Cereon Apartment Nomor 23 Pukul 02 :00
"Hera! Hera! Kau di sana? Syukurlah. Jangan takut, aku akan mengeluarkanmu sekarang. Ayo raih tanganku".
"Aku takut Kak".
"Tak usah takut, aku di sini. Cepat genggam tanganku".
Lengannya terasa hangat, namun matanya berkaca-kaca. Terdapat luka di kepalanya, perlahan luka itu meneteskan darah.
"Kak, kepalamu berdarah".
"Tak apa, aku baik-baik saja. Kau tak apa kan?".
"Emm. Tapi Ibu dan Ayah masih di dalam. Aku harus mengeluarkan mereka".
"Jangan, itu berbahaya".
"Tapi mereka masih di dalam".
Anak perempuan itu bangkit dan hampir berlari menuju mobil yang terguling itu. Tetapi anak lelaki di sampingnya menahannya dan memeluknya. Tak lama terdengar suara ledakan yang berasal dari mobil itu. Anak lelaki itu memeluk erat anak perempuan itu.
"Tak apa Hera, kau sekarang aman. Tak usah menengok ke belakang ya".
Tetapi tubuh anak perempuan itu goyah. Ia mulai kehilangan kesadaran. Begitupun dengan anak lelaki yang memeluknya. Tubuh kecil mereka terjatuh di jalanan aspal yang keras.
***
Aleris terbangun dengan tubuh gemetaran. Tangannya meraih ponsel di atas meja di sampingnya. Masih pukul dua dini hari, tapi ia tak bisa kembali tidur. Apa yang baru saja terjadi? Ia masih setengah menggigil saat harus menyadari bahwa ia tengah bermimpi aneh lagi. Mimpi yang sama semenjak ia masih kecil. Ia tak bisa membedakan apakah itu hanya imajinasinya atau memang ingatan dari masa lalunya. Ia kini hanya bisa meringkuk di kasurnya sambil memandangi langit-langit kamarnya. Tanpa ia sadari perlahan-lahan ia kembali tertidur lelap.
Paginya Aleris terbangun dengan ekspresi kaget. Ia kesiangan, ia lupa bahwa sebenarnya hari ini adalah hari liburnya. Ia bersiap seperti saat ia akan bekerja, sebelum akhirnya dering panggilan masuk berhasil mencegahnya untuk berangkat kerja. Panggilan itu berasal dari Tryan, teman dekat Aleris. Ia akhirnya teringat bahwa ia telah membuat janji untuk bertemu dengan Tryan hari ini. Aleris kembali ke kamarnya untuk ganti baju dan berdandan.
Pagi itu ternyata bukan pagi yang cerah, awan bergumul sehingga menutupi sinar mentari. Aleris nekat pergi tanpa membawa payung. Lagi pula ia akan naik bus dan jarak halte dari apartmentnya tidak cukup jauh, begitu pikirnya. Ia mengenakan kemeja putih tulang senada dengan rok rempelnya serta jaket rajut berwarna kuning pastel yang dilingkarkan di pundaknya. Ia sengaja berpenampilan lebih feminim kali ini.
Aleris berjalan dengan cepat menuju halte bus. Halte itu hampir kosong, hanya ada seorang kakek-kakek yang duduk di pinggir sambil bersender. Aleris tersenyum pada Kakek itu dan sang kakek pun tersenyum balik padanya. Aleris tak berniat untuk mengajak bicara kakek itu, ia langsung mengenakan earphone nya untuk mendengarkan playlist musik favoritnya. Tetapi sang Kakek malah memandangi Aleris cukup lama. Aleris mencoba untuk menghiraukan gelagat Kakek itu.
Bus belum kunjung datang, justru hujanlah yang datang lebih dulu. Aleris mendengus pelan pada dirinya sendiri karena nekat untuk tak membawa payung. Sang Kakek yang dari tadi memandangi Aleris tersenyum melihat tingkah Aleris barusan.
"Sepertinya kau membenci hujan ya anak muda". Kakek itu akhirnya berbicara pada Aleris.
"Tidak juga. Aku hanya mengeluh karena lupa untuk membawa payung". Aleris beralibi.
"Masih muda kok pelupa, hehehe". Ucap sang Kakek sambil terkekeh.
Byur!
Sebuah sepeda motor yang melaju dengan cepat di depan halte melalui sebuah genangan air sehingga berhasil mencipratkan air ke baju sang kakek. Aleris yang tadinya acuh pada sang Kakek akhirnya memperhatikannya.
"Kakek, bajumu basah. Kau akan kedinginan".
"Hehe, aku tau anak muda. Aih, sepertinya aku kurang beruntung kali ini. Semoga saja kendaraan yang menjemputku segera datang". Kakek itu mengelap perlahan bajunya.
"Ini gunakan saja jaketku agar Kakek tak kedinginan". Aleris melepas jaket rajut yang melingkar di lehernya.
"Tak usah Nak, aku baik-baik saja". Kakek itu menolak jaket Aleris.
"Kakek gak usah bandel ya, pokoknya kenakan saja. Ngomong-ngomong kakek habis dari mana mengenakan baju serba hitam begini?".
"Anak muda memang selalu bersikeras. Baiklah , akan Kakek kenakan, terima kasih".
"Kakek habis dari makam anak Kakek. Hari ini adalah peringatan kematiannya yang ke dua puluh tahun. Rasanya baru kemarin, waktu berlalu begitu cepat ya". Kakek itu mengakhiri kalimatnya dengan teridam beberapa saat.
"Aku turut berduka ya Kek". Ucap Aleris sambil menundukan kepala.
"Tak usah merasa tak enak. Lagi pula sudah lama sejak saat itu. Nah, sepertinya bus yang kau tunggu telah datang, bersiaplah". Kakek itu menunjuk ke arah bus yang baru datang.
"Ya, Kakek benar. Aku berangkat duluan ya Kek. Selamat tinggal". Aleris bangkit dan berjalan menuju bus.
Sang Kakek tiba-tiba memegang lengan Aleris dan menghentikan langkahnya.
"Nak, kau hampir melupakan jaketmu. Ini, ambilah". Sang kakek menyodorkan kembali jaket itu kepada Aleris.
"Gunakan saja Kek, tak usah dikembalikan. Aku masih punya banyak jaket seperti itu di rumah". Aleris kembali beralibi.
"Tidak, pokoknya ambilah. Tuh, jemputanku juga sudah datang. Ambilah kembali jaket ini".
"Baiklah. Eh, itu jemputan Kakek?". Ucap Aleris sambil terkaget.
"Hehe, betul".
Sebuah mobil mewah berhenti di belakang bus. Aleris kaget saat menyadari bahwa sang Kakek ternyata bukan orang sembarangan. Aleris lalu segera mengambil jaket itu dari tangan sang Kakek dan buru-buru naik bus. Ia merasa malu saat ini.
"Eh, tunggu dulu anak muda". Sang Kakek kembali memanggilnya.
"Ada apa lagi Kek?". Tanya Aleris.
"Benarkah itu? Tanda lahir di telapak tanganmu. Boleh aku melihatnya sekali lagi". Ucap kakek itu.
Aleris lalu menampakkan kedua telapak tangannya kepada sang Kakek, seketika mata sang Kakek berkaca-kaca. Sang Kakek lalu menatap Aleris dengan penuh haru. Ia mengusap rambut Aleris dengan pelan. Air matanya kini menetes perlahan.
"Kau adalah cucuku yang hilang dua puluh tahun yang lalu".
"Apa?".
Aleris kaget mendengar hal itu. Ia hanya bisa diam terpaku memandangi wajah sang Kakek. Apa yang baru saja ia dengar? Apakah itu hanya bualan semata? Apakah semua ini nyata? Benarkah ia sebenarnya adalah cucu dari seorang Kakek kaya raya itu? Atau justru ia tengah dipermainkan oleh seseorang. Segala bentuk pertanyaan muncul di benak Aleris. Ia tak bisa berkata sepatah katapun. Ia bingung dengan kejadian yang baru saja ia alami. Ia teridiam dan melamun untuk beberapa saat.
"Hey jadi naik tidak?".
Aleris tersadarkan kembali oleh teriakan sang supir bus. Aleris lalu pergi dengan cepat meninggalkan sang Kakek. Kini sang Kakek tidak menghentikan langkahnya karena masih dalam kondisi terharu. Saat Aleris sudah naik bus barulah sang Kakek mencoba menghentikan Aleris kembali. Tapi terlambat, bus sudah berjalan. Sang Kakek mencoba mengejar bus itu tapi tak bisa. Sebuah mobil mewah akhirnya berhenti di depan sang Kakek. Kakek itu lalu menaiki mobil itu.
"Tolong kejar bus tadi. Cucuku ada di dalam". Ucap sang Kakek pada sopirnya.
Mobil pun melaju dengan cepat. Tetapi masih belum bisa menyusul bus itu karena jaraknya sudah lumayan jauh. Akankah sang Kakek menemukan cucunya? Apakah benar Aleris adalah cucunya yang selama ini ia cari?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 35 Episodes
Comments
botak
kakee sih kebnyakan bengong..kaget yaa kek..ayo kek caayooo,cehmunguuttt....aahh tragedi masa lalu,dia diselamatkan ma ci doi....trauma masa lalu kelam
2022-10-07
0