"Saya ingin mengajak Bapak nonton film, Bapak katanya suka sama film horor. Kebetulan ada film terbaru di bioskop, Pak."
"Film baru?Judulnya apa?"
"Darah Dimalam Pertama."
"Memang ada judul film horor kayak begitu?" Steven mengerutkan keningnya, tak percaya dengan apa yang Fira katakan. Bahkan dia sampai mencari informasi lewat g*ogle. Tapi memang benar, film itu beneran ada dan film terbaru yang rilis malam nanti.
"Ada 'kan, Pak?"
"Iya, ada." Steven mengangguk.
Fira langsung sumringah. "Jadi Bapak mau 'kan, nonton bareng saya?"
"Aku ...."
Ceklek~
"Harus maulah Stev," sela seorang wanita yang baru saja membuka pintu dan masuk tanpa permisi. Dia adalah Sindi.
"Mama, kok Mama ke sini lagi?" tanya Steven, wajahnya terlihat begitu malas saat melihat kedatangan ibunya.
"Dih, kok kamu ngomong kayak gitu? Jadi Mama nggak boleh menemuimu?" Sindi mengerucutkan bibirnya, lalu duduk di sofa.
"Bukan begitu, tapi Mama itu tumben ke sini terus. Biasanya 'kan paling seminggu sekali."
"Ya terus masalahnya apa? Mending Mama dong menemuimu seminggu sekali. Dari pada kamu sendiri nggak pernah mengunjungi orang tua. Ya sesekali main, tidur di rumah Papa Mama. Jangan di apartemen mulu. memang kamu nggak merasa kesepian apa?" celoteh Sindi. Sepertinya tidak bisa, kalau setiap bertemu dia tak menceramahi Steven. Selalu ada saja yang menjadi bahan pembahasan.
"Kamu keluar dari sini, Fir," ketus Steven. Dia merasa tak nyaman gadis itu masih di sana, apa lagi mendengarkan apa yang Sindi katakan.
Fira mengangguk kecil. "Iya, Pak. Tapi Bapak jadi 'kan nonton bareng saya?"
"Eng—”
"Jadilah pasti," sergah Sindi cepat. "Kamu siap-siap saja nanti malam, nanti Steven jemput."
"Dih, siapa yang bilang jadi? Aku nggak mau," tolak Steven dengan gelengan kepala.
"Sana kembali bekerja, Fir. Jangan dengarkan omongan Steven." Sindi berdiri, kemudian mengajak gadis itu keluar dari sana. Setelah itu dia kembali masuk dan duduk di sofa.
"Mama apa-apaan, sih? Aku nggak mau nonton bareng Fira!" tegas Steven kesal.
"Memang kenapa? Cuma nonton doang, apa masalahnya?"
"Aku tuh nggak suka sama dia, Mama juga ngapain sih pakai jodohin aku segala? Kan aku pernah bilang ... kalau aku bisa cari istri sendiri!" Steven mengusap kasar wajah yang terlihat merah. Dadanya bergemuruh. Kalau sudah menyangkut masalah itu, dia sangat tersinggung.
"Kamu bilang seperti itu sejak dua tahun yang lalu, Stev. Tapi sampai sekarang belum ada buktinya. Mama disini nggak jodohin kamu, Mama hanya mengenalkan Fira supaya menjadi teman dekatmu." Sindi berbicara selembut mungkin. Dia tahu saat ini anaknya tengah emosi, dan akan lebih baik dia jangan ikut-ikutan emosi.
"Tapi aku nggak mau. Aku nggak suka sama Fira."
"Ya nggak sukanya kenapa? Fira cantik, putih, tinggi, mandiri, pintar merias diri dan pintar memasak. Itu 'kan calon istri idamanmu, Stev? Lalu apa yang kurang darinya?" Sindi ingat, dulu saat Steven menolak beberapa kandidat perempuan yang dia kenalkan dengan alasan seperti itu. Dan sekarang Sindi yakin—jika Fira masuk dalam kriterianya.
Steven membuang napasnya kasar. "Yang kurang adalah aku nggak suka, aku nggak suka sama dia."
"Rasa suka itu nanti akan tumbuh kalau kalian sering bersama. Ya maka dari itu kamu nanti malam nonton dengannya. Biar kamu dan dia makin dekat dan saling mengenal satu sama lain."
Steven menggeleng cepat. "Nggak, untuk saat ini aku belum mau berumah tangga atau dekat dengan perempuan. Aku mau sendiri dulu."
Sindi berdecak. "Tiga tahun menjomblo apa masih kurang? Mau sampai kapan? Sepuluh tahun lagi sampai kamu ubanan? Lama-lama burungmu karatan, Stev!" berang Sindi, lama-lama emosinya mendidih.
"Tinggal dioli," jawabnya santai.
Sindi memijat pelipis matanya, mendadak kepalanya pening. "Mama ini bingung deh sama pola pikirmu, Stev. Padahal menikah itu enak. Ada yang ngurusin, ada yang ngelonin, kamu pasti akan lebih semangat dalam bekerja."
Steven diam dan hanya menatap Sindi yang masih menceramahinya.
"Apa jangan-jangan alasan kamu nggak nikah-nikah dan menjomblo itu karena punya kelainan?" tebak Sindi menatap horor Steven.
"Kelainan? Maksudnya?" Steven mengerutkan keningnya heran.
Sindi menunjuk Steven. "Kamu gay, nggak suka wanita. Sukanya sesama jenis."
"Astaghfirullah, Mama!" Steven tepuk jidat dan geleng-geleng kepala. "Aku masih normal."
"Bener normal?" Sindi tampak ragu. Dia kini berdiri kemudian menghampiri Steven yang masih duduk di meja kerjanya sejak tadi. Dan pandangannya langsung tertuju pada selangk*ngan Steven. "Tapi kok kamu nggak ada keinginan mau nikah? Memangnya kamu nggak pernah naffsu lihat cewek cantik yang bahenol? Atau jangan-jangan burungmu sudah nggak bangun lagi, ya?"
"Enak saja Mama kalau bicara!" Steven langsung menyentuh miliknya dan menarik jas demi menutupi sebab terlihat mengembung. "Ya bangunlah, Ma. Masa nggak."
"Masa sih? Mama kayak ragu gitu." Alis mata Sindi bertaut. "Bagaimana kalau kita periksa ke dokter?"
"Astagfirullahaladzim! Aku normal!" Steven menepis tangan Sindi yang tengah menyentuh lengannya. "Aku berani bersumpah kalau aku normal! Tapi aku butuh waktu untuk menikah, Mama jangan paksa aku begini, dong." Wajah Steven sudah masam, lama-lama dia jengah mengobrol dengan Sindi yang tak ada habisnya membahas masalah pernikahan.
"Oke, Mama akan tunggu kamu selama tiga bulan untuk mengenalkan calon istrimu ke Mama dan Papa. Tapi kalau sampai tiga bulan kamu belum juga mendapat calon ... Mama akan paksa kamu menikahi Fira, apa pun alasannya!" tegas Sindi dengan nada mengancam. Dan sontak membuat jantung Steven berdebar kencang dengan mata yang membulat sempurna.
"Jangan tiga bulan, itu terlalu cepat. Bagaimana kalau setahun, Ma?" Steven memberikan penawaran.
"Nggak mau, pokoknya tiga bulan titik!" Sindi berjalan menuju pintu lalu membukanya. "Jangan lupa untuk temani Fira nonton nanti malam, Mama mau pulang dulu." Setelah mengatakan hal itu, Sindi langsung keluar dari ruangan Steven. Meninggalkan pria yang kini sudah pusing tujuh keliling.
***
Citra berdiri di depan kampus sambil menatap jam pada pergelangan tangannya. Sudah lewat sepuluh menit saat dimana dia keluar dari kelas. Tetapi sampai sekarang mobil Steven belum datang untuk menjemputnya.
Merasa penasaran, akhirnya Citra memutuskan untuk menghubungi. Mungkin saja pria tampan itu lupa untuk menjemput.
Satu panggilan tak diangkat, tetapi yang kedua akhirnya diangkat meskipun agak lama.
"Halo, Om. Om ada di mana?"
"Aku ada di kantor, ada apa?" Suara Steven terdengar pelan.
"Aku sudah pulang kuliah, kapan Om jemput?"
"Ah maaf, Cit. Aku nggak bisa jemput, nanti aku suruh Gugun saja yang menjemputmu, ya?"
"Dih. Kok begitu? Katanya mau mengajakku ke salon?"
"Iya, tapi aku lupa kalau ada meeting penting setengah jam lagi. Kamu sama Gugun saja, nanti aku akan memberitahu padanya salon yang bagus untuk merubah warna rambutmu," jelas Steven.
"Dih, Om. Aku nggak mau. aku mau perginya sama Om saja. Ada yang mau aku—“
Tut ... tut ... tut.
Panggilan itu langsung terputus begitu saja, padahal Citra belum menyelesaikan perkataannya. Lantas, segera dia pun menghubungi Steven lagi. Namun sayangnya sekarang nomornya tidak aktif.
...***...
Minta do'anya semua ... Author mau ajuin kontrak novel ini, semoga cepat lulus biar sampai tamat di Noveltoon. Salam sayang dari Citra dan Om Steven ❤️😘 ikuti terus kelanjutannya, ya....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 483 Episodes
Comments
Ely Munasifah
sekuper kupernya gadis lulusan sma ya gk segini jg kali ...tlg authornya..dinaikkan dikit karakternya
2024-04-17
0
Sarini Sadjam
citra dewasa dikit donk sikap nya..jgn kya bocil manja , apa lgi bpk dah ga ada..
2023-09-01
2
𝒱𝒾𝓇𝑔𝑜 𝑔𝒾𝓇𝓁 ♍
Aamiin 🤲
Semangaattt thoorrr 🥳
2023-01-31
1