai hasil kerjaku sendiri. Aku juga tak pernah semena-mena dengan pekerjaanku, meski aku memiliki cukup uang. Pekerjaan ini juga sebagai persiapan jika suatu saat nanti Joan membuangku.

Bekerja di perusahaan ini pun atas anjuran Joan, entah bagaimana dia memasukkanku, aku tak peduli.

Yang pasti, saat kami membuat kesepakatan itu, aku hanya minta agar aku di izinkan bekerja. Dia tak menolak, meski hanya dirinya yang boleh mencarikan aku pekerjaan.

Aku tak boleh lagi bekerja di klub malam, meski hanya sebagai pelayan. Jadilah aku terdampar di sini. Meski dulu karyawan sering menatap sinis padaku yang bisa bekerja di sana hanya dengan ijazah SMA. Mereka menebak pasti aku masuk melalui orang dalam.

Entah, mungkin saja, orang seperti Joan kan punya uang dan kuasa, tentu saja mudah baginya membuatku bekerja bukan?

.

.

.

Meski masih merasa tidak nyaman, tapi ini bisa membuatku tetap bisa berjalan. Kususuri basemen di mana kendaraan para penghuni apartemen ini terparkir, salah satunya tentu miliku.

Aku sendiri memiliki 3 jenis mobil, Porsche, BMW, dan satunya Honda Jazz putih favoritku. Dua mobil mewah itu hanya sesekali kugunakan, tentu saja nyaman, hanya keadaan yang membuatku tak nyaman.

Jelas saja aku tak ingin membuat orang curiga dari mana aku memiliki mobil mewah tersebut. Aku tetap ingin bersikap biasa saja bahkan kalau pun bisa aku ingin seperti bunglon yang bisa berkamuflase di segala tempat.

Baru saja mendaratkan bokongku di mobil, dering ponselku kembali menjerit.

Terpampang nama yang membuatku refleks berdecak sebal. Nayla, adik tiri pertamaku yang usianya hanya berjarak satu tahun dariku.

"Ka —" sapanya menggantung. Aku tau ia pasti ingin meminta uang jika ucapannya ragu-ragu seperti ini.

"Kamu mau minta duit?" tebakku tanpa basa basi.

"Maaf Ka," hanya itu yang bisa gadis itu ucapkan.

"Baru kemarin kakak kasih kamu uang Nay—"

"Udah sih kasih aja! Kalo engga, pake uang pengobatan ayah kamu," itu suara ibu tiriku. Kesal sekali ucapanku dengan Nayla harus terpotong olehnya.

"Mah!" aku dengar Nayla juga membentak ibu kandungnya itu. Tak lama aku kembali mendengar suara Nayla, meski di belakang sana aku masih mendengar gerutuan ibu tiriku.

"Maaf Ka, kalo kakak ngga bisa bantu ngga papa nanti aku minta bantuan Mas Adam," cicitnya.

"NAYLA!" bentaku.

Aku benar-benar frustrasi dengan gadis itu, mungkin darah keturunan pelakor menurun padanya. Bisa-bisanya dia mengancamku dengan hal itu.

.

.

.

Tbc

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!