Malam yang mulai larut tidak jadi halangan buat seorang gadis cantik untuk memacu kendaraannya. Thalia yang sudah terbiasa berkendara meskipun hari sudah malam, terus saja menambah kecepatan sepeda motornya, saat berada di jalan yang sepi. Sampai akhirnya, dia membelokkan roda dua itu ketika sudah sampai di sebuah rumah minimalis yang berlantai dua.
Berkali-kali dia menghembuskan napasnya kasar. Tatkala mendengar keributan dari dalam rumahnya. Dia sudah bisa menduga kalau ayah dan ibu tirinya pasti sedang bertengkar. Tidak ingin ikut campur urusan orang tuanya, dia pun berlalu begitu saja melewati ayah dan ibu tirinya.
"Dasar anak tidak tahu sopan dan santun, lewat depan orang tua tidak ada basa-basinya," hardik Eva, ibu tiri Thalia.
Mendengar ucapan ibu tirinya, Thalia pun menghentikan langkahnya dan berbalik ke arah Eva. "Maaf Bu! Aku hanya tidak ingin mengganggu pembicaraan Ibu dan Ayah."
"Dari mana kamu jam segini baru pulang? Sudah lulus kuliah tapi masih belum kerja di perusahaan besar. Untuk apa kamu punya gelar sarjana tapi hanya kerja jadi pelayan kafe," cela Eva. Dia sangat tidak suka melihat Thalia berteman baik dengan Sandi. Karena menurutnya, putrinya lebih cocok dekat Sandi. Namun, pemuda itu seakan tidak pernah melihat ke arah putrinya.
"Jaga bicaramu, Eva! Meskipun hanya bekerja di kafe tapi setidaknya dia memiliki pekerjaan. Tidak menghambur-hamburkan uang terus seperti kamu ataupun putrimu itu," sentak Gerry, ayahnya Thalia.
"Ayah, kenapa perhitungan sekali sama anak dan istri? Aku menghamburkan uang juga untuk menjaga penampilan agar tidak mempermalukan Ayah," sanggah Eva.
"Sudahlah! Aku capek bicara denganmu. Sudah berkali-kali aku bilang, jangan terlalu sering belanja online. Tapi kamu tidak mau mendengarkan. Mending kalau toko kita sedang rame, lah sekarang kondisinya sedang sepi karena sudah banyak minimarket di daerah sini."
"Makanya Ayah terima saja tawaran Tuan Simon. Gak ada ruginya buat kita."
"Maaf Ayah, Ibu, apa boleh aku ke kamar? Aku merasa lelah ingin segera istirahat," tanya Thalia.
"Istirahat saja, Nak. Jangan pedulikan kami!" suruh Gerry.
"Baik, Ayah! Selamat malam," sahut Thalia kemudian berlalu pergi menuju ke kamarnya.
Terkadang Thalia merasa sakit hati dengan ucapan Eva yang bicara seenaknya. Akan tetapi, sebisa mungkin dia memakluminya. Apalagi, Thalia tahu kalau selama ini Eva yang telah mengurusnya. Meskipun perlakuannya sering berat sebelah antara dia dan adik tirinya.
Sabar Thalia, orang sabar disayang Tuhan, batin Thalia.
Perlahan Thalia membuka pintu kamarnya. Bersamaan dengan Tifani, adik tirinya yang keluar dari kamar sebelah. Karena memang, kamar mereka bersebelahan.
"Baru pulang, Kak?" tanya Tifani.
"Iya, Kakak masuk dulu ya!" pamit Thalia seraya masuk ke dalam kamar dan menutup pintu.
Thalia langsung menuju ke tempat tidur. Dia merebahkan badannya yang lelah. Pandangan menatap lurus ke langit-langit kamar. Hati dan badannya sangat lelah, sehingga tidak butuh waktu lama, Thalia pun masuk ke dunia mimpi.
Dini hari menjelang, Thalia terbangun saat mendengar bunyi ponselnya yang tidak mau berhenti. Dia pun segera mencari di mana ponsel itu dia simpan. Saat sudah menemukannya, dilihatnya sebuah nama yang sedari tadi terus menerus menghubunginya.
"Sandal, ngapain sih pagi-pagi ganggu orang tidur. Masih jam tiga pagi sudah rusuh," gerutu Thalia seraya menggeser tombol hijau di ponselnya.
"Pagi, Sayang!" terlihat di layar ponselnya Sandi tersenyum manis padanya.
"Apaan sih, Sandal? Pagi-pagi udah gangguin orang saja. Lihat masih jam tiga pagi!"
"Hehehe ... Sengaja aku bangunin biar kamu gak telat bangun. Apa kamu lupa, pagi ini kita akan berangkat ke puncak? Aku jemput kamu jam enam pagi, harus sudah siap dan cantik. Kita akan mampir dulu ke lokasi syuting Camelia."
"Apa?! Demi gadis itu kamu tega mengganggu waktu tidurku? Jahara kamu jadi sahabat aku!" pekik Thalia kesal.
"Eits ... Jangan marah dulu! Nanti aku kasih bonus tambahan oke! Katanya kamu ingin lanjut S2, lumayan loh buat tambah tabungan," rayu Sandi.
"Iya, iya! Aku tutup ya, aku mau siap-siap dulu!"
Klik
Thalia langsung menutup ponselnya. Dia pun melanjutkan tidurnya. Masa bodoh dengan apa yang Sandi katakan, yang penting saat jam enam pagi, dia sudah siap untuk berangkat ke puncak.
Sementara Sandi tersenyum senang karena berhasil mengerjai sahabatnya. Semalam dia tidak bisa tidur karena banyak hal yang harus dia pikirkan. Makanya dia sengaja mengubungi Thalia agar hatinya bisa tenang.
Hanya dengan menatap wajah gadis itu, ataupun mendengar suara cerewetnya, semua hal yang mengganggu pikirannya seolah-olah sirna.
"Sudahlah! Aku tidur satu jam dulu!" gumam Sandi.
Hatinya sudah mulai tenang. Pikirannya sudah bisa diajak kompromi. Dia pun langsung terpejam saat kepalanya menempel pada bantal.
Pagi harinya, lagi-lagi Thalia dibuat kesal oleh Sandi. Pemuda tampan yang mengajaknya berangkat jam enam pagi, ternyata masih tertidur lelap. Thalia terpaksa menyusul Sandi ke apartemennya karena saat jam sudah menunjukkan angka tujuh, sahabatnya itu belum menampakkan batang hidungnya.
"Ya ampun Sandal bangun! Lihat sudah siang! Katanya mau ke puncak, lihat pembangunan kafe di sana." Thalia terus menggoyang-goyangkan tubuh Sandi hingga akhirnya pemuda tampan itu membuka matanya.
"Tali, banguninnya yang benar dong! Masa seperti itu," protes Sandi.
"Memang harus seperti apa? Ayo cepat bangun! Lihat, sudah jam tujuh lewat!"
"Harusnya seperti ini." Sandi langsung menarik tangan Thalia hingga gadis itu jatuh di atas tubuh kekar sahabatnya.
"Sandal apa-apaan sih?" Thalia langsung bangun dari tubuh sahabatnya. Dia tidak ingin kalau Sandi sampai tahu jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya.
Jantung tolong kondisikan! Jangan sampai dia besar kepala karena tahu jantungku berdetak lebih cepat dari biasanya, batin Thalia.
"Cepat mandi, aku siapkan sarapan dulu." Thalia langsung berlalu pergi meninggalkan Sandi menuju ke dapur.
Setibanya di dapur, gadis itu langsung mencengkeram dadanya. Jantung masih berdetak kencang. Dia pun mengambil napas dalam-dalam untuk menetralkan perasaannya.
Sementara Sandi hanya tersenyum samar. Dia pun langsung bergegas menuju ke kamar mandi. Setelah semua urusan kamar mandi selesai, Sandi segera berpakaian dan merapikan penampilannya.
Pemuda tampan itu berjalan begitu gagahnya menghampiri Thalia yang sedang menyiapkan sarapan untuknya. Tanpa suara, dia mencuri ciuman pipi sahabatnya. "Makasih, Tali!" ucapnya.
"Makasih buat apa? Apa kamu begitu senang membuat aku kesusahan? Pagi-pagi bangunin aku, suruh bersiap pagi-pagi, katanya mau ke lokasi syuting Camelia tapi setelah aku menunggu satu jam lebih, ternyata kamu masih asyik-asyikan tidur," cerocos Thalia sewot.
"Tali jangan marah! Nanti gak laku loh," cetus Sandi.
"Apa?? Kamu nyumpahin aku gak laku? Sungguh terlalu kamu, Sandal!"
...~Bersambung~...
...Dukung terus Author ya kawan! Klik like, comment, vote, rate, gift, dan favorite....
...Terima kasih....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 86 Episodes
Comments
Sulaiman Efendy
SIMON YG CASSANOVA YG REBUT RALINE IBUNYA SANDI, APA MAU DIJODOHKN SAMA ALI.
2024-01-02
1
Sang
definisi kata "mengurusnya" adalah "membuat kurus" benar-benar ibu tiri idola
2023-06-06
1
Hartaty
emang gak ada nama lain Thor pake sandal gitu singkatan nya🤣🤣🤣
2023-06-04
0