"Nanti di depan pintu apartemen akan ada penjaga, aku sudah menyewanya," jawab Steven.
"Ya itu sama saja Om nggak menjagaku."
"Dih, nggak menjaga bagaimana, sih? Kan aku bilang akan ada penjaga. Itu aku yang membayarnya."
"Tapi Om yang bilang sendiri kalau Om yang akan menjagaku, jadi harusnya Om sendiri, nggak usah membayar orang."
"Maksudmu aku harus jadi bodyguardmu gitu? Selalu bersamamu kemana pun kamu pergi?" Rahang Steven terlihat mengeras, Wajahnya merah dan tatapan matanya juga begitu tajam. Citra yang melihatnya pun langsung menelan salivanya dengan kelat.
Ekspresi wajah Steven mirip seperti kemarin, saat dimana Citra membuat kemejanya basah terkena jus.
Gadis itu segera menggeleng cepat, dia takut dan tak mau jika Steven marah. "Bukan, Om. Bukan begitu. Hanya saja aku ingin kita tinggal bersama di apartemen ini. Aku nggak mau kita tinggal berpisah," jawabnya pelan.
Steven mengusap pelan wajahnya seraya membuang napasnya kasar. Dia mencoba menghilangkan rasa kesal di dadanya. "Aku nggak mau dan nggak bisa. Tapi kalau kamu butuh apa-apa padaku, pencet bel di apartemenku saja atau telepon. Nanti aku akan berikan nomorku padamu."
"Ya sudah deh," ujar Citra pasrah. Sejujurnya dia kecewa, tapi mau bagaimana lagi. Dia juga tak berani memaksa Steven untuk tinggal bersamanya. "Tapi Om tunggu aku selesai mandi dulu, ya?"
Steven seketika membulatkan matanya dengan lebar. Keringat di dahinya tiba-tiba saja mengalir, entah ada apa dengan pria dewasa itu. Citra sendiri binggung menatapnya. "Tunggu selesai mandi? Memang kamu mau ngapain?"
"Maksudku tungguin aku sampai selesai mandi baru Om pergi. Aku takut soalnya, Bi Titin 'kan belum datang," jelas Citra.
"Oh ...." Steven menghela napas lega. "Iya, aku akan menunggumu. Kita juga akan makan bersama. Tapi aku tunggu di sini, ya? Dan kamu juga harus menutup pintu kamar saat mandi dan ganti baju."
Citra mengangguk seraya melangkahkan kakinya. Steven menatap punggung gadis itu sampai dia masuk ke dalam kamar, perlahan dia pun menyandarkan punggungnya pada penyangga sofa sambil menghela napasnya.
'Om Danu ... aku akan berusaha menepati janji, Om tenang saja,' batin Steven.
Ting ... tong.
Terdengar suara bel apartemen. Segera Steven bangkit dari duduknya lalu berjalan membuka pintu.
Ceklek~
"Sore, Pak. Ini pesanan Bapak." Seorang kurir yang tengah berdiri lantas memberikan dua kantong berwarna merah pada Steven.
"Terima kasih, Pak." Steven menerimanya sambil tersenyum. Dia tak perlu membayar karena memang sudah dibayar lebih dulu sebelum sampai.
Setelah pria berjaket hijau itu pergi, tak lama Gugun datang. Dia seorang diri, padahal harusnya bersama Bi Titin karena memang Steven sudah memintanya.
"Kok sendiri, Gun?" tanya Steven.
"Maaf, Pak. Bi Titin nggak bisa kerja lagi untuk Nona Citra, dia malah sudah pulang kampung sekarang," ucap Gugun memberitahu.
"Lho, kenapa memangnya?"
"Katanya anaknya sakit keras di kampung. Dia mau merawatnya."
"Oh begitu. Ya sudah ... besok kamu cari pembantu saja."
"Iya, Pak. Ya sudah, kalau begitu saya permisi." Pria itu mengangguk sopan, kemudian berlalu pergi dari sana.
"Siapa, Om?" Citra menghampiri Steven, lalu pria dewasa itu langsung berbalik badan. Dilihat Citra masih memakai pakaian yang sama dan sepertinya memang belum mandi.
"Kok belum mandi juga? Ini makanannya sudah datang." Steven menarik turunkan lengannya yang menenteng kantong merah.
"Nggak ada airnya, Om. Tadi pas nyalain shower nggak keluar airnya."
"Masa, sih?" Steven mengerutkan dahi. "Ya sudah, ambil saja kopermu sekarang."
"Dih, Om mengusirku? Aku nggak bohong, airnya memang nggak keluar."
"Aku nggak mengusirmu. Kamu tinggal bersamaku di apartemenku."
Degh!
Mata Citra membulat dan berbinar. Secepat itukah Steven berubah pikiran dan mengizinkannya tinggal bersama? Itulah yang saat ini berada di pikiran Citra.
"Kok bengong? Cepat ambil kopernya sebelum aku berubah pikiran."
"Ah iya, iya. Aku akan mengambilnya." Citra langsung berlari menuju kamarnya dan selang beberapa detik saja—dia pun kembali sambil mendorong koper.
Steven pun berjalan lebih dulu untuk mengajaknya ke apartemennya yang tepat berada di samping unit itu.
Luas apartemen itu dua kali lipat dari apartemen tadi, bahkan fasilitasnya begitu lengkap dan hampir menyerupai rumah. Tetapi tetap, nuansanya hitam putih.
"Apartemen Om jauh lebih bagus, ya? Aku sepertinya akan betah tinggal disini apalagi bersama Om," ujar Citra sambil menatap sekeliling ruangan itu sambil tersenyum lebar. Wajahnya menandakan kalau saat ini dia sangat senang.
"Ini sementara, Cit. Soalnya Bi Titin pulang kampung. Kalau sudah ada pembantu baru ... kamu tinggal lagi disana." Steven berlalu menuju dapur.
'Alhamdulilah Bi Titin pulang kampung, dan semoga saja Om ganteng susah cari pembantu,' batin Citra. Lantas dia pun mendorong kopernya menuju sebuah kamar utama pada ruangan itu.
"Eh, itu kamarku, Cit." Steven yang baru saja keluar dari dapur lantas berlari menghalangi gadis yang kini hendak menurunkan handle pintu.
"Memang kenapa?"
"Ya kamu jangan bawa pakaianmu di sana dong." Steven mengambil koper ditangan Citra saat kantong itu telah ditaruhnya di atas meja. Lantas membawanya ke sebuah kamar yang berada tepat di samping kamar utama.
"Ini mah sama saja kita tinggal bersebelahan dong, Om. Masa kamar juga terpisah?" Citra terlihat tak senang masuk ke dalam kamar itu.
"Kamu ini banyak maunya sekali, Cit. Katanya mau kita tinggal bersama. Ini 'kan kita tinggal bersama, tapi kamar tentunya beda dong."
"Tapi aku nggak bisa tidur sendirian, Om. Takut."
Steven membuang napasnya kasar. "Memangnya pas di rumah kamu tidur dengan siapa? Bi Titin?"
Citra mengangguk. "Iya, kadang sama Ayah. Tapi dulu pas Ayah belum dirawat di rumah sakit."
"Kamu 'kan udah gede, masa tidur masih sama orang tua?" Alis mata Steven bertaut, dia heran sekaligus tak percaya.
"Katanya kemarin aku masih kecil? Dan memangnya kenapa kalau tidur sama orang tua? Nggak masalah 'kan, Om?"
"Nggak sih. Ah sekarang kamu mandi dulu sana. Aku lapar ingin cepat-cepat makan." Steven langsung keluar dari kamar itu meninggalkan Citra seorang diri. Dia malas untuk berdebat dan memilih pergi.
Namun, baru saja bokongnya mendarat ke arah sofa sambil menusuk pipet pada jus alpukat, tiba-tiba terdengar suara Citra teriak.
"Aaakkkhhh! Om Ganteng! Tolong aku, Om!"
Steven terbelalak, dia langsung bangkit dan berlari masuk ke dalam kamar tadi. Setelah dibuka, Citra tak ada dan di sana. Segera dia membuka pintu kamar mandi.
Ceklek~
"Om! Ada cicak mati, Om! Aku takut!" Citra berdiri di atas kloset yang tertutup, lalu menunjuk seekor cicak yang sudah terbujur kaku di lantai.
"Astaghfirullah!" Steven langsung beristighfar dan menutup pintu kamar mandi itu dengan kasar.
Brak!
Bukan karena melihat cicak, tetapi saat tadi membuka pintu—gadis itu tak memakai pakaian alias bugil. Steven tadi melihat kemolekan tubuh Citra, walau itu hanya sebentar. Bahkan dua benda kenyal yang begitu kencang itu langsung terbayang di matanya.
Tidak! Dia adalah pria dewasa dan normal. Bohong kalau saat ini dia tak bernafsu, apalagi Citra sangat cantik dan seksi.
"Ah kacau! Apa yang kulihat tadi?" Steven mengusap-usap wajahnya dengan kasar sambil menelan saliva. Dia menempelkan punggungnya pada pintu kamar mandi itu, napasnya terdengar naik turun.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 483 Episodes
Comments
Eka
semogga saja steven mau menerima istrinya n bikin bucin thor
2024-06-01
0
Wirda Wati
jangan jangan Steven...udah punya kekasih
2024-01-23
1
Gagas Permadi
jiaaaaahhhhh
2023-12-18
1