Pagi yang cerah, tidak bisa mewakili perasaan Thalia saat ini. Hatinya mendadak bimbang setiap kali dia teringat dengan Sandi. Apalagi, hari ini pemuda itu tidak berangkat ke kafe. saat Thalia mencoba menghubungi ke ponselnya pun tidak terhubung.
"Sandal ke mana? Bukankah hari ini akan ada yang datang untuk survey kafe?" gumam Thalia seraya memeriksa keuangan kafe.
Berkali-kali gadis itu menghela napas dalam. Namun, tetap saja tidak bisa membuat gadis itu lebih tenang. Akhirnya dia pun memutuskan untuk pergi ke apartemen Sandi.
"Mas Gun, titip kafe ya! Aku mau lihat Sandi ke apartemen. Nanti tolong dihandle dulu tamu yang akan survey kafe untuk acara kantor," pinta Thalia.
"Baik, Mbak! Mbak tenang saja. Semuanya pasti aman terkendali," sahut Gunawan.
"Oke, deh! Aku berangkat sekarang," pamit Thalia seraya berlalu pergi meninggalkan Gunawan yang termangu sendiri.
Thalia langsung menuju ke motornya. Dengan kelincahannya mengendarai roda dua di jalan raya, membuat Thalia bisa menyalip setiap mobil dan motor yang dilewatinya. Dia terus saja memacu kendaraannya di atas enam puluh kilo meter per jam. Hingga tidak butuh waktu lama untuk gadis itu sampai di apartemen Sandi.
Dengan napas yang memburu, Thalia memasukkan password apartemen sahabatnya. Keningnya mengerut saat mendapati ruang tamu yang gelap. Gadis itu pun menyalakan senter di ponsel pintarnya untuk mencari stop kontak. Setelah mendapatkan apa yang dicarinya, dia pun segera menyalakan lampu ruang tamu.
Matanya melihat ke sekeliling. Semuanya masih sama persis seperti kemarin saat dia meninggalkan Sandi. Kaleng minuman masih teronggok di atas meja. Gelas bekas minum dia pun masih anteng berdiri di tempatnya. Jantungnya langsung berdetak lebih cepat dari biasanya. Dia takut, Sandi kembali terpuruk seperti saat dulu kelulusan sekolah menengah atas.
Perlahan, Thalia pun menuju ke kamar sahabatnya yang tidak terkunci. Detak jantungnya semakin cepat memompa aliran darah. Lagi, dia mencari stop kontak untuk menyalakan lampu kamar. Dilihatnya Sandi yang sedang terbaring lemah di atas tempat tidur dengan selimut tebal membungkus seluruh tubuhnya.
"Sandal, kamu gak apa-apa?" tanya Thalia panik dengan memegang dahi sahabatnya. "Sandal kamu demam."
Sedikit pun tidak ada jawaban dari pemuda itu. Matanya masih terpejam dengan tubuh yang menggigil. Thalia pun segera mencari kotak obat dan mengambil termometer untuk mengukur suhu tubuh sahabatnya. Dibukanya mulut Sandi sedikit, lalu dia pun memasukkan termometer itu ke dalam mulut sahabatnya.
"Astaga! Tiga puluh sembilan koma lima derajat. Tinggi banget panasnya. Aku harus segera menelpon dokter," gumam Thalia.
Thalia pun segera menelpon dokter yang biasa Sandi hubungi jika dia sakit. Setelah, selesai menelpon, gadis itu segera beranjak ke dapur untuk mengambil baskom kecil dan mengompres Sandi.
"Sandal, kenapa kamu harus sakit? Maafkan aku jika keputusanku melukai hati kamu. Mungkin ini sudah takdir Tuhan," lirih Thalia.
Tidak lama kemudian, terdengar suara bel berbunyi. Thalia pun segera membukakan pintu. Dilihatnya Dokter Louis berdiri dengan tas dokter yang ditentengnya.
"Silakan masuk, Dok!" suruh Thalia.
Dokter Louis hanya tersenyum seraya menganggukkan kepalanya sedikit. Dia pun langsung menuju ke kamar Sandi. Dipegangnya dahi Sandi yang sukses membuat dahinya menjadi berkerut.
"Panas sekali! Sudah berapa lama dia demam?" tanya Dokter Louis.
"Pastinya saya tidak tahu, Dok. Soalnya kemarin masih baik-baik saja," jelas Thalia.
"Apa ada sesuatu hal yang membuat dia merasa terpukul?" tanya Dokter Louis lagi.
"Kalau itu, kalau itu ...." Thalia tidak bisa melanjutkan ucapannya. Dia malu jika mengatakan kemarin mereka habis berdebat hebat.
Apa mungkin Sandi sangat terpukul dengan berita pertunangan aku, batin Thalia.
"Apa kalian habis bertengkar?" tebak Dokter Louis seraya memeriksa kondisi Sandi.
"Kemarin, kami habis berdebat," ucap Thalia lirih.
"Panasnya sangat tinggi, sebaiknya kita bawa dia ke rumah sakit. Tolong kamu persiapan baju gantinya. Saya akan menelpon rumah sakit untuk menyiapkan ambulans," suruh Dokter Louis.
Thalia langsung mengambil tas ransel dan mengisinya dengan baju Sandi. Dia begitu tergesa-gesa sehingga tanpa sengaja menjatuhkan sebuah buku diary yang berwarna hitam. Thalia pun kembali menyimpan buku itu ke sela-sela baju Sandi. Setelah semuanya beres, dia kembali menghampiri Dokter Louis yang duduk di samping tempat tidur Sandi. Dokter itu terlihat memberikan obat tetes ke mulut sahabatnya.
"Bajunya sudah siap, Dok!" ujar Thalia.
"Kita tunggu sebentar lagi, mereka baru sampai di bawah. Thalia, apa kalian memilik hubungan khusus?" tanya Dokter Louis.
"Kami bersahabat, Dok."
"Tolong jaga dia ya! Dia anak yang kuat, tetapi saat hatinya terluka oleh orang yang dicintainya, maka tubuhnya akan ikut melemah." Dokter Louis menghela napas dalam. Dia merasa prihatin dengan masib putra sahabatnya. Karena dia yang paling tahu seberapa menderitanya Sandi akibat perceraian itu.
Tak berapa lama kemudian dua orang perawat datang dengan membawa brangkar lengkap dengan alat infusnya. Setelah kedua perawat laki-laki itu memindah kan Sandi ke atas brangkar, Dokter Louis pun segera memasang infus di tangan kiri Sandi. Thalia hanya memperhatikan ketiga laki-laki dewasa itu merawat Sandi. Sampai akhirnya mereka pun siap membawa Sandi ke rumah sakit.
Setibanya di rumah sakit, Thalia langsung mengurus administrasi. Dia sengaja membawa dompet Sandi yang selalu di simpan oleh pemuda itu di laci nakas. Setelah dia membayar deposit rumah sakit, Thalia pun kembali ke ruang IGD.
"Thalia, Sandi akan dipindah ke ruang perawatan," ucap Dokter Louis.
"Iya, Dok. Terima kasih!" sahut Thalia langsung mengikuti perawat yang akan memindahkan Sandi ke ruang perawatan.
Satu jam
Dua jam
Namun tetap saja, suhu badan Sandi belum juga turun. Dia begitu cemas akan terjadi hal yang tidak diinginkan pada sahabatnya. Sampai akhirnya dokter menambah kembali dosis obat penurun panas, barulah suhu tubuhnya mulai menurun.
Sepertinya aku harus memberi tahu ayah. Tidak mungkin aku membiarkan dia sendiri di sini, batin Thalia.
Setelah mengirim pesan pada ayahnya, Thalia pun ikut naik ke tempat tidur pasien. Badannya yang lelah, membuat dia ikut tertidur di samping Sandi. Apalagi hari sudah malam. Sudah waktunya dia mengistirahatkan tubuhnya.
Tengah malam menjelang, perlahan Sandi membuka matanya. Badannya kini sudah tidak sepanas tadi siang. Dilihatnya Thalia yang tertidur pulas di sampingnya. Dia pun mengangkat kedua sudut bibirnya membentuk bulan sabit.
"Tali, haus!" ujar Sandi tepat di telinga Thalia.
Gadis itu langsung terperanjat mendengar suara sahabatnya. Dia tersenyum manis melihat Sandi sudah siuman. Hatinya merasa lega mendapati sahabatnya sudah terbangun.
"Haus!" ulang Sandi.
"Sebentar aku ambilkan!" Dengan sigap Thalia langsung mengambil botol air mineral dan membukanya. Setelah dia memberi sedotan barulah Thalia memberikannya pada Sandi.
"Minumlah!" suruh Thalia dengan membantu Sandi agar menyender ke head board tempat tidur.
...~Bersambung~...
...Dukung terus Author ya kawan! Klik like, comment, vote, rate, gift dan favorite....
...Terima kasih....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 86 Episodes
Comments
Loviet Siwonzu Prepetprepet
klo kalian saling cinta ungkapkan semuanya jangan ada penyesalan nantinya
2022-08-11
4