Udara pagi yang dingin, membuat seorang gadis semakin mengeratkan pelukannya pada seseorang yang dia kira guling. Thalia tidak sadar kalau sekarang dirinya sedang tertidur dengan Sandi saling berpelukan. Sampai saat terdengar suara jam beker, tangan Thalia pun langsung meraba-raba mencari keberadaan benda itu.
Matanya yang masih terpejam, membuat dia tanpa sengaja meraba sesuatu yang menonjol dan terasa keras di tangannya. Hingga sebuah tangan mencengkeram tangannya dan menghentikannya
"Jangan diteruskan! Kalau kamu tidak ingin menanggung akibatnya," ujar Sandi dengan mata yang masih terpejam.
Seketika Thalia membuka matanya saat mendengar suara yang begitu dikenalnya. Matanya langsung terbelalak ketika menyadari dia tidur bersama dengan Sandi di kamar pemuda itu. Berkali-kali dia melihat ke arah badannya dan memastikan kalau baju yang dipakainya masih lengkap.
"Sandal, apa yang kamu lakukan? Kenapa aku ada di sini?" tanya Thalia panik.
"Kamu sendiri yang datang ke sini. Mana mungkin aku membiarkan sahabatku kedinginan tidur sendiri," jawab Sandi cuek.
"Hey, bangun! Apa yang telah terjadi semalam?" tanya Thalia lagi.
"Kamu mencoba merayuku dan memaksa ingin tidur bersamaku," ucap Sandi.
"Tidak mungkin aku murahan seperti itu! Kamu jangan membohongi aku!" sentak Thalia
"Ya ampun Tali! Masih pagi sudah marah-marah. Aku akan tanggungjawab kalau kamu hamil."
Aku gak kuat ingin tertawa melihat ekspresi frustasi dia. Cuma tidur bareng saja panik. Padahal kalau kemping sering tidur bersama, batin Sandi.
"Tidak! Kamu gak mungkin tega sama aku, bukankah kita bersahabat? Mana mungkin kamu tega menghancurkan masa depanku." Setetes air mata memaksa jatuh dari pelupuk mata Thalia. Meskipun benar kalau dia mencintai Sandi. Tapi rasanya dia tidak ikhlas Sandi merenggut kehormatannya.
Yah, malah nangis. Aku gak nyangka kalau dia akan nangis seperti ini. Aku pikir, dia akan memukuli aku seperti biasanya, batin Sandi.
"Gak terjadi apa-apa, Tali. Semalam kamu mengigau jalan ke sini. Ya sudah aku ajak tidur saja, lagian gak ngapa-ngapain cuma tidur." Bohong Sandi.
"Beneran?"
"Iya bener, untuk apa aku bohong sama kamu."
Aku gak bohong tapi juga gak jujur. Sorry Tali, semalam memang aku yang gendong kamu ke sini. Aku gak bisa tidur, makanya ajak kamu buat nemenin, batin Sandi.
"Ya sudah, aku balik lagi ke kamar. Kamu cepat siap-siap! Bukankah mau ke kafe pusat?"
"Iya, sayangku!" Tanpa permisi, lagi-lagi Sandi mencuri kecupan di bibir Thalia sekilas. Sebelum akhirnya pemuda tampan itu berlari menuju ke kamar mandi.
Dasar sandal! Kalau gak cinta, aku timpuk pake sendal curi-curi ciuman terus. Akh ... Padahal pacarku saja belum pernah cium aku tapi dia sering banget. Entahlah aku bingung, meskipun aku pernah punya pacar tapi gak bisa melupakan perasaan aku sama playboy itu, keluh Thalia dalam hati.
Thalia langsung bergegas ke kamar yang dia tempati. Meskipun Thalia baru kali ini menginap di apartemen Sandi, tetapi pemuda itu sengaja menyiapkan baju ganti untuk sahabatnya. Karena sedari mereka masih kuliah, mereka sering menghabiskan waktu berdua di apartemen untuk mengerjakan tugas ataupun menonton film kesukaannya.
Setelah Thalia siap dengan penampilannya yang fresh, gadis itu langsung menuju ke dapur untuk menyiapkan sarapan. Kepergian ibunya di saat dia masih kecil membuat Thalia menjadi anak yang mandiri. Apalagi, ibu tirinya sering membebankan pekerjaan rumah kepadanya. Membuat dia tidak asing dengan pekerjaan ibu rumah tangga.
Setelah selesai memasak yang membersihkan dapur, dia pun segera menyiapkan sarapannya di meja makan. Sambil menunggu Sandi siap, dia pun memilih untuk membereskan apartemen.
"Tali, ayo sarapan!" ajak Sandi seraya merangkul pundak sahabatnya. "Tidak usah bersih-bersih, nanti juga ada petugas yang datang ke mari untuk membersihkan apartemen. Kamu cukup menyiapkan makanan untuk aku. Kamu tahu Tali, masakan kamu selalu membuat aku nagih."
"Pantas saja kamu sering menghabiskan bekal aku. Padahal aku hanya bawa omlette ke sekolah. Nanti aku ajari istri kamu biar rasa masakannya sama dengan buatan aku."
"Kenapa gak kamu saja? Biar gak usah ngajarin." Sandi menatap lekat Thalia yang kini sudah duduk berhadapan dengannya.
"Aku gak masuk kategori kamu. Sudahlah, gak usah bahas yang gituan," tukas Thalia. Dia langsung memakan makanan yang ada di piringnya. Dia tidak ingin terbuai dengan harapan yang menurutnya tidak akan jadi kenyataan.
...***...
Suasana kafe terlihat ramai. Thalia sedari tadi terus mondar-mandir melayani pelanggan. Sepertinya hari ini banyak orang yang ingin merilekskan pikirannya dengan nongkrong di kafe, saling bersenda gurau dengan teman dan sahabatnya.
"Mbak Thalia, ada yang mencari," ucap Laras, salah satu pelayan kafe.
"Siapa?"
"Gak tahu, tapi ibu-ibu menor banget. Sepertinya dia orang kaya," jawab Laras. "Di sebelah sana, Mbak!" tunjuk-nya.
Thalia pun langsung menuju ke arah meja yang tadi ditunjuk oleh Laras. Saat tiba di sana, Thalia sempat terkaget melihat ibu tirinya. Tidak biasanya istri ayahnya itu menemui dia di kafe.
"Ibu, ada apa mencari aku?" tanya Thalia.
"Duduk dulu, Lia. Ibu ada perlu sama kamu. Kenapa semalam tidak pulang?" tanya Eva.
"Maaf, Bu. Aku kemalaman di rumah Melati."
"Iya, gak apa. Asalkan kamu kasih kabar kalau mau menginap," ucap Eva lembut.
Tumben Ibu tidak marah-marah. Biasanya pasti ceramah kalau aku pulang telat atau menginap di tempat teman, batin Thalia.
"Iya, Bu. Lia pasti kasih kabar kalau tidak bisa pulang," ucap Thalia.
"Oh, iya Lia. Ibu ke sini sebenarnya sedang butuh uang untuk bayar tagihan belanja online. Apa kamu pegang uang dua juta? Ayah kamu sedang tidak punya uang makanya ibu minta sama kamu." Eva menatap dalam anak tirinya. Dia sangat berharap Thalia akan memberikan uang seperti yang dia inginkan.
"Aku adanya lima ratus ribu, kalau ibu mau nanti aku ambilkan."
"Apa? Cuma lima ratus ribu? Kamu kerja sampai malam hanya menyimpan uang segitu? Lebih baik kamu berhenti kerja di kafe dan melamar ke perusahaan besar," cibir Eva.
Thalia hanya diam mendengar apa yang ibu tirinya katakan. Sejujurnya dia merasa malu, karena banyak pengunjung yang melihat ke arahnya. "Ibu, tolong bicaranya pelan! Tidak enak dengan pengunjung yang lain."
"Ibu itu gak ngerti dengan jalan pikiran kamu. Kuliah empat tahun, ujung-ujungnya jadi pelayan kafe. Habis-habiskan uang saja." Eva terus saja meremehkan Thalia.
Sementara Thalia hanya diam. Bukannya tidak punya uang sebanyak yang ibu tirinya minta, tapi dia khawatir, ibu tirinya terus-menerus meminta kepadanya. Padahal uang belanja dari ayahnya saja sudah lumayan besar, sedangkan Thalia jarang mendapatkan uang jajan dari orang tuanya. Kalau saja dulu, dia tidak berteman baik dengan Sandi, mungkin Thalia tidak akan pernah merasakan makanan yang mahal dan enak.
...~Bersambung~...
...Dukung terus Author ya kawan! Klik like, comment vote rate gift dan favorite....
...Terima kasih....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 86 Episodes
Comments
Felisha Almaira
kamu ngeraba nya kemana??🤭🤭🤭🤭Beker kan samping kok ke bawah🙈
2023-03-22
1
Nicky Nick
ooh ibu tiri ...
2023-02-02
0
AdindaRa
Kalo di tumpuk pake sandal jadinya sandal makan sandal dong yaaa 🤣
2022-08-08
4