Rebecca menikmati hari liburnya, tak harus mengeluarkan isi kontongnya, Rebecca sudah cukup bahagia. Hanya dengan menonton pending-an drama favoritnya dan juga sekadar jalan-jalan bersama teman serumahnya bisa menyenangkan hati Becca.
"Dok, kudengar kamu baru saja membantu cucu pemilik rumah sakit?" Gosip itu berembus lebih kencang dibanding angin di luar perkiraan Becca. Bahkan, Becca tak menyangka jika teman satu rumahnya juga mengikuti berita ini. Meski tidak berada dalam satu divisi, Becca tak menyangka jika pegawai lain bisa mendengar kabar ini.
"Oh, aku hanya mendonorkan darah saja. Kebetulan golongan darah kami sama." jawab Rebecca dengan santai seusai menyeruput es degan dengan sedotan warna-warni.
"Tapi ... " Ucapan teman Rebecca terhenti lantaran sebuah panggilan masuk ke ponsel yang tergeletak menghadap ke dalam milik Rebecca.
Tertera nama kepala divisi bedah menghubungi Becca. Jika bukan masalah pekerjaan, tidak mungkin seorang atasan akan menghubungi dokter baru seperti Rebecca.
"Halo iya, Pak?"
"Becca, kamu di mana? Bisakah datang ke rumah sakit? Ada hal penting yang harus aku katakan padamu," Suara atasan Rebecca terdengar penuh penghayatan. Sangat jelas jika ia panik, dan dari nada suaranya pula, Rebecca mampu menduga jika atasannya berada dalam masalah yang serius.
"Iya, saya ke sana, Pak!" Tanpa pikir panjang lagi, Rebecca segera memutuskan untuk mengikuti kemauan sang kepala divisi.
Namun, Rebecca tak sendiri. teman satu rumahnya ikut cabut dari warung bakso pinggir jalan sepulang dari menonton film.
"Yah, jadi nyusahin kamu deh, Nil!" ujar Rebecca pada Nilai, dokter residen yang sedang menjalani program spesialis bedah.
"Gak papa kali, dok! selama ini kamu telah banyak membantuku."
Dari segi usia serta profesi, jelas bahwa Rebecca berada di atas Nila. Tetapi, Rebecca tidak pernah merasa demikian. Becca menghargai Nila sebagai partner kerjanya. Tak ayal keduanya sering kebagian shift yang sama serta libur yang sama seperti hari ini.
Nila berjalan mengikuti seniornya menelusuri lorong demi lorong rumah sakit swasta ini. Selain tak memiliki kegiatan lain, Nila juga tidak keberatan mengantar Rebecca. Namun, "Ops .. baju kita, dok!" Nila berseru begitu ia menyadari jika pakaian yang mereka kenakan tidak seperti pakaian kerja pada umumnya.
"Lagian, ini hari libur kita, bukan?" Rebecca yang saat ini mengenakan celana jeans pendek di atas lutut terlihat santai dengan stylenya.
Ingin memberikan waktu dan luang bagi Rebecca, membuat Nila tak ikut masuk ke dalam ruangan kepala divisi. Nila lebih memilih duduk nongkrong di kantin rumah sakit.
"Masuklah, Becca!" perintah kepala divisi pada dokter tomboi satu ini.
"Oke," Seperti biasanya, Rebecca tak pandai dalam mengukir kata-kata bualan.
Kepala divisi menjelaskan duduk permasalahannya pada Rebecca. Dan Rebecca sendiri cukup serius mendengarkan. Sesekali Becca menangkap ekor mata kepala bagian yang memiliki maksud tersirat padanya.
"Bisakah kamu menanganinya, Rebecca?" tanya ahli bedah senior tersebut pada Rebecca.
Sangat jelas jika permintaan beliau cukup serius untuk diperhatikan oleh Becca. Dan kepala divisi bedah sentral tersebut tampak cukup tertekan. Masalahnya ini berkaitan dengan nasib kariernya di bidang kesehatan.
"Tapi, dok! saya bukan ahli jantung atau pembuatan darah," tolak Rebecca dengan halus. Bagaimanapun juga kasus ini bukan berada dalam jangkauannya. Selain tidak mendalami penyakit yang berkaitan dengan jantung dan pembuluh darah, Rebecca juga enggan untuk ikut campur dengan keluarga pasien.
"Ayolah, Becca. Aku sudah mendengar kabar pasien Aritmia yang kamu tangani di pesawat." bujuk atasan Rebecca lagi.
"Tapi ... Sa-saya .... "
Bukan niat Rebecca untuk berhak menolak kasus ini, tetapi Rebecca tidak ingin perselisihan dengan salah satu putra pemilik rumah sakit ini semakin melebar ke mana-mana.
Dan akhir dari pembicara di ruangan kepala divisi bedah sentral hari ini adalah Rebecca tidak bersedia menjadi dokter penanggung jawab kasus Bu Melati. Semua itu Becca ungkapan karena Becca bukanlah dokter spesialis jantung dan pembuluh darah.
"Tapi kita takut tumornya menyebar ke mana-mana,"
"Bagaimana hasil pemeriksaan MRI?" Rebecca sedikit ingin tahu, karena bagaimanapun juga Bu Melati adalah pemilik rumah sakit ini. Jadi, sudah sewajarnya jika Rebecca menaruh perhatikan terhadap Bu Melati.
"Harus diangkat, Becca! dan beliau hanya ingin ditangani olehmu,"
"Damn, its fu cking day!" Rebecca mengutuk dirinya sendiri yang terlalu baik datang menghadap.
Rebecca masih teguh pada pendiriannya. Ia menolak menangani kasus Bu melati. Meski sebenarnya Rebecca juga tak sampai hati. Jauh dalam lubuk hatinya, Rebecca tak tega jika melihat orang yang kesakitan. Terlebih lagi, sempat pagi tadi Becca mengingatkan Bu Melati untuk melakukan medical check up. Rebecca mendengar detak jantung Bu Melati yang tidak normal dari jantung pada umumnya.
"Pemimpin sangat mengharapkan kamu, Nak!" Kepala devisi masih membujuk Rebecca hingga mengikuti kepergian dokter baru tersebut.
"Ada apaan sih, dok?" Nila yang merasa aneh, buru-buru meminta konfirmasi saat melihat kepada devisi bedah mengekori Rebecca hingga ke kantin rumah sakit.
"Balik, yuk? Capek aku," ajak Rebecca dengan kesal karena hari liburnya harus terusik dengan kasus ini.
**
Tak sampai di situ juga hari mengganggu Rebecca. Di pintu keluar, Rebecca kebetulan berpapasan dengan salah satu putra Bu Melati.
"Rebecca," panggil Thomas berbalik dan mengejar dokter cantik tersebut.
"Ada apa ya? Hari ini aku libur," Rebecca tahu maksud pria tampan itu mengejarnya. Ia paham jika Thomas akan mati-matian memintaku membantu kasus sang mama.
"Jika kamu berpikir ini pekerjaan biasa, coba kamu pikirkan aku? Tolong bantu mamaku! demi aku." Siapapun yang berada di posisi dekat mereka pasti menduganya jika Rebecca menjalin hubungan serius dengan Thomas. Pasalnya perkataan Thomas ke Rebecca lebih mirip seperti pria pada kekasihnya, bukan seperti dokter dan keluarga pasien.
"Maaf, aku bukan ahli jantung. Masih banyak dokter jantung yang lebih kompeten di rumah sakit ini," jelas Rebecca menyadarkan ingatan Thomas jika Becca bukan spesialis jantung dan pembuluh darah.
"Tapi, mamaku maunya kamu. Karena dia begitu percaya padamu,"
"Kak, aku juga percaya pada Bu Melati bisa melewati ini semua. Dan aku akan mendoakan yang terbaik untuk beliau,"
"Please, Becca! demi aku dan mamaku,"
"Aku tidak bisa, Kak! maaf, ya?"
Rebecca menolak dengan halus, sangat halus hingga hatinya sendiri pun bergejolak antara bersedia dan tetap teguh pada pendiriannya.
"Sudah kukatakan bukan, dia mendekatmu hanya untuk harta saja. Buktinya, dia menolak membantu mama." Dari belakang, suara James membuyarkan pembicaraan keduanya.
"Kamu tahu sendiri 'kan, Kak? Aku ini licik, hingga membuat kalian percaya lalu dengan mudahnya aku menghancurkan keluarga kalian?" Rebecca menatap Thomas dengan hati terluka.
"Tidak! kamu bukan orang seperti itu." Thomas masih mempertahankan keputusannya untuk memercayai Rebecca.
"Aku tidak bisa, Kak! karena ... " Rebecca kesulitan melanjutkan kalimatnya.
"Karena apa? Karena perlu uang?" tebak James dengan gemas.
"Bisa diam tidak?" bentak Thomas pada kakak kandungnya.
"Karena aku pernah gagal menyelamatkan orang yang kucintai dalam kasus seperti ini, tolong maafkan aku," Rebecca berlari sekuatnya menuju parkir mobilnya begitu menolak permintaan Thomas barusan.
...****...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 48 Episodes
Comments
𝕸y💞MiraDeN@y😻EF🍆
mulut mu James ,,😡
2022-09-09
1
Baihaqi Sabani
uuh bbng james...muluty tak tapok kli ya tpi syang muka y cakep amat..... thomas jg g klh cakep n baik pula😄😄😄😄
2022-09-08
0
Maulana ya_Rohman
suuzon ajah si james🤦
2022-09-07
1